Jamaah haji yang datang dari berbagai manca negara berpumpun di Makkah, suatu tempat yang “ketang” untuk melaksanakan ibadah haji. Berkumpulnya ratusan ribu manusia ini menjadi dasar penularan penyakit, yang dibawa dari negeri asal jamaah, atau penularan penyakit itu terjadi saat melaksanakan ritual haji. Penularan penyakit cepat menyebar disebabkan berbedanya ketahanan tubuh jamaah selama tinggal berbulan-bulan di Hijaz (Makkah).
Menurut M. Dien Majid dalam bukunya, Berhaji di Masa Kolonial–yang mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Jan Henrik Ziesel berjudul De Pigrim-Quarantaine in de Roode Zee (1829)–jenis penyakit yang menular di Makkah, antara lain: kolera, baksil disentri, cacar, dan pes. Selain itu, penyakit tuberkolose, lepra, trahom, sakit kepala, dan kelamin juga banyak diderita jamaah.
Penyakit epidemi itu hanya di Hijaz, sehingga negara-negara lain di Laut Tengah tidak memberi perhatian kepada tindakan pencegahan, walaupun pada akhirnya epidemi kolera merebak ke jagat Eropa. Para dokter yang menaruh perhatian terhadap penyakit epidemi itu antara lain dokter Noury-Bey dan Wortabet (1881), Stiepovich (1888) dan Vaume (1891). (Baca tulisan menarik: Orang Desa Naik Haji)
Penyebaran penyakit itu terjadi antara lain melalui iring-iringan karavan yang singgah dari satu kota ke kota lain. Khusus penyakit kolera selama tahun 1860 sampai 1902 di Makkah telah terjadi tiga bela kali; delapan kali berkembang saat musim panas dan lima kali di musim dingin. Bahkan, pasca berfungsinya kereta api (1908) sebagai sarana transportasi di Hijaz, mempercepat berjangkitnya epidemi (kolera) itu ke negara-negara lain, seperti ke Suriah.
M. Dien Majid meneroka, bahwa Dewan Kesehatan Tertinggi di Konstantinopel, Turki, membentuk sebuah komisi untuk membuka suatu tempat terletak pada pinggir jalur kereta api untuk menjadi pusat karantina yang sifatnya permanen dan besar. Dalam pelaksanaannya, ikut beberapa anggota dewan kesehatan dari berbagai negara, seperti Clemow dari Inggris dan Kaller dari Hongaria.
Clemow mengusulkan agar karantina didirikan di daerah Tabuk karena di tempat itu telah berdiri rumah sakit. Sedangkan Kaller menghendaki agar karantina juga dibangun sedekat mungkin dengan rumah sakit Madinah. Selain di daerah itu (Tabuk dan Madinah) juga rumah sakit telah berdiri di Maan dan Mada’in Saleh.
Sepanjang pelayaran di kapal, tidak tersedia air minum dan makanan yang memadai. Bahkan, setelah tiba di Arab pun para jamaah hanya ditempatkan pada tenda-tenda yang tersedia, meskipun tidak permanen. Walaupun demikian, para jamaah haji Hindia Belanda tidak merasa terganggu dalam pelaksanaan ibadah haji.
Jamaah dari Batavia pada 1909, pernah sakit flu di antara 1.000 jamaah yang tertular penyakit tersebut. Pada 1927, terjangkit penyakit epidemi kolera sebanyak 7 hingga 8 persen penderita. Kala itu, ada dua orang dari 30 jamaah asal Batavia yang terserang penyakit kolera Vibrion. Dalam kaitan ini, dokter Kuenen dengan cerkas mengisolasi penderitanya, sehingga tidak menular kepada masyarakat yang lain. (Baca tulisan menarik: Senad, Kisah Perjalanan Haji Jalan Kaki)
Penanggulangan dan pencegahan
Untuk menanggulangi penularan kolera diperlukan kebersihan lingkungan, perawatan tubuh, makanan dan air minum di kapal harus memenuhi standar kesehatan. Borel dalam penelitiannya ihwal epidemi kolera, menuturkan bahwa pada 1902 di El-Tor, sebanyak 1.1.56 jiwa terinfeksi berbagai penyakit ditampung di Rumah Sakit El-Tor. 699 orang terserang penyakit radang usus, 395 kolera dan 31 orang di antaranya meninggal dunia.
Gelombang jamaah yang datang ke Hijaz dari berbagai negara, seperti: Mesir, Afganistan, Persia, Strait (Malaka), Tunis, Cina, Afrika, dan Hindia Belanda (Indonesia) tidak hanya berpotensi menularkan bermacam-ragam penyakit, tetapi juga terinfeksi penyakit itu pasca menunaikan ibadah haji.
Semua jamaah ingin segera kembali ke negara masing-masing, sementara karantina yang ada tidak mampu menampungnya. Jamaah sulit menghindari kerumunan yang berdesak-desakan, ditambah kondisi tubuh nan lemah, letih, dan lesu karena telah bekerja keras menunaikan ibadah, sehingga rentan terhadap penyakit.
Menurut Badri Yatim dalam Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci Hijaz (Makkah dan Madinah) 1800-1925, penyakit itu menular ke orang lain dibawa oleh para karavan (kafilah) yang singgah dari satu kota ke kota lain tempat, masyhur dengan nama “zone besmette” atau “zone contaminee”. Misalnya tahun 1890, pada waktu penyakit kolera bersiimaharajalela bertepatan dengan persiapan jamaah haji kembali ke kampung halaman, mereka diharuskan singgah di karantina Kamaran. Bagi yang tertular penyakit harus segera mendapat perawatan, sementara yang sehat diperkenankan berangkat.
Saat itu, kapal Geldener membawa 700-800 penumpang haji Hindia Belanda tanpa didampingi dokter. Kapal tersebut hendak berlayar menuju Padang dan Jawa (Batavia). Oleh karena itu, diinstruksikan oleh pemerintah kolonial Belanda agar setiap kapal yang mengangkut jamaah harus didampingi seorang dokter. Jika tidak, sebaiknya menunggu kapal lain yang memiliki dokter, seperti halnya kapal Daccan.
Kasus penyakit cacar di Hijaz misalnya semula tidak dikenal dari mana dan siapa yang menularkan penyakit itu belum diketahui. Belakangan baru diketahui bahwa penyakit cacar itu datang dari Madinah setelah jamaah Jawa (Hindia Belanda) berkunjung ke sana. Petugas kesehatan di Makkah menilai bahwa warga negara Hindia Belanda rentan terhadap penyakit cacar. Dari 116 penderita cacar, 42 orang meninggal.
Akan tetapi, menurut dokter konsulat, sulit membedakan antara jamaah yang datang dari Hindia Belanda dengan jamaah dari Strait (Melayu). Sementara itu, jamaah Hindia Belanda telah divaksin cacar, kolera, dan tipes sebelum berangkat ke Hijaz, meskipun tidak ada jaminan kebal terhadap penjangkitan penyakit itu. Seperti pada 1927 di Rumah Sakit Makkah ada 162 pasien cacar, enam di antaranya adalah jamaah haji Hindia Belanda.
Titimangsa 1889, penyakit endemik pes hati (pesthaard) pernah terjangkit di distrik Assir, tetapi informasi ini sulit dipercaya karena tidak ada bukti konkrit. Terkecuali dalam tahun yang sama memang benar penyakit itu mewabah di Bani-Khair sampai ke sekitar Hepa. Itu pun tempatnya terletak cukup jatuh dan memakan waktu beberapa hari perjalanan dari Makkah. Namun, tahun 1897, penyakit pes berjangkit kembali setelah dideteksi dari kucing dan kambing banyak yang mampus.
Menurut Eric Tagliacozzo dalam The Longest Journey: Southeast Asians and the Pilgrimage to Mecca, ikhtiar pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara melarang jamaah masuk kota dan harus berada sekitar 10 km sebelah selatan kota Makkah. Cara demikian mengandung risiko atas desakan para jamaah yang berjumlah 32.658 orang karena mereka ingin segera menunaikan ibadah haji. Penyakit pest merenggut nyawa 43 jamaah (1898), 146 jamaah (1899), dan 115 jamaah (1900).
Selama perjalanan atau tinggal di kota Makkah mempertinggi jumlah tersebarnya penyakit kronis dan akut ke dalam kelompok beribu-ribu umat muslim yang akan kembali ke berbagai daerah tropis ataupun subtropis. Untuk itu, diperlukan perbaikan sanitasi bagi penziarah Ka’bah. Atas dasar faktor inilah maka perbaikan keadaan sanitasi di Hijaz itu mendapat perhatian utama.
Nikitni Hof, seorang dokter dari Dewan Kesehatan Internasional, turut menangani jamaah termasuk haji dari Hindia Belanda yang terserang penyakit pes di Jeddah.
Dia menyarankan supaya mengambil tindakan cepat-tanggap terhadap jamaah yang terinfeksi untuk segera diisolasi, agar tidak menular kepada yang liyan. Saat itu (1898) wilayah Jeddah dan Jamba al-Bahrs dinyatakan sebagai daerah tertutup.
Untuk itu, kapal berlabuh dialihkan ke wilayah kecil “Liht” di selatan Jeddah. Akan tetapi, tindakan itu tidak mendapat respon positif dari pemerintah Turki dengan alasan terlalu jauh dan harus melalui daerah Badwi yang dianggap berbahaya dan gersang.
Jamaah yang terjangkit pes diperkirakan 13 persen dari jumlah seluruh jamaah haji (36.380 jiwa). Menurut dr. Better, bahwa penyakit pes di Jeddah tidak terlalu berbahaya tinimbang yang pernah terjadi di Bombay, India (1897).
Cara mengatasinya adalah diperlukan aturan pelayaran yang ketat bagi para pendatang yang masuk ke Makkah. Kapal penumpang atau barang hanya diperkenankan melanjutkan pelayaran pasca jamaah 40 hari berada di karantina, dan dinyatakan dalam keadaan sehat wal afiat.
Sebenarnya karantina laut dapat dijadikan tempat kontrol. Namun, setiap negara mempunyai peraturan karantina yang berbeda-beda. Untuk menghindari penyakit, sesungguhnya pemerintah Hindia Belanda telah memperingatkan agar para jamaah tidak membawa barang-barang yang menimbulkan aroma khas. Dinyatakan:
“… untuk tujuan tersebut, akan dapat dibantu tapi kepada jamaah Hindia Belanda dilarang keras untuk membawa serta dalam perjalanan laut (termasuk di Karantina) ikan kering atau ikan asin, terasi, dan makanan lainnya yang cukup terkenal, di mana ia dapat menimbulkan bau berlebihan yang tidak menyenangkan, menurut pendapat dokter, hal ihwal ini pengaruhnya sangat merugikan jamaah Hindia Belanda” (Majid, 2008: 117-118).