Sedang Membaca
Proyek Keislaman Zaman Orba, dari Politik Memilih Menteri Agama hingga Rektor IAIN
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Proyek Keislaman Zaman Orba, dari Politik Memilih Menteri Agama hingga Rektor IAIN

Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, rezim militer Suharto melakukan pengawasan ketat terhadap aktivisme politik. Sejalan dengan itu, rezim ini juga tidak mencabut larangan terhadap Partai Masyumi yang modernis atau Partai Nahdlatul Ulama (NU) yang tradisionalis, yang sebelumnya mendukung Soekarno selama dua puluh tahun berdirinya Republik Indonesia. 

Akan tetapi, Orde Baru memberi ruang bagi Islam yang terdepolitisasi dan non-partisan untuk merangkul muslim terpelajar yang dapat berperan dalam strategi politik pemerintah baru. Kebijakan ini lebih diarahkan kepada pembangunan ekonomi pragmatis, tinimbang pandangan ideologis pada masa Bung Karno. 

Tokoh intelektual utama yang merancang arah baru ini adalah Nucholish Madjid (1939-2005), Harun Nasution (1919-1998), dan koleganya Mukti Ali (1923-2004), masing-masing dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta dan IAIN Yogyakarta. Mereka bersama-sama meletakkan dasar bagi pergulatan baru dengan tradisi keislaman yang disebut Islam Substantif (atau kadang disebut juga Islam substantivistik atau substansialistik)–suatu penafsiran ulang yang berfokus pada substansi ajaran Islam, dan bukan pada aspek formalnya.

Hal ihwal ini, menurut Carool Kersten dalam bukunya, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values, juga menunjukkan perubahan penting lain dalam sikap negara terhadap muslim: ketergantungan kepada NU dan Muhammadiyah kini beralih kepada para tokoh intelektual dan birokrat perseorangan. Akibatnya, jabatan penting seperti menteri agama yang sebelumnya selalu ditempati tokoh dari salah satu dari organisasi tersebut, kini diberikan kepada akademisi dan pejabat pemerintah. 

Bersamaan dengan itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pun mengungguli organisasi pesaingnya yang berafiliasi dengan NU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) (Kersten 2016: 36-40).

Tatkala Mukti Ali menjabat Menteri Agama pada 1971, dia mencanangkan perombakan besar-besaran dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia guna menyiapkan generasi intelektual dan teknokrat muslim di Indonesia, agar dapat berperan dalam pembangunan ekonomi negara. 

Baca juga:  Bung Karno dan Pancasila: Adanya Kementerian Agama Mulanya Konsesi Politik

Setelah Nasution diangkat menjadi rektor IAIN Jakarta, Mukti Ali menugaskannya merancang ulang kurikulum sistem pendidikan tinggi Islam. Kedua penata akademik ini mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri: Mukti Ali di Pakistan dan dibimbing Wilfred Cantwell Smith di Institute of Islamic Studies di McGill University, Kanada. Sementara Nasution belajar di Arab Saudi dan Mesir sebelum melanjutkan studi pascasarjana di McGill. Kini mereka berkesempatan memanfaatkan jabatan pentingnya untuk meneruskan pengalamannya pada generasi akademisi dan intelektual muslim Indonesia mendatang.

Dalam cetak birunya yang baru, Nasution menekankan pentingnya refleksi kritis terhadap peninggalan Islam di bidang keagamaan dan peradaban yang lebih luas, menegaskan perlunya membedakan antara Islam normatif dan Islam historis yang menyertainya. Dia memasukkan materi tentang sekte-sekte bidah dan mazhab pemikiran yang kontroversial, seperti aliran rasionalis abad ke-19, Mu’tazilah, sambil menambahkan karya-karya sarjana Barat perihal Islam ke dalam daftar bacaan mahasiswa. 

Kebijakan baru ini mendapat sambutan positif dari tokoh-tokoh progresif baik di NU yang tradisionalis maupun Muhammadiyah yang modernis, dan mengilhami pembaruan sistem pendidikan pesantren lewat upaya-upaya Abdurrahman Wahid–juga akrab dipanggil Gus Dur–dan M. Dawam Rahardjo. ‘Lingkar studi Santri baru’ (halaqah) yang muncul di milieu pesantren yang anyar ini kelak menjadi lahan persemaian di mana generasi ketiga intelektual muslim pasca-kemerdekaan dibina sebelum melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Menurut Yudi Latif, ‘ganjaran’ yang diberikan Orde Baru membawa dampak yang campur aduk, atau setidaknya berkah berwajah-ganda, karena lapangan pekerjaan untuk lulusan lembaga keagamaan itu terbatas mengingat penyedia kerja mereka yang paling utama, Kementerian Agama, tidak dapat menyerap semuanya (Latif 2008: 333).

Baca juga:  Pesantren Era Mataram Islam

Sementara itu, Nurcholish Madjid, tokoh intelektual muslim yang generasi pertama pasca-kolonial atau pasca-kemerdekaan, mencetuskan gerakan pembaruan pemikiran Islam dengan slogan provokatif, ‘Islam Yes! Partai Islam No!’ Dia meneroka, bahwa pandangan hidup Islam tidak bertentangan dengan negara sekuler maupun epistemologi rasional. Seusai menjalani studi pascasarjananya dengan Fazlur Rahman di Chicago, Nurcholish Madjid merumuskan ulang pemikiran pembaruannya menjadi sesuatu yang disebut gurunya itu sebagai ‘Neo-Modernisme Islam’. Dua jebolan University of Chicago lainnya–Amien Rais dan Syafii Maarif–juga turut berperan penting dalam mengubah bagaimana modernisme Islam dimafhumi dan dipraktikkan di Indonesia, ketika keduanya memimpin Muhammadiyah pada era 1990-an.

Dengan sistem pendidikan baru yang melayani muslim Indonesia, orientasi intelektual yang demikian memengaruhi pemikiran kelas menengah baru: muslim perkotaan yang terpelajar dan berpunya. Dalam proses ini, ketika ulama tradisional juga meraih sarjana, perbedaan antara mereka dan intelektual sekuler kian kabur. Peleburan ini ditandai oleh penggunaan kata serapan dari bahasa Sanskerta untuk intelektual, yakni cendekiawan. Momen penting kedua, bertolak dari landasan ini, ialah tercetusnya Agenda Reaktualisasi, di mana pemerintah Orde Baru mulai mengoordinasi pelbagai upaya dalam menopang kelas menengah muslim yang kian asertif serta Islamisasi masyarakat Indonesia yang menyertainya.

Program ini dicanangkan dan dijalankan antara 1983 dan 1993 di bahwa arahan Menteri Agama saat ini, Munawir Syadzali (1925-2004). Kegiatannya sangat terbantu oleh limpahan dana yang diterima Indonesia pada awal booming minyak pada 1970-an dan 1980-an. Sebagai bagian dari kebijakan anyar, sistem pendidikan tinggi Islam di dalam negeri diperluas menjadi lebih dari selusin kampus yang berjejaring, sedangkan banyak akademisi berbakat dikirim ke luar negeri untuk menempuh studi pascasarjana di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, juga Mesir, Arab Saudi, Yordania, dan Turki. 

Bersamaan dengan pemberlakuan Agenda Reaktualisasi ini, NU, setelah pada 1978 walk-out dari parlemen, memutuskan keluar dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan fokus kembali ke haluan dasarnya (khittah): memberdayakan muslim Indonesia melalui pendidikan dan kerja sosial di akar-rumput. Reorientasi ini disampaikan dengan slogan, “Kembali ke Khittah 1926 (NU).” Keputusan ini sebagian dipicu oleh rasa frustasi melihat prospek politik umat muslim, saat developmentalisme Orde Baru yang represif memanipulasi satu-satunya partai Islam yang dizinkan, PPP, demi kepentingannya sendiri.

Baca juga:  Khilafah Memang Ajaran Islam, tapi..

Kendati telah mengambil langkah taktis terhadap dinamika kaum muslim, Orde Baru sebenarnya melawan sesuatu yang tak mungkin ia menangkan. Pada akhirnya, proses Islamisasi Indonesia–yang dikenal dengan Penghijauan, mengikuti warna simbolis Islam–mencapai lapisan atas masyarakat Indonesia, ditunjukkan dengan ibadah haji Presiden Suharto pada 1991. 

Tahun-tahun itu juga merupakan masa terbukanya ranah publik Indonesia bagi intelektualisme Islam, di mana pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dapat dianggap sebagai perwujudannya yang paling jelah.

Karena itulah runtuhnya Orde Baru pada 1998-1999 menjadi momen penting ketiga. Sesudah kerusuhan pada awal era Reformasi pasca-Suharto, yang menyertai perubahan drastis dalam kancah politik dan intelektual Indonesia, generasi ketiga akademisi, penulis, dan aktivis muslim pasca-kemerdekaan mulai menanggapi gagasan dan politik para pendahulunya. 

Seiring dengan perkembangan di ranah politik, ketegangan di ranah intelektual juga memuncak pada 2005-2006, yang Kersten anggap sebagai momen penting keempat. Ketika intelektualisme progresif terus meningkat jumlah partisipasinya, polarisasi antara sudut pandang mereka dan kubu seberangnya dalam spektrum muslim pun ikut melebar (lihat Kersten 2016). 

Di antara dua kutub tersebut, organisasi masyarakat (ormas) muslim yang besar dan mapan seperti Muhammadiyah dan NU, mengalami ‘conservative turn’ atau pembelokan ke arah konservatif (lihat van Bruinessen 2013).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top