Ada beberapa kasus di mana pemimpin Ansor mencoba melindungi mereka yang ditautkan dengan PKI, tetapi orang semacam ini sangatlah sedikit jumlahnya.
Periode Demokrasi Terpimpin yang halai-balai, radikal, korup, dan penuh kekerasan itu menemui akhirnya di Jakarta, pada akhir September 1965.
Sebuah kelompok kudeta militer yang tidak terorganisir dengan baik menyingkirkan pemimpin tinggi angkatan darat dengan cara menculik dan membunuh enam jenderal senior dan seorang ajudan. Tindakan busuk dilakukan dengan dalih untuk mencegah apa yang diyakininya sebagai kudeta oleh Dewan Jenderal yang disponsori oleh Amerika Serikat.
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang merupakan organisasi perempuan Partai Komunis Indonesia, dan sayap pemudanya, Pemuda Rakyat, dikabarkan juga terlibat di dalam upaya kudeta itu. Tidak jelas seberapa jauh upaya perebutan kekuasaan ini benar-benar merupakan hasil persekongkolan jahat PKI, seberapa banyak ia muncul dari isu-isu intra-militer, dan seberapa aksi ini murni merupakan tindakan para aktivis PKI atau merupakan kudeta militer, mengingat selama bertahun-tahun telah terjadi infiltrasi satu sama lain, saling pengaruh-memengaruhi, dan kontak bawah tanah antarkeduanya.
Apa pun itu, upaya kudeta ini dengan cepat berhasil digagalkan, dan Mayor Jenderal (yang kemudian menjadi Presiden) Soeharto, yang saat itu menjabat pemimpin Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), mengambil alih kepemimpinan militer dan mulai–dengan sangat cermat dan metodis–meletakkan landasan bagi penggantian Soekarno sebagai Presiden dan implementasi rezim “Orde Baru”-nya sendiri.
PKI menjadi pihak yang dipersalahkan untuk peristiwa yang meletus di Jakarta oleh militer dan banyak lawan-lawan politiknya dari pihak santri.
Di Jakarta dan berbagai kota lain, para aktivis pemuda dari beragam latar belakang (termasuk Kristen) dengan dukungan militer membentuk kelompok-kelompok untuk menyerang anggota PKI dan harta-benda mereka. Masyarakat keturunan Cina juga menjadi sasaran.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kekerasan sosial juga merebak dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ansor Nahdlatul Ulama dan sayap milisinya, Barisan Serba Guna (Banser), memimpin jalannya pembantaian, walaupun organisasi-organisasi Islam yang lainnya terutama Muhammadiyah, menurut Boland, juga mengeluarkan pernyataan bahwa pembersihan PKI adalah kewajiban beragama yang sama pentingnya dengan perang Jihad.
Para kiai tidak sesuara dalam fatwa mereka mengenai nasib yang menanti kaum Komunis, tetapi sebagian besar dari mereka menilai bahwa membunuh kader-kader PKI adalah sesuatu yang diperbolehkan, bahkan merupakan sebuah kewajiban beragama. Musuh-musuh Komunis dipandang sebagai pengkhianat terhadap pemerintah yang sah dan merupakan kaum kafir yang ateistik.
Konsekuensi dari perihal ini adalah bahwa beberapa anggota PKI bisa lepas dari upaya pembunuhan dengan cara mengucapkan kalimat syahadat, dan dengan demikian, “bertobat” kepada Islam dari status Muslim nominal abangan mereka yang sebelumnya, serta mempersulit para santri untuk membunuh mereka, menegaskan bahwa ini pada dasarnya adalah sebuah konflik religius di mata para aktivis santri.
Namun, strategi ini tidak selalu berhasil. Beberapa kaum abangan memang mampu mengucapkan kalimat syahadat dengan fasih, seperti halnya para pemeluk nominal agama lain, sering kali juga sanggup menggumamkan frasa-frasa ritual paling sederhana dari komunitas kultural mereka, sehingga tidak sedikit orang yang dituduh sebagai anggota PKI yang mengucapkan kalimat syahadat tetap saja dibunuh.
Setidaknya, menurut Hermawan Sulistyo, ada seorang kiai yang mengatakan bahwa iman adalah urusan pribadi antara orang percaya dan Allah Swt; kaum Komunis yang memberontak terhadap pemerintah Indonesia yang sah bisa dibunuh, entah mereka Muslim atau bukan, tetapi setiap orang yang tidak memberontak, entah dia kafir atau bukan, harus dibiarkan hidup; tetapi kita tidak bisa mengharapkan bahwa banyak nyawa terselamatkan berkat perbedaan yang subtil ini.
Alih-alih, menurut Greg Fealy dan Katharine McGregor, terdapat beberapa kiai yang mencoba menghentikan pertumpahan darah atau menawarkan perlindungan kepada kaum Komunis, tetapi jumlah mereka tidak banyak dan, secara keseluruhan, dampak tindakan mereka kecil belaka. Bahkan, ada beberapa kasus di mana pemimpin Ansor mencoba melindungi mereka yang ditautkan dengan PKI, tetapi orang semacam ini sangatlah sedikit jumlahnya.
Upaya pembersihan ini, dalam kebanyakan kasus, berlangsung dengan mudah. Tidak banyak aktivis PKI yang mencoba untuk melawan nasib yang menimpa mereka. Pihak yang dulunya telah mengambil langkah ofensif dengan melancarkan kampanye aksi sepihak kini, tampaknya begitu saja menerima kenyataan bahwa mereka kalah dan kematian telah menanti mereka.
Hanya sedikit tokoh atau pengikut PKI yang berhasil meloloskan diri, sebab di daerah pedesaan di Jawa pada waktu itu, nyaris tidak mungkin pindah ke suatu wilayah baru, tanpa diketahui orang lain.
Para pembunuh tidak memerlukan senjata api. Mereka lebih memilih menggunakan senjata mereka sendiri: keris, pedang, celurit, dan alat-alat pertanian lainnya. Dan, tentu saja, kepercayaan bahwa mereka memiliki ilmu kekebalan tubuh.
Dalam satu dari sedikit kasus perlawanan PKI, kaum Komunis berusaha mempertahankan diri mereka dengan pentung dan panah. Aktivis dan pengikut PKI–dan, tak diragukan lagi, banyak orang lain yang baru menyadari bahwa mereka berada di kelompok yang keliru pada waktu yang salah–dibacok, ditusuk, dan dihajar sampai mati.
Menurut sejarawan MC Ricklefs, pemenggalan kepala menjadi praktik yang lazim. Di Kediri, banyak korban ditebas kepalanya di tepian sungai Brantas. Mayat-mayat mereka dibuang begitu saja ke sungai. Anggota-anggota Banser juga terluka dan terbunuh dalam beberapa bentrokan. Namun, tidak ada keraguan bahwa korban terbanyak berasal dari pihak abangan yang berafiliasi dengan PKI.
Tidak seorang pun mengetahui dengan pasti, berapa banyak orang yang kehilangan nyawa mereka di dalam kegilaan pembantaian, yang berlanjut hingga Agustus 1966, sebab tak ada yang menghitung. Baru ketika pembantaian mulai menyusut pada pertengahan 1966, orang berpikir untuk menguburkan mayat-mayat orang yang dibunuh.
Beberapa pengamat telah mencoba menyampaikan jumlah total korban yang meninggal dunia, tetapi mereka kekurangan informasi yang bisa menjadi landasan bagi perhitungan mereka itu. Ada konsensus umum, bahwa korban meninggal dunia di seluruh pelosok Indonesia–dan itu sebagian besar terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali–berjumlah antara setengah juta dan dua juta jiwa. Sebagian besar analis menganggap angka setengah juta lebih masuk akal karena angka itu lebih rendah, tetapi dalam kenyataannya tidak terdapat data yang dapat membuat konsensus ini valid.
Arkian, pertumpahan darah ini benar-benar memukul banyak masyarakat Jawa–mereka yang kehilangan nyawa; kepedihan, kemiskinan, ketakberdayaan, dan diskriminasi yang ditanggung oleh mereka yang selamat dan anak-cucu korban; puluhan ribu orang yang dipenjara selama bertahun-tahun tanpa diadili; beban rasa bersalah di pihak yang melakukan pembantaian–sekaligus menjadi sesuatu yang diceritakan dengan rasa bangga oleh banyak pihak lain. Warisan pembantaian ini masih bergema di antara masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa.
Menurut Hairus Salim –aktivis NU yang menulis tesis tentang Banser– pada 2000, pemimpin Ansor dan Banser di Yogyakarta meminta maaf kepada keluarga korban pembantaian, dengan mengatakan bahwa “…saat itu, warga NU khususnya Banser, hanya dimanfaatkan dan dijadikan alat oleh pihak militer untuk kepentingan militer.” Banser selanjutnya membantu penggalian kuburan massal korban di Boyolali, Jawa Tengah.