….bahwa cinta hanya memiliki satu ukuran, dan itu adalah kematian. Pada akhirnya cinta sejati adalah kematian, dan hanya cinta yang berakhir dengan kematianlah yang benar-benar merupakan cinta. (Milan Kundera)
Pernikahan itu tak biasa. Mempelai perempuannya lebih tua daripada Muhammad, dan meski pelbagai riwayat bervariasi dalam menyebut selisih usianya, kebanyakan menetapkan usia perempuan itu empat puluh tahun dan usia Muhammad dua puluh lima tahun. Namun, bukan hal ihwal inilah yang membuat pernikahan itu tidak biasa.
Kecuali, bagi banyak sarjana Barat. Mereka mengungkapkan lebih banyak hal tentang diri mereka sendiri tinimbang tentang Muhammad, ketika mengasumsikan bahwa pernikahan itu pastilah merupakan pernikahan demi keuntungan. Utamanya, keuntungan finansial. Muhammad menikahinya demi harta, mereka menuduh–sindrom “janda kaya”–karena bagi mereka sangat jelas. Muhammad tak mungkin tertarik pada perempuan itu.
Satu atau dua orang sarjana dengan kecenderungan psikoanalisis membayangkan bahwa Muhammad melihatnya sebagai sosok ibu, si anak yatim mencari pengganti figur ibu yang hilang pada usia enam tahun. Tampaknya hanya sedikit yang menganggap bahwa Muhammad benar-benar mencintainya.
Sebenarnya perbedaan usia tidak banyak berarti dalam sebuah kebudayaan di mana pernikahan ganda adalah hal ihwal yang lumrah. Entah pernikahan beruntun karena kematian atau perceraian, atau poligami di kalangan elite, praktik itu berarti bahwa seorang bibi mungkin lebih muda daripada keponakannya, seorang saudara tiri mungkin saja lebih tua satu generasi tinimbang saudara tiri lainnya, dan seorang sepupu yang berusia seperti seorang paman atau keponakan. Bagaimanapun, tentu saja benar bahwa hanya sedikit dari pernikahan semacam ini yang terjadi pada pasangan yang saling mencintai. Sebagian besar merupakan perjodohan politik atau finansial, yang mengikat satu kabilah atau suku dengan yang liyan.
Ini tak berarti bahwa cinta romantis itu tidak ada. Para penyair pra-Islam merayakan cinta romantis dengan sangat detail, hanya saja tidak dalam batas-batas pernikahan, yang merupakan urusan pragmatis, bukan urusan romantis.
Namun, hubungan antara Muhammad ibn ‘Abdullah dan Khadijah binti Khuwaylid tampaknya sama sekali tidak bersifat pragmatis, dan inilah yang benar-benar membingungkan para sarjana. Penjelasan paling meyakinkan dari pernikahan monogami mereka yang berlangsung lama adalah penjelasan yang juga paling sederhana: mereka memiliki ikatan cinta dan kasih sayang yang mendalam.
Khadijah menjadi salah satu sosok paling sentral bagi penerimaan Muhammad terhadap peran publiknya, tetapi ia melakukannya dengan begitu diam-diam, hanya berkontribusi sedikit terhadap penciptaan mitos perihal sosok Muhammad di masa mendatang, karena ia meninggal dunia sebelum suaminya mulai menarik dukungan dalam skala luas.
Lama setelah kematiannya, Muhammad akan memuliakannya jauh di atas istri-istrinya yang lebih kemudian, dengan menyatakan bahwa dirinya tidak akan pernah menemukan cinta seperti itu lagi. Bagaimana dia bisa demikian, ketika dirinya sudah menjadi pemimpin agama baru yang tengah berkembang pesat–nabi yang dihormati, utusan Allah Swt, semua orang berebut mendekati dirinya, berebut didengarkan olehnya?
Khadijah mencintai Muhammad karena sosok Muhammad itu sendiri, bukan karena sosok Muhammad di masa mendatang. Dan Muhammad tidak akan pernah melupakan Khadijah di tahun-tahun belakangan itu, dia berubah pucat oleh dukacita saat mendengar suara apa pun yang mengingatkan dirinya kepada sang istri.
Oleh karena itu, yang membuat pernikahan tersebut tidak biasa bukanlah perbedaan usia si antara mereka, tetapi kedekatan mereka, terutama mengingat perbedaan dalam status sosial antara sang suami dan sang istri. Dan fakta bahwa Khadijah-lah yang melamar Muhammad.
Ibnu Ishaq mengagak-agihkan Khadijah sebagai “saudagar perempuan yang bermartabat dan kaya, seorang perempuan yang teguh, mulia, dan cerdas”. Tidak biasanya mendapati lema “teguh” dan “cerdas” digunakan untuk menggambarkan perempuan pada masa itu, tetapi dalam kasus Khadijah, kata-kata itu sepenuhnya sesuai.
Dua kali menjanda, ia mewarisi saham suami keduanya di kartel kafilah Makkah, yang berarti bahwa ia mapan secara finansial–tidak sekaya para saudagar Makkah terkemuka, namun tentu saja hidupnya mapan.
Khadijah kini punya pilihan: ia bisa menjual bisnisnya kepada salah satu kubu perdagangan yang kuat atau melanjutkannya sepada saudagar independen, dalam hal ini ia membutuhkan seseorang yang bisa dipercaya untuk mewakili kepentingannya dalam kafilah dagang. Seseorang pengelola bisnis, terutama, yang tahu betul tentang perdagangan dan tidak akan mendahulukan kepentingan sendiri di atas kepentingannya.
Pada 695 M., ia mempekerjakan Muhammad untuk menjadi perwakilannya dalam kafilah jurusan Damaskus dan, menurut satu riwayat, mengirim seseorang pelayan tepercaya bersamanya yang diperintahkan untuk melaporkan kembali bagaimana Muhammad menangani pekerjaannya. Si pelayan, budak bernama Maisarah, kembali dengan sebuah cerita yang menggemakan ramalan Bahira lima belas tahun sebelumnya.
Muhammad berteduh di bawah sebuah pohon di dekat kediaman seorang biarawan di Suriah, katanya, dan sang biarawan, yang melihat Muhammad di sana, terkagum-kagum.
“Tidak ada yang pernah berhenti di bawah pohon ini selain seorang nabi,” ujarnya kepada Maisarah, yang kemudian menambahi keajaiban itu dengan menyatakan bahwa saat panas semakin menyengat mendekati siang hari pada perjalanan pulang, ia melihat dua malaikat menaungi Muhammad.
Tampaknya agak menghina Khadijah jika kita menyimpulkan, sebagaimana yang dilakukan Ibnu Ishaq, bahwa laporan inilah yang mendorongnya melamar Muhammad. Itulah yang jadi persoalan dalam ksiah-kisah mukjizat: jika kita menelitinya lebih cermat, kisah-kisah itu cenderung menjadi bumerang. Kisah yang satu ini menyiratkan bahwa tanpa sang biarawan dan malaikat, Khadijah tidak akan pernah mempertimbangkan pernikahan itu, meski ia nyaris tidak membutuhkan orang lain untuk mengatakan kepada dirinya bahwa Muhammad adalah seorang manajer yang dapat dipercaya, atau bahwa Muhammad memiliki sesuatu dalam dirinya.
Muhammad telah membangun reputasi yang mengagumkan dalam masa kerjanya dengan Abu Thalib. Alih-alih melakukan tawar-menawar tanpa henti, dengan menawarkan harga yang lebih rendah dan menuntut bayaran yang lebih tinggi daripada yang dia tahu akan dia dapatkan, Muhammad menawarkan harga yang adil sebagai permulaan–dan karena terkenal sebagai orang yang adil, dia mendapatkan barang-barang yang berkualitas bagus sebagai balasannya.
Muhammad tidak pernah mengambil potongan tambahan untuk dirinya secara sembunyi-sembunyi, atau memalsukan laporan pengeluaran (praktik-praktik macam ini sama tuanya seperti perdagangan itu sendiri), sehingga pasca Abu Thalib menolak dirinya menjadi menantu, dia menjadi wakil independen yang banyak dicari, bekerja untuk mendapat komisi. Dia adalah seorang lelaki yang dapat dipekerjakan, tanpa memiliki kepentingan diri sendiri untuk diperjuangkan, hingga ke tingkat di mana dia tampaknya hampir memandang rendah motivasi profit yang menguasai Makkah.
Komisi apa pun yang diperolehnya, dia bagi-bagikan sebagai sedekah kepada kaum miskin. Para saudagar lain pastilah menganggapnya bodoh karena hal ini. Bagaimana orang seperti itu berharap untuk menikah, apalagi menikah dengan baik? Bagaimana dia berharap akan mencukupi kebutuhan keluarga? Untuk menaikkan kedudukan dalam masyarakat? (Inilah alasan mengapa pamannya, Abu Thalib menolak permintaan Muhammad untuk melamar Fakhitah, anaknya, karena Muhammad dianggap tidak akan becus menafkahi seorang istri). Mereka mencoba menggunakan kurangnya motif pribadi Muhammad untuk keuntungan mereka sendiri, yang tentu saja dia ketahui, tetapi tidak dia pedulikan.
Nilai-nilai yang dipercayainya berada di tempat lain, meskipun sepanjang itu bukan soal uang dan kemajuan pribadi, hanya sedikit orang yang mau bersusah-payah untuk mencari tahu apa persisnya. Ketiadaan kepentingan membuat dia berbeda, membuat dia menjadi bagian dari budaya namun bukan bagian dari nilai-nilainya, dan sementara perihal ini mungkin kelihatan aneh bagi kebanyakan orang, Khadijah melihatnya sebagai sesuatu nan mengagumkan.
Sebagai seorang janda, dan tanpa keturunan sampai dia menikahi Muhammad, dia tahu bagaimana rasanya menjadi seseorang yang posisinya tidak pasti dalam masyarakat, dan betapa sulitnya bagi Muhammad untuk meniti karir dari bocah pengurus unta sampai sampai perwakilan saudagar. Khadijah dapat melihat bahwa dalam soal kematangan, Muhammad jauh lebih dekat dengan usia paruh baya tinimbang dengan usia belia. Jadi, tidak sulit untuk memafhumi bagaimana dua orang ini, keduanya tidak lazim dalam ruang dan waktu mereka, dapat saling meraih. Atau lebih tepatnya, bagaimana Khadijah meraih Muhammad, dan dengan menikahinya, ia membawa si orang luar itu ke dalam.
Khadijah-lah yang melamar, semata-mata karena Muhammad tidak bisa melakukannya. Terutama pasca penolakan Abu Thalib, dia tidak akan berani mengambil inisiatif. Khadijah berasal dari Bani Asad yang kuat, yang membuat dirinya sungguh potensial untuk dinikahi. Para pelamarnya termasuk saudagar terkaya di Makkah, semuanya menawarkan hadiah besar kepada ayahnya sebagai cara untuk memperlancar kesepakatan. Hanya saja Khadijah, tidak seperti putri muda Abu Thalib, menolak untuk dilelang. Ia tidak membutuhkan lagi pernikahan konvensional; kali ini ia akan menentang konvensi dengan menikahi pria yang ia pilih sendiri, bukan orang yang dipilihkan untuknya.
Sebagaimana yang riwayatkan Ibnu Ishaq, sembari menambahkan kalimat “konon begitulah ceritanya” sebagai pengakuan atas bahasa yang kaku dan aneh, Khadijah berkata, “Aku menyukai dirimu, Muhammad, karena hubungan kita dan karena reputasimu yang tinggi dengan sifat dapat dipercaya, karakter yang baik, dan ketulusan,” dan ia pun meminta Muhammad untuk menjadi suaminya.
Namun, ada formalitas yang harus tetap dilaksanakan. Setelah menolak Muhammad menjadi menantunya sendiri, Abu Thalib tidak bisa mewakili Muhammad untuk menemui ayah Khadijah sebagaimana yang dituntut oleh adat. Sebagai gantinya, salah satu dari sepuluh anak Abdul Muthalib, paman Muhammad, Hamzah, secara resmi melamar atas nama Muhammad. Salah satu versi mengatakan bahwa ayah Khadijah menyetujui lamaran itu dengan sukarela, meski apa yang ada dalam pikirannya tentang pernikahan putrinya dengan seorang yang “bukan siapa-siapa” merupakan persoalan yang lain, terutama mengingat mahar yang ditawarkan para pelamar lainnya dan kemungkinan bahwa dia menentang pernikahan, seperti yang disiratkan oleh versi lain yang agak tidak senonoh. Dengan hati-hati diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, versi ini menyatakan bahwa “Khadijah memanggil sang ayah ke rumahnya, mencekokinya dengan anggur sampai dia mabuk, mengurapinya dengan wewangian, memakaikan kepadanya jubah bergaris-garis, dan menyembelih seekor sapi. Kemudian ia menyurup Muhammad dan pamannya untuk datang, dan ketika mereka datang, Khadijah meminta ayahnnya menikahkan Muhammad dengan dirinya.” Saat ayahnya tersadar, kesepakatan itu sudah terlaksana.
Mungkin supaya untuk menjelaskan pernikahan itu dapat dimengerti, mengingat bahwa hubungan yang didasarkan pada cinta, kepedulian, dan rasa hormat sejati adalah hal langka pada masa itu. Namun, versi yang satu ini mengabaikan reputasi kejujuran yang dimiliki Muhammad, dan dari apa yang kita ketahui mengenai Khadijah, ia lebih tidak mungkin ambil bagian dalam tindakan tipu muslihat tersebut tinimbang Muhammad. Kisah ini melecehkan Khadijah; ia mungkin saja menikahi lelaki yang lebih rendah dalam hal kekayaan dan status sosial, tetapi apa yang dilihatnya dalam diri Muhammad lebih penting daripada semua itu.
Anak-anak pun segera hadir, memperkukuh ikatan pasangan itu. Mereka memiliki empat putri: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah; dan dua orang putra: Qasim dan ‘Abdullah. Namun, kedua putra mereka ini meninggal dunia ketika bayi. Dan meski wahyu Alquran kelak akan menegaskan keutamaan anak-anak perempuan, dengan mengecam mereka yang mengukur kekayaan dan status hanya dengan keberadaan anak laki-laki, namun kehilangan kedua putranya pastilah menimbulkan kepedihan yang mendalam. Itu berarti bahwa Muhammad akan tetap menjadi apa yang disebut sebagai abtar, secara harfiah berarti yang terpotong, terpenggal, atau terputus. Yakni, tanpa keturunan laki-laki.
Dukacita kematian Qasim (dan kemudian ‘Abdullah) hingga derajat tertentu akan diredakan oleh bocah lelaki yang sudah dekat dengan rumah tangga mereka. Khadijah telah memberi Muhammad seorang budak muda bernama Zayd ibn Haritsah sebagai hadiah pernikahan, tetapi Muhammad memperlakukan budak itu lebih sebagai anak daripada sebagai budak, begitu rupa sehingga ketika kabilah Arab Utara tempat sang anak berasal mengumpulkan uang untuk membelinya kembali, Zayd memohon agar dia diperkenankan tinggal. Muhammad menolak uang itu, membebaskan sang bocah, dan secara resmi mengangkatnya sebagai anak, menyiapkan landasan bagi perintah Alquran kelak untuk membebaskan budak.
Juga ada anak kecil lainnya: sepupu Muhammad, Ali, putra bungsu Abu Thalib. Bisnis ayahnya mulai goyah tanpa Muhammad bekerja di pihaknya, sehingga Muhammad menawarkan diri untuk membantu dengan mengambil anak itu ke dalam rumah tangganya. Lelaki yang dibesarkan oleh pamannya itu kini membesarkan anak sang paman. Dan meski Muhammad dan Khadijah tidak secara resmi mengadopsi Ali, mereka menganggapnya bagian dari keluarga mereka sendiri. Bahkan pada akhirnya, Ali akan menikahi putri bungsu mereka, Fathimah.
Muhammad sekeluarga hidup sangat sederhana. Kediamannya tidak berisi perabotan. Dia seringkali tidak memiliki apa-apa selain beberapa butir kurma. Dalam usia tiga puluhan, nampaknya Muhammad menjadi lelaki yang bahagia. Dengan Khadijah di sisinya, rasa hormat dari orang lain, dan kehidupan yang nyaman, dia tampak memiliki segalanya yang diinginkan seorang laki-laki. Meskipun pelbagai rintangan telah mengadangnya, dia berhasil meraih kemajuan pesat.
Namun, itu tidak berarti dia telah menyingkirkan kesadaran akan rintangan-rintangan yang telah dilewatinya. Apa yang dialaminya sebagai anak-anak tak bisa disingkirkan begitu saja oleh dirinya sebagai seorang lelaki dewasa, itu merupakan bagian dari siapa dirinya, dan bagian dari apa yang dicintai Khadijah dalam dirinya. Khadijah menganut nilai-nilai yang sama seperti Muhammad, dan sama gelisahnya seperti Muhammad menyaksikan ketidakadilan masyarakat Makkah.
Mereka menjalani kehidupan bersama sesuai dengan nilai-nilai tersebut, mengenakan kain tenun rumahan, bukannya sutra mencolok yang dikenakan kalangan elite, menambal dan menisik pakaian bukannya membeli yang baru, dan memberikan sebagian besar pendapatan mereka untuk makanan dan sedekah. Dan melalui sepupu Khadijah, Waraqah ibn Nawfal, mereka menemukan kerangka nilai-nilai mereka dalam sekelompok kecil pemikir independen Makkah yang masyhur sebagai para hanif.
Pada usia empat puluh, ketika Muhammad menerima wahyu perdana, istrinyalah yang segera menjadi tumpuannya. Khadijah-lah orang pertama yang mendampingi dan menenangkannya. Bertahun-tahun sebelumnya, ia menyaksikan seorang laki-laki yang kemuliaan moralnya sangat menonjol. Ketika lelaki itu kembali dari gua dan menemuinya dalam kondisi cemas dan tertekan oleh keraguan mendalam tentang siapa dirinya dan apa yang sedang menimpanya, Khadijah segera menyelimutinya dengan sepenuh cinta, mengingatkan kembali kepercayaan dirinya.
Wahyu pertama merupakan anugerah sekaligus ujian berat bagi seseorang yang tidak lagi bisa membedakan apakah dirinya kerasukan jin atau menjadi mangsa halusinasi setan. Muhammad sendirian dan kebingungan; dia pergi menemui sang istri yang segera memberinya ketenangan dan dukungan. Sejak saat itulah keduanya mulai menghadapi cobaan, berupaya memahami maknanya dan lantas, setelah kevakuman wahyu terakhir, menjawab panggilan Tuhan dan mengikuti jalan inisiasi spiritual.
Dalam hal ihwal ini, Khadijah merupakan tanda kehadiran Tuhan dalam pusaran ujian Tuhan; dalam pergumulan spiritual Nabi Muhammad, ia sejajar dengan Ismail dan Hajar dalam pergulatan keimanan Ibrahim. Kedua perempuan dan anak laki-laki itu merupakan tanda dari Yang Maha Esa untuk menegaskan keberadaan-Nya dan dukungan-Nya dalam perjuangan keimanan mereka, sehingga mereka tidak boleh meragukan-Nya sedikit pun.
Khadijah menjadi orang pertama yang menerima Islam, dan selama sepuluh tahun pertama misi kenabian Muhammad, ia menjadi teman setia yang selalu mendampinginya. Peran perempuan ini dalam kehidupan Muhammad sangatlah besar. Selama dua puluh empat tahun, ia adalah istri satu-satunya, yang keberadaannya tak semata telah memberi perlindungan bagi Nabi Saw, namun juga turut menanggung penolakan dari sanak saudaranya, penganiayaan, dan pengucilan.
Muhammad sangat mencintai istrinya. Kecintaannya begitu nyata sehingga, bertahun-tahun pasca kematian Khadijah, Aisyah–yang belakangan menikah dengan Nabi–pernah mengakui bahwa Khadijah adalah satu-satunya perempuan yang membuatnya cemburu. Khadijah menerima kabar baik tentang keterpilihan Muhammad menjadi Utusan Allah: ia mandiri, terhormat, dan dihargai, kemudian menjadi istri yang tangguh, penuh perhatian, setia, dan percaya diri; ia juga muslimah yang saleh, jujur, teguh, dan tahan uji.
Muhammad, sang Nabi Terakhir, tidaklah sendirian, dan salah satu tanda paling gamblang perihal limpahan rahmat dan kecintaan Tuhan kepadanya adalah kehadiran seorang perempuan dalam hidupnya, karunia-Nya maujud prosa sekaligus puisi: Khadijah.