Syahdan, Iskandar Muda, sultan di Kerajaan Aceh (titimangsa 1607-1636), sangat termotivasi oleh mitos sosok Iskandar Zulkarnain. Selama hidupnya—bahkan boleh jadi sejak kecil—Iskandar Muda memimpikan kejayaan pahlawan itu yang perbuatan-perbuatannya luar biasa suka diceritakan dalam roman-roman Melayu, memang tidak dapat diragukan lagi.
Menurut Hikajat Aceh, sultan dari Rum (artinya dari Istanbul) mengucapkan perbandingan yang menyenangkan sebagai berikut: “Sebagaimana dahulu Tuhan telah menciptakan dua raja yang mahakuasa, Nabi Sulaiman dan Maharaja Iskandar [Zulkarnain], begitu pula kini Dia menciptakan sekali lagi dua raja nan agung: Sultan Rum di Barat dan Perkasa Alam di Timur.
Perbandingan yang mirip kita temukan dalam sebagian Adat Aceh yang tak dapat disangsikan keasliannya: apabila Syah Alam ke luar dengan upacara besar dari istana atau dari masjid pada hari kurban kerbau yang termashyur itu, “Dia laksana Iskandar Zulkarnain kala meninggalkan Rum untuk menaklukkan dunia”.
Maka dapat ditegaskan bahwa gagasan tersebut lazim pada masa itu serta Iskandar Muda sedang dihantui gambaran penakluk besar. Bukan hal ihwal baru, sebab di India sudah sedini abad ke-14 M terdapat raja-raja yang ingin memakai nama “Iskandar Kedua”: Muhammad Ibn Tughluq, Sultan Agung dari Delhi (1325-1351), Bahman Shah (Alau’d-Din), pendiri wangsa Bahmani dari Dekkan (1347-1358) menyuruh tuliskan gelar “Iskandar al-Tsani” di atas mata uang mereka (Lombard, 1991: 235-6).
Ideologi politik
Kita keliru jika penyamaan tokoh dengan Iskandar (Zulkarnain) dianggap tamsil kasar atas kesombongan yang tidak berdasar. Menurut sejarawan Denys Lombard dalam bukunya, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, 1607-1636 (1991), Sultan Iskandar Muda dan para penasihatnya telah merumuskan cara tercanggih untuk doktrin rakyatnya. Mereka telah menyusun uraian yang panjang-lebar, tidak hanya mengenai hak-hak raja, tetapi juga perihal kewajiban-kewajibannya. Mereka melaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab apa yang menurut pendapat mereka anggap sebagai amanah.
Menurut Adat Aceh, asas-asas pokok pemerintahan ada sepuluh jumlahnya:
- Takhta yang bertumpu pada kekuasaan
- Ketegasan dalam memerintah
- Kesabaran apabila sedang murka
- Mengangkat yang lemah
- Merendahkan yang besar kuasanya
- Menghormati yang hina
- Merendahkan yang sombong
- Mematikan yang hidup dan menghidupkan yang mati (sudah tentu perumusan yang agak khas untuk kita namakan ‘hak atas hidup dan mati’)
- Keikhlasan sewaktu mendengar orang yang menghadap
- Kemasyhuran dalam peradilan, yang tersiar sampai ke luar negeri.
Program yang cukup baik ini, yang secara bijaksana melunakkan kekuasaan berkat budi mulia, dilengkapi dan dilukiskan dalam beberapa bab Mahkota Raja-Raja.
Sultan harus memakai kekuasaannya di bidang peradilan dan kepolisian:
Kewajiban ke-11: Seorang raja tak boleh mengulur-ulurkan perkara yang harus diputuskan antara dua pihak berlawanan, sebab kelambanan sedemikian sangat merugikan kedua belah pihak; dan jikalau mungkin, pertama-tama harus dicobanya membuat mereka mencapai kesepakatan, yaitu merukunkan mereka.
Kewajiban ke-12: Seorang raja harus berhati-hati, jangan sampai mengumumkan pelbagai kesalahan abdi-abdi Allah atau menyia-nyiakan hambanya, kalau mereka berbuat salah atau lalai. Kesalahan hamba harus disembunyikannya dan sedapat mungkin dirahasiakannya protes yang dikemukakan terhadap mereka.
Kewajiban ke-14: Apabila suatu perkara pelik sedang diputuskan raja, dia harus menyederhanakannya sejauh dialah yang dapat menentukannya dengan mempertimbangkan dengan tepat pelbagai keadaannya dan sifat manusia-manusia yang terlibat.
Selain itu, di samping kedudukan Sultan Iskandar Muda sebagai sebagai wasit, yang sangat ditekankan oleh teks-teks, dan yang hanya mungkin dalam batas-batas sebuah kota yang penduduknya bagaimanapun juga tetap terbatas, ada disebut kewajiban-kewajiban tertentu lain yang rupanya menunjukkan peralihan menjadi negara yang lebih luas dan rumit dari aspek geografi:
Kewajiban ke-17: Raja harus membersihkan jalan-jalan yang dilalui para musafir yang menjelajahi kerajaannya dari setiap penjahat, supaya para abdi Allah dapat berjalan dengan seaman-amannya. Dia harus menuntut dan menghukum dengan keras setiap pembegalan yang dilakukan di jalan-jalannya. Dia harus pula membuatkan tempat-tempat perhentian bagi para penjelajah di tempat jalan-jalan menjadi sukar dan berisiko.
Kewajiban ke-18: Pada jalan dan di kampung-kampung kerajaannya, raja harus menyuruh buatkan rumah penampung bagi para abdi Allah yang harus menyuruh buatkan rumah penampung bagi para abdi Allah yang harus singgah dan bermalam di tempat-tempat yang begitu jauh letaknya dari kota-kota, hingga tidak mungkin tercapai pada siang hari. Perlu pula dia membangun jembatan di atas sungai-sungai yang sukar diseberangi, supaya jalannya para penjelajah dimudahkan.
Imaji kosmik
Barangkali gagasan ini berlestari dan orang dapat mengatakan bahwa di Aceh awal abad ke-17 ideologi kekuasaan raja sedang tumbuh berkembang. Sejarawan Amirul Hadi dalam karyanya, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh (2004) menelatah bahwa ‘Ala ad-Din Ri’ayat Syah, kemudian Iskandar Muda, berhasil menjalankan kebijaksanan yang tegas terhadap orang kaya dan sedikit demi sedikit memperoleh pengakuan akan kekuasaan mereka secara total. Mereka mengadakan sistem niaga yang bersifat monopoli. Tidak mengherankan apabila pada tingkat mental, paham kedaulatan telah mengalami suatu perubahan, suatu “pemodernan” tertentu.
Dari banyak segi, Sultan Aceh memang tetap raja Melayu gaya lama. Dirinya sendirilah yang penting, sekurang-kurangnya sama penting dengan kemauannya. Dikelilingi tata cara yang ketat (pada prinsipnya orang tidak dapat menemuinya sebelum menerima keris dari raja), hidupnya jauh di tengah istananya (yang hanya boleh didatangi oleh kaum perempuan), dan alat-alat kerajaan yang mengiringinya ke manapun (keris, pedang, ayam, dan lain sebagainya) tetap mengandung makna yang dalam.
Kita melihat bahwa situs bersejarah seperti Gunungan dan Rajapaksi di Aceh, mestinya juga mengandung arti simbolis yang tegas, yang tepat untuk menimbulkan bayangan akan wibawa kosmik sang raja.
Pada hari-hari tertentu, sultan yang biasanya tak dapat dikunjungi, memperlihatkan diri kepada penduduk dan melintasi ibu kotanya dengan kemewahan besar atau menerima pegawainya dan menyuguhkan kepada mereka “sisa-sisa” santapan dari mejanya. Pergi berziarah lebih jarang dijalankannya, tetapi dengan begitu dia dapat berhubungan dengan tanahnya dan “mencicipi daerahnya”. Hal ihwal ini sebenarnya ciri-ciri khas suatu bentuk kedaulatan yang telah terdapat jauh-jauh hari di kawasan Asia Tenggara kuno (Feener, Daly, & Reid, 2011).
Akan tetapi, di Aceh abad ke-17, pribadi sultan sudah untuk sebagian lepas dari beban kosmik itu. Artinya, di mata kalangan tertentu, dan telah memperoleh nilai sebagai “teladan moral”. Teks-teks teoritis yang dipengaruhi oleh teks-teks Islam yang merupakan sumber ilhamnya, sering kali menekankan segi karakter sang raja:
Kewajiban ke-19: Seandainya raja telah mendapat syahwat dalam melakukan suatu kesalahan, dia tidak boleh mendorong para hamba Allah melakukan kekhilafan yang sama, seperti yang dia lakukan karena ketamakannya; sebaliknya, dia harus menyembunyikannya dengan cermat dan tidak menceritakannya kepada siapa pun, oleh karena hamba mengikuti contoh raja, tak hanya dalam hal yang baik, tetapi juga dalam perilaku yang jelek, dan para raja mendapat hukuman untuk kekeliruan-kekeliruan hambanya oleh karena merekalah sebab perbuatan buruk hamba itu.
Kewajiban ke-20: Raja harus selalu dengan setia mamatuhi peraturan-peraturan dan pelbagai larangan dan menyinggir kepada hambanya jalan kebenaran.
Maka, kedudukan raja tidak lagi terbatas pada memelihara keserasian dengan tertib alam, tapi juga memberi jaminan akan tertib moral dalam masyarakat. Dan di balik perubahan pertama ini, sudah pasti ada perubahan lain yang sedang terjadi: peran yang didaulat kepada raja sebagai pengatur moral berkurang dan nampaklah grahita yang baru, yaitu ideologi akan suatu wibawa yang tidak bersifat individual dan yang ada dengan sendirinya, yang dirasakan perlu untuk organisasi negara besar.
Munculnya unsur-unsur pertama suatu pemerintahan yang sesungguhnya, dibentuknya satuan polisi yang boleh dikatakan “bawah tanah” dan yang bertugas menjalankan dengan pasif perintah yang datang dari atas, diterimanya cap wangsa Moghul Agung sebagai simbol yang melambangkan kemauan Sultan Iskandar Muda sedemikian rupa, hingga kehadiran raja tidak diperlukan lagi; semua itu sekian banyak tanda yang menimbulkan gagasan, bahwa sang raja tidak lagi hanya dipandang sebagai “bapa” bagi hambanya (Reid, 2005).