Sedang Membaca
Kacamata Kuda
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Kacamata Kuda

“Identitas,” ujar sastrawan Lebanon-Prancis, Amin Maalouf, “Ibarat sebuah pola yang digariskan pada perkamen yang dibentang kuat-kuat. Sentil saja satu bagiannya, satu pertalian saja, dan diri orang itu sepenuhnya akan bereaksi, seluruh tambur akan berdentum” (Maalouf, In the Name of Identity: Violence and the Need to Belong, 2003, hlm. 26).

Tatkala seseorang dijahili gara-gara agamanya, dipermalukan atau diolok-olok karena warna kulit, logat, atau pakaiannya yang lusuh, ia takkan pernah melupakannya. Orang kerap memandang diri mereka dalam pengertian pertaliannya yang mana yang paling diserang.

Perspektif identitas tentang ‘mereka’ dan ‘kita’ inilah yang membentuk kesalahan fatal: keyakinan bahwa pengelompokkan atas nama ras, Tuhan, partai, atau negara menjadi tujuan utama kehidupan dan bukan sekadar sarana untuk mencapai tujuan.

Visi Manichean (kacamata kuda) dari masyarakat yang membagi mereka dan kita, baik dan buruk, tidak hanya tak masuk akal tapi juga berbahaya; dengan mengandaikan mayapada dibagi menjadi blok-blok, menciptakan kerangka pikiran itu, di mana perbedaan perilaku menjadi nyata dan menyebabkan permusuhan yang penuh dendam dan, akhirnya, meletuskan perang atau revolusi. Namun orang cuma perlu menengok aneka macam konflik yang sedang dipertarungkan itu (sejak tempo dulu hingga detik ini) untuk menyadari, bahwa tak ada satu pun pertalian itu yang punya supremasi absolut.

Hal ihwal inilah yang mengusik keprihatinan Sir David Cannadine. Dia lantas menyusuri bentuk-bentuk solidaritas manusia yang paling bergema dalam sejarah, lantaran solidaritas ini ditemukan dan diciptakan, dibangun dan dipertahankan, serta dipertanyakan dan ditolak selama berabad-abad dan melingkupi seluruh belahan dunia.

Lebih dari itu, karena bentuk-bentuk solidaritas ini telah mendefinisikan hidup manusia, melibatkan emosi, dan mempengaruhi takdir individu-individu yang tak terhingga jumlahnya. Itulah: agama, bangsa, kelas, gender, ras, dan peradaban.

Baca juga:  Indonesia Berkaca Diri: Menjadi Religius, Humanis, dan Nasionalis

Melalui bukunya The Undivided Past: Humanity Beyond Our Differences (2013), sejarawan Cambridge dan guru besar di Princeton University ini menyusuri bentuk-bentuk solidaritas manusia yang pernah hadir dalam sejarah. Judul David Cannadine, dengan referensi untuk ‘masa lalu yang tak terbagi’, mungkin nampak menyarankan beberapa ide Platonis. Cannadine menganjurkan tidak kurang dari perubahan arah historiografi, dan perubahan yang berarti diadopsi dari posisi ideologis yang diakui secara eksplisit.

Cannadine mencari tahu mengapa setiap bangsa menekankan karakteristik khusus untuk membedakan diri dari bangsa lain; kelas-kelas berperang untuk memutuskan siapa yang berhak menikmati “kue” keuntungan yang lebih besar dari sarana produksi; perempuan bertarung menentang lelaki untuk menghapus eskploitasi dan diskriminasi; orang kulit putih memaksakan supremasi atas kulit hitam dan kulit hitam berjuang membebaskan dirinya.

Banyak pemimpin dan penulis, kritik Cannadine, yang mengklaim bahwa salah satu dari enam solidaritas kolektif lebih penting dibanding bentuk agregasi manusia lainnya. Identitas-identitas ini dipanggungkan secara intrinsik dan konfrontatif, sehingga dunia harus dipahami dari sudut pandang hitam-putih. Karakteristik dan solidaritas manusia ini dipelihara melalui afirmasi ingatan, penguatan kisah-kisah, ataupun catatan-catatan historis yang menolak sense of common humanity yang lebih besar.

Keseluruhan argumentasi Cannadine yang menarik dan menyulut perdebatan adalah, bahwa sejarawan, bersama-sama dengan akademisi lainnya, telah terlibat dalam mempengaruhi kelompok-kelompok manusia dalam mendasari model jagat Manichaean–dunia, yang ditandai dengan pelbagai unit, dan di atas semua perbedaan antara ‘mereka’/buruk dan ‘kita’/baik. Dan bahwa model yang tak sehat ini, telah masif dipropagandakan–memberikan legitimasi wacana yang efektif–bagi para pemimpin politik dan media massa.

Cannadine menyebut rekannya terlampau menekankan konflik dalam menganalisis sejarah umat manusia dan kurang memperhatikan hal-hal yang melampaui perbedaan. Padahal pembagian manusia atas dasar kelas, agama, ras, gender, bangsa, maupun peradaban bukan bagian terpenting dalam sejarah manusia.

“Sejarawan telah bertindak sebagai pelayan bagi proyek-proyek politik,” kritik pedasnya.

Dalam ulasannya tentang agama, seperti ‘Pagan dan Kristen’, ‘Kristen dan Islam’, dan ‘Katolik dan Protestan’; dan tema-tema yang bergulir seluruhnya adalah pelbagai konflik agama lain yang saling permusuhan –perspektif yang sering berulang dalam sejarah partisan, dengan mengorbankan lukisan sebenarnya, yang jauh lebih kompleks, yang akan menyoroti sifat heterogen dari kategori utama, dan–yang paling penting–realitas toleransi yang hidup secara luas antara masyarakat yang telah menolak untuk meneguhkan identitasnya pada kekuatan tiranik keyakinan agama mereka sendiri.

Baca juga:  Gus Yahya, Israel, dan Palestina

Rasa keterancaman pada yang liyan juga menyebabkan diskusi perihal kebangsaan dalam bab dua, dan di sini juga sejarawan telah memainkan peran penting–baik dalam mendasari pembentukan dan kemudian pemeliharaan rasa identitas nasional, dan juga secara berkala menantang validitas konsep itu. Dengan menunjukkan beberapa kompleksitas politik antarnasional yang membingungkan, Cannadine mendedahkan munculnya konsep ‘bangsa’ yang relatif baru itu, sebagai ‘unit loyalitas kolektif’ (hlm. 69) (istilah ‘nasionalisme’ sebenarnya baru muncul pada 1790-an), dan teritorial, ras, serta ketidakstabilan bahasa, seperti entitas yang dibangun.

Nilai dari penerimaan populer ini–didorong oleh penekanan pragmatis sekali lagi pada eksklusivitas dan keberagaman–telah bersaingan dan berperang; sehingga fungsi sejarawan di sini, untuk mempromosikan kosmopolitanisme dan internasionalisme yang mungkin sudah berhubungan lebih akurat, daripada rasa ‘kebangsaan’ untuk pengalaman hidup yang beragam, antar-campuran, multi-etnis, dan mobilitas masyarakat di dunia global postmodern kita.

Namun demikian, pertanyaan perihal gender (subjek bab empat) tetap belum terpecahkan. Sekali lagi kita diberi ringkasan berguna, lebih khusus, feminisme dan historiografi feminis; tapi, sekali lagi, cukup bagaimana sejarawan di masa depan harus memperlakukan subjek (s) dalam upaya mereka untuk menyembuhkan perpecahan jauh dari jelas.

Kompleks masalah ini terbukti, dengan perbedaan antara kaum feminis yang aktualisasikan dalam diri mereka, seperti perbedaan dari (biologis) seks dan (budaya yang ditentukan) oleh jenis kelamin, dengan polaritas yang tampaknya berdasarkan pada laki-laki dan perempuan yang semakin kabur, hampir melampaui utilitas, dan dengan pengalaman hidup dari hubungan gender di seluruh dunia yang beragam.

Baca juga:  Belajar dari Film Iran (1): Lika-liku Sutradara dari Negeri Para Mullah

Arkian, menurut David Cannadine, sudah saatnya bagi sejarawan untuk mengejar ketinggalannya dari rekan-rekan akademis mereka, dan merangkul kerangka etik untuk subjek mereka yang mungkin dapat menyebabkan masa depan yang lebih baik, beralih dari konsentrasi lama, kepada tema yang tampaknya lebih laik diteliti, daripada pelbagai tema tentang politik yang tersekat-sekat, konfrontasi, dan konflik, untuk lebih meneliti tentang kesatuan umat manusia, antar-keterkaitan, dan persahabatan.

Buku ini ditulis dengan kefasihan karakteristik dan kejernihan seorang cendekiawan. Cannadine menyediakan sintesis yang sangat berguna, banyak hal ihwal yang sangat segar di dalamnya, pada topik yang diidentifikasi dalam enam bab; dan dengan demikian, dia telah melakukan sesuatu yang tidak begitu banyak menjadi fokus para sejarawan masa kini; sebagai contoh argumen yang koheren dari apa yang sekarang sedang “panas” untuk diperdebatkan.

Dengan panjangnya kurun waktu dan luasnya cakupan tema yang dibahas–serta realistis–titik utamanya adalah pesan: bahwa agenda historiografi harus melepaskan penekanan pada perspektif Manichean yang memecah-belah, dan untuk mempromosikan pemafhuman dan perayaan nilai-nilai ‘kemanusiaan’ bagi keberagaman kita.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top