Alkisah, pada suatu petang, Minggu, titimangsa 10 Februari 1924, sebuah iring-iringan yang cemplang bergerak di Jawa Barat melalui jalan dari Tangerang ke Batavia. Dalam pawai itu terdapat sekitar empat puluh orang Jawa berpakaian serba putih, yang dikepung oleh polisi, serdadu, dan pegawai-pegawai sipil pemerintah kolonial Belanda.
Di Tanah Tinggi, dekat sebuah penjara yang anyar dibangun, iring-iringan itu akhirnya berhenti.
Pemimpin orang-orang Jawa itu, Kajah, badannya penuh dengan jimat yang berkhasiat membuat kebal orang yang mengenakannya. Tatkala iring-iringan itu berhenti, Kajah menjawab panggilan dari mobil seorang pejabat tinggi kolonial; dalam sekejap mata ia tersungkur di tanah, pengikut-pengikutnya, yang hanya bersenjata golok dan bambu runcing, dengan membabi-buta menyerang serdadu-serdadu dan anggota-anggota polisi itu, yang menjawab dengan kelewang dan peluru.
Dalam tempo beberapa menit saja, di atas tanah bergelimpangan orang-orang yang mati dan terluka, di antaranya Kajah, yang berhasil melepaskan diri dari hiruk-pikuk perkelahian tapi lalu ditembak mati, ketika dia berusaha menembus kepungan untuk bergabung kembali dengan pengikut-pengikutnya. Terjadilah pertumpahan darah yang justru hendak dihindari oleh pejabat tinggi kolonial Belanda itu, dengan jalan mengisolasi pemimpin gerakan itu. Kajah dan para pengikutnya merencanakan untuk mendirikan sebuah kerajaan baru, dan dalam hal ihwal ini Kajah berharap akan menerima petunjuk-petunjuk lebih lanjut dari “Rama Prabu,” yang rohnya, ujarnya, telah berkali-kali memanggilnya dari “tempat bersemayamnya” di gunung Gede.
Sesudah itu, ia merencanakan untuk meminta restu tentang pemerintahannya kepada pemerintah kolonial. Baru apabila pemerintah kolonial tidak mau mengakuinya, Kajah mengancam akan melancarkan perang sabil. Untuk menghadapi kemungkinan itu, ia juga telah membagi-bagi jimat kepada pengikut-pengikutnya, yang percaya bahwa setelah berpuasa, mereka akan memperoleh kesaktian.
Kajah telah mengerahkan pengikut-pengikutnya itu terutama dalam kedudukannya sebagai dalang. Kajah menghuni sebuah dunia khayalan dan pelbagai peristiwa ajaib, di mana pahlawan-pahlawan yang serupa di masa yang sezaman dengan kedatangan orang-orang Belanda, seperti, umpamanya, dalam peristiwa pertempuran di Batavia pada awal abad ke-17:
Orang-orang Belanda melihat Pangeran Purbaja mendekat; mereka telah mendengar bahwa dia memiliki kesaktian yang luar biasa dan bisa terbang. Maka mereka menghujaninya dengan tembakan meriam, tapi tak satu pun peluru mengenainya … Sambil mendekati benteng, dia berseru, “Mengapa kalian menembaki aku, hai orang-orang Belanda? Apakah kalian masih percaya akan kekuatan benteng kalian?” Dia menunjuk ke arah benteng itu, dan seketika itu pula terbuka sebuah lubang sebesar orang pada benteng itu. Setelah membuktikan kesaktiannya tersebut, Pangeran kembali ke kapalnya.
Ketiga puluh orang yang mati di Tangerang itu merupakan bukti yang mengerikan, bahwa kepercayaan akan jimat dan kekuatan-kekuatan adikodrati hanya akan mengalami kegagalan begitu orang mencoba memindahkan kepercayaan itu dari dunia khayalan yang magis ke dunia realitas. Namun, mereka juga merupakan bukti bahwa pada abad ke-20, kepercayaan itu masih hidup dengan tegarnya.
Tahun 1924 saja, diketahui telah terjadi tiga percobaan lainnya untuk mendirikan “kerajaan” di daerah-daerah lainnya di Jawa, di mana “sang raja” dapat dipisahkan dari “keratonnya” tanpa menimbulkan pertumpahan darah, walau tidak tanpa menggunakan kekerasan dan menghadapi sikap perlawanan dari pengikut-pengikutnya. Semua kasus itu melibatkan kepercayaan orang Jawa mengenai nubuat tentang akan munculnya Ratu Adil, yang akan mendirikan sebuah kerajaan yang sejahtera, di mana rakyatnya akan hidup makmur, bebas dari pajak, memiliki rumah tembok, dan sebagainya.
***
Pada 1872, ketika kerusuhan-kerusuhan terjadi di Jawa Tengah, didesas-desuskan bahwa Jayabaya berada di balik itu semua. Atas pertanyaan, siapa gerangan Jayabaya itu, jawaban yang lumrah adalah, “Jayabaya merupakan seorang raja dan peramal yang meramalkan bencana-bencana dan pelbagai penghinaan yang akan dialami oleh orang-orang Jawa sebelum mereka memperoleh kekuasaan dan dihormati.
Sarjana Belanda Wiselius memberikan satu versi dari nubuat itu. Jayabaya, yang meramalkan masa depan melalui makanan yang dihidangkan kepadanya, melihat silih berganti masa-masa yang bahagia dan tidak bahagia bagi pulau Jawa, sampai tibanya kaum pelaut (yakni, orang-orang Belanda):
Di zaman ini pelaut-pelaut akan tiba di Jawa untuk berdagang. Mereka akan terlibat dalam pertikaian (pertengkaran keluarga di antara pangeran-pangeran Mataram) dan akan mengepung negeri dari segala jurusan; akhirnya mereka akan menyerang kerajaan dan memecahnya … Sesudah dalam kurun waktu seratus tahun empat raja memerintah, akan tiba suatu zaman kekacauan. Kemurkaan Tuhan akan menimpa Jawa, kekayaan negeri akan menghilang, dan bencana-bencana besar akan silih berganti. Kemarahan Tuhan akan bertambah dari tahun ke tahun. Kaum bangsawan akan mendapat kutukan dan rakyat akan menderita … Kebenaran akan lenyap … Para pangeran akan tidak menentu dalam putusan-putusan mereka, ragu-ragu dan tanpa kekuatan. Pelbagai perintah mereka akan mendatangkan kehancuran bagi rakyat.
Akan tetapi, begitu pula, akhir kerajaan akan sudah dekat. Bencana-bencana alam akan memberi alamat tentang kedatangan Si Tandjung Putih (Raja Champa?); ia akan datang dari Mekkah, seorang keturunan para Wali. Ia seorang rudin dan pada mulanya tidak dikenal, tapi Tuhan sendiri akan berperang untuknya dan menghancurkan semua musuh-musuhnya. Arkian, keadilan akan berlaku. Rahmat pemerintahan pendeta-raja itu digambarkan dengan cara yang sama mendetailnya, seperti melukiskan masa kebrengsekan yang mendahuluinya, dengan ungkapan-ungkapan simpati terhadap rakyat, yang akan memperoleh imbalan kesenangan yang melimpah untuk segala penderitaan yang telah mereka alami.
Namun begitu, kerajaan “pamungkas” belum lagi tiba. Sebab kerajaan yang ini pun akan merosot, dan diganti oleh suatu zaman anyar di mana manusia-manusia hanya mementingkan diri sendiri. Sesudah itu, akan muncul lagi sebuah kerajaan kebahagiaan di bawah pendeta-pendeta Erutjakra (atau Erucakra; berasal dari Vairocana, Buddha tertinggi), dengan prospek-prospek yang baik bagi rakyat jelata, seperti ketika mereka diperintah oleh Si Tandjung Putih. Akan tetapi, kerajaan ini pun tidak kekal. Kembali suatu zaman ketidakadilan akan disusul oleh zaman keadilan, sampai dalam tahun 2000 sejarah Jawa akan berakhir.
Pada pandangan pertama, campuran gagasan-gagasan Islam dan Hindu yang diputar-balikkan itu menyemakkan. Meskipun, di satu pihak, Si Tandjung Putih dapat dikenali sebagai tokoh Mahdi, yang telah berkembang dalam tradisi Islam sampai akhir abad ke-19–sebagai imam-raja yang musuh-musuhnya dibumihanguskan oleh Tuhan sendiri–di pihak liyan, nubuat tentang akhir zaman perdamaian dan penggantiannya oleh zaman ketamakan, suatu nubuat yang jelas tak ada persamaannya dalam Islam, mengacu kepada alam pikiran Hindu Yoga. Dapatkah, kiranya, kita mengulik dalam silih bergantiannya zaman kebahagiaan dan zaman kesengsaraan itu merupakan pengaruh kepercayaan mengenai zaman Kertayuga dan zaman Kaliyuga?
Namun, harapan-harapan yang berkaitan dengan Si Tandjung Putih dan Erucakra mengingatkan kita kepada Maitreya dalam agama Buddha, yang sebagai calon Buddha dan pengemban Ketiga Keinginan mendatangkan kekayaan bagi pengikut-pengikutnya. Dalam kedudukan itu, ia sudah merupakan tokoh hakiki dalam kepustakaan Jawa Abad Pertengahan, dan bahwasanya ia tetap merupakan tokoh yang masyhur sepanjang masa Islamisasi di Jawa, dapat disimpulkan dari tetap dikenalnya nama Vairocana, artinya, Erutjakra. Akan tetapi, ciri-ciri Hindu-Buddhis ini pada gilirannya terdesak ke belakang oleh nubuat yang tiba-tiba, bahwa sejarah Jawa akan berakhir pada 2000.
Perangkuman yang khas dari unsur-unsur Hinduisme-Buddhisme dan Islam itu merupakan satu ciri yang menonjol dari kebudayaan Jawa. Tanpa melepaskan diri dari pelbagai pengaruh Hinduisme dan Buddhisme, yang telah berusia berabad-abad, dan yang sejak dini sekali menjadi satu dalam kesadaran rakyat jelata, kebudayaan itu juga mampu menyerap ciri-ciri Islam, dan mempersatukannya ke dalam suatu sintesis. Menjelang sekitar 1870, sifat Islam dari nubuat-nubuat itu sudah menjadi dominan, sebagaimana dengan jelas dikesankan oleh nubuat tentang akhir sejarah Jawa.
Di dalam versi yang paling awal yang kita ketahui, yang menyebut-nyebut Messias Jawa (pada permulaan abad ke-18), proporsi-proporsinya dibalik: nama-nama bulan, dan pernyataan bahwa Jawa masih “kafir” ketika orang-orang Brahman tiba, tidak lain hanya menunjuk kepada permulaan Islamisasi yang berlangsung secara berangsur-angsur. Nubuat itu diakhiri dengan kata-kata: ‘Raja ini … akan memerintah selama seratus tahun. Lalu keadaannya akan seperti di zaman Tretayuga.
Naskah paling tua yang bisa dilestarikan itu tampaknya masih merupakan sebuah rumusan dari kraton. Brandes, yang menyalinnya, menganggapnya sebagai sebuah “prototipe dari nubuat-nubuat Jayabaya.” Bahwasanya nama Jayabaya tidak disebut-sebut, menurut pendapatnya, hanya suatu kebetulan saja. Namun, raja-raja Jawa sama sekali tidak merasa perlu untuk menyambat kewajiban seorang peramal untuk lebih menjamin suatu masa pemerintahan yang masa depannya sudah dipastikan secara magis. Nubuat, bahwa Tretayuga akan dimulai sesudah zaman keemasan, terutama sekali mencerminkan keyakinan para pujangga keraton tentang apa yang akan terjadi sesudah Dvaparayuga dan Kaliyuga.
***
Menjelang permulaan abad ke-18, Vereenigde Oostindische Compagnie, Kongsi Perusahaan Hindia Timur (VOC) sudah sejak beberapa lama bergiat di Jawa. Begitu pula, di dalam tarikh resmi Jawa di masa itu, VOC tidak dipandang sebagai lawan melainkan sebagai sebuah kekuatan yang bersekutu dengan keraton. Setelah gagalnya percobaan yang pertama untuk “mengusir orang-orang Belanda di Batavia,” dikeluarkan pernyataan, bahwa “dengan takdir kehendak Allah, raja-raja yang memerintah sesudah saya harus dibantu oleh orang-orang Belanda.” Pada mulanya, para pujangga keraton tidak dapat membayangkan, bahwa pedagang-pedagang asing itu akan dapat menjatuhkan kekuasaan kerajaan mereka; oleh karenanya, mereka mengubah saja fakta-faktanya dan bukan tradisi keraton, di mana pihak “lawan” dapat dengan mudah diubah menjadi “sekutu”.
Akan tetapi, pada akhirnya, kenyataan bahwa mereka telah ditundukkan tidak dapat disembunyikan lagi. Pemecahan kerajaan Mataram, yang dipaksakan oleh Belanda, sekitar pertengahan abad ke-18, membuka kedok rekaan tentang suatu persekutuan, sehingga sekarang dirasa perlu untuk menampilkan seorang peramal. Mungkin itulah yang merupakan saat lahirnya Jayabaya, pembawa alamat pembebasan dari dominasi asing. Nama Jayabaya sudah tidak asing lagi di kalangan orang Jawa semenjak masa pemerintahan raja Jaya Bhaya yang historis di Kediri (sekitar 1150 Masehi), yang telah memerintah penyaduran kembali bagian-bagian dari Mahabharata ke dalam bahasa Jawa dengan judul Bharata Yudha. Oleh karena namanya diturunkan dari generasi ke generasi dalam kelindannya dengan pelukisan yang populer dari peperangan antara kaum Pandawa dan kaum Kurawa itu, maka Jayabaya oleh orang-orang Jawa pada umumnya lalu dianggap sebagai seorang raja dari masa yang sudah lama sekali silam. Maka, para pujangga keraton, ketika mereka mencari-cari sebuah nama dengan wibawa yang cukup populer untuk dijadikan trompet mereka dalam meramalkan suatu zaman baru di bawah kekuasaan raja-raja pribumi, dengan sendirinya berpaling kepada Jayabaya.
Nubuat tertua yang kita kenal, yang menyambat wibawa Jayabaya, ditemukan pada 1816 dalam perpustakaan Sultan Yogyakarta, oleh Sir Thomas Stamford Raffles.
Dalam 1950, pusat pemerintahan akan dipindahkan ke Kediri, seperti keadaannya di masa lampau. Lalu akan datang orang-orang Pringi (Eropa), yang setelah menaklukkan Jawa, akan membentuk pemerintahan mereka pada 1955. Akan tetapi, Raja Keling (artinya, India, atau negeri-negeri asing pada umumnya), setelah mendengar kabar tentang penaklukan dan penghancuran Jawa oleh orang-orang Pringi, akan mengirim pasukan tentara yang akan mengalahkan dan mengusir mereka ke luar Jawa; dan setelah untuk kesekian kalinya menyerahkan pulau itu kepada pemerintah orang-orang Jawa, ia akan kembali ke negerinya tahun 1960.
Ada kemungkinan bahwa nubuat ini hanya setelah Raffles tiba di Jawa sebagai pemimpin sebuah ekspedisi Inggris dari India, yang lalu menduduki Jawa karena Negeri Belanda ikut serta dalam blokade terhadap Inggris yang dilakukan oleh daratan Eropa atas perintah Napoleon. Barangkali Raffles sendiri dipandang sebagai pembebas atau utusan dari Raja Keling, yang sekarang (setelah memerintah selama lima tahun tepatnya) harus disilakan untuk mengembalikan pulau Jawa kepada pemerintah orang-orang Jawa. Namun yang merupakan pokok persoalannya ialah disebut-sebutnya penaklukkan dan penghancuran Jawa oleh orang-orang Eropa, yang karenanya hanya dapat diusir lagi dengan bantuan dari luar.
Pada abad ke-19, nubuat ini–yang secara terus terang mengakui, bahwa Jawa tidak berdaya untuk mengusir orang-orang asing–terdesak ke masa silam. Baru satu abad kemudian, setelah Jepang naik statusnya menjadi sebuah negara besar, harapan akan memperoleh bantuan dari luar muncul kembali, dan kali ini harapan itu akan mempunyai arti politik yang sangat hakiki. Sementara itu–terutama selama paruh kedua abad ke-19–harapan dipusatkan pada kedatangan Messias Jawa dengan cara seperti yang didedahkan oleh Wiselius. Sesudah Pangeran Diponegoro, pahlawan Perang Jawa (1825-1830), memakai nama Erucakra, nubuat yang berkait-kelindan dengannya menjadi terkenal luas. Selain itu, setelah perang berakhir, penduduk pedesaan di Jawa untuk pertama kalinya menyadari beratnya beban yang dipikulkan kepada mereka oleh majikan-majikan asing mereka, tatkala sebagai tanggapan atas permintaan dari pasar-pasar Eropa, produk-produk tertentu yang diperkenalkan oleh Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), dan petani dipaksa meninggalkan irama hidup mereka yang sudah lazim.
Sebagai akibat Sistem Tanam Paksa yang mengejami ini, keterlibatan dalam hutang dan penyitaan, terutama setelah panen gagal, meletakkan dasar bagi pelbagai spekulasi dan antisipasi yang merajalela mengenai akan tibanya Messias. Guru-guru yang berkeliling mengumumkan akan segera tibanya Ratu Adil dan memberikan penjelasan kepada rakyat jelata tentang bagaimana ia harus disambut. Mereka memberikan arti yang sangat hakiki kepada gempa bumi, letusan gunung api, dan bencana-bencana alam lainnya; segala sesuatu yang tidak biasa dianggap sebagai suatu pertanda. Di samping itu, munculnya “Mahdi Sudan” pada awal dasawarsa 1880-an dan sikap bermusuhan orang-orang muslim yang semakin tajam terhadap “kaum kafir” menyuburkan harapan-harapan umum itu.
Dengan demikian, maka hal-hal yang sepele sekali pun dapat menyebabkan timbulnya gerakan-gerakan Ratu Adil, seperti yang terjadi di Tangerang. Sudah sejak 1888, ketika bentrokan-bentrokan yang serius terjadi di dekat Cilegon sehubungan dengan pengakuan seorang bahwa dia Ratu Adil, pemimpin redaksi surat kabar harian Locomotief menerima informasi mengenai sembilan belas insiden seperti itu, dan menulis bahwa “semua serangan dan pemberontakan itu mirip dengan peristiwa-peristiwa di Cilegon: sifatnya yang sama-sama kabur, sehingga tidak ada seorang pun dapat mengatakan dengan pasti ke arah mana angin sedang bertiup; tetapi setiap kali dimanifestasikan unsur-unsur yang sama, yaitu ketidakpuasan rakyat, orang yang mengaku keturunan Sultan, dan fanatisme (populisme) agama.”
Bagi Belanda, setiap pikiran bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak biasa diduga itu didasari oleh perasaan anti-asing, yang tak terpisahkan dari gagasan perihal Ratu Adil, tampaknya masih terlalu dicari-cari untuk dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Bagaimanapun, langkah-langkah tegas yang telah mereka ambil untuk menegakkan sebuah pemerintahan kolonial di seluruh Hindia boleh dikatakan berhasil. Akan tetapi, suatu keinginan untuk bebas dari dominasi asing merupakan satu-satunya hal yang dapat menjelaskan tanda-tanda ketidakpuasaan itu–pengakuan sebagai keturunan Sultan dan fanatisme agama–yang diungkapkan dalam gerakan Ratu Adil di mana-mana; sebagai penguasa-penguasa asing merupakan rintangan utama untuk mencapai pelbagai kebaikan yang diharapkan oleh rakyat.
Satu perkembangan liyan, yang pasti tidak direncanakan oleh kaum bangsawan Jawa, terjadi ketika, setelah 1750, mereka berusaha untuk mempopulerkan citra Maitreya yang lama dari keraton–yakni suatu kemerosotan dari otoritas mereka sendiri. Secara bertahap, harapan mengenai kedatangan Ratu Adil yang telah dijanjikan oleh Jayabaya tidak lagi dipusatkan kepada keraton semata-mata. Nubuat tahun 1870 menyatakan, bahwa Messias itu adalah seorang yang rudin dan pada mulanya tidak dikenal. Oleh sebab itu, pintu bagi spekulasi terbuka begitu lebar sehingga pada akhirnya menjadi mungkin bagi orang Jawa yang mana pun untuk dipermaklumkan atau ditahbiskan sebagai Ratu Adil.
“Sosialisasi” gagasan-gagasan keraton tentang Maitreya ini mempunyai 3 prasyarat hakiki:
- Semakin menyebarluasnya ajaran-ajaran Islam, dalam kesadaran bahwa semua orang bermartabat sama di hadapan Allah.
- Semakin meluasnya harapan akan kedatangan seorang Mahdi di seluruh dunia Islam dalam paruh kedua abad ke-19.
- Semakin besarnya ketidakpuasan dengan peran kaum bangsawan Jawa, yang telah membiarkan diri mereka diperalat oleh penguasa-penguasa asing dalam pelaksanaan suatu sistem pengawasan tidak langsung.
Ketiga perkembangan itu dengan sendirinya memperkuat sentimen anti-asing, yang kaitannya dengan nubuat-nubuat tentang Jayabaya mungkin dimulai sejak kelahiran nubuat-nubuat itu setelah 1750, yang mengubah citra Maitreya yang sudah masyhur sejak bahari kala, menjadi sebuah alat politik dan meratakan jalan bagi pelbagai gagasan nasionalis, bahkan di kalangan penduduk pedesaan.