Sedang Membaca
Gerakan Umat Beriman
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Gerakan Umat Beriman

Muhammad - Umat Beriman

Islam awal menempati suatu posisi penting dalam kehidupan kaum Muslim karena pelbagai alasan. Umumnya periode kehidupan Muhammad saw, para sahabat, dan generasi setelahnya, yakni generasi tabi’in, diidealisasikan sebagai generasi terbaik (khayr qurun). Karena itu, belakangan kita menyaksikan munculnya seruan dan gerakan untuk kembali kepada model keagamaan generasi terbaik itu.

Sebagian kaum muslim konservatif mengembangkan suatu gagasan tentang pentingnya membangkitkan kembali “spirit salih” (kaum salih terdahulu), suatu istilah yang biasanya disematkan kepada tiga generasi pertama muslim itu. Perhatian terhadap generasi salaf salih itu sedemikian tinggi, hingga mereka menyebut diri sebagai salafiyun (pengikut kaum salaf), dan gerakan mereka sebagai “salafiyah” (Sirry, 2015: 11).

Fenomena ini memperlihatkan betapa kontroversionalnya pembahasan tentang asal-usul Islam beberapa tahun terakhir. Secara umum tulisan-tulisan yang membahas perihal periode sejarah Islam awal dapat dibagi menjadi dua aliran, yakni aliran yang bersumber pada narasi umat Islam tradisional atau sebaliknya, dan aliran yang mencoba menjauhkan diri atau menolak sumber tradisional itu.

Yang pertama sering secara tidak kritis menghasilkan narasi yang terinspirasi agama maupun politik; yang ke dua secara umum disebut “revisionis” yang sering kali menolak, bahkan bukti yang secara akal kokoh.

Berbeda dengan ke dua aliran itu, profesor Sejarah Timur Dekat (Islam) di Universitas Chicago, Fred M. Donner dalam karya terakhirnya, Muhammad and the Believers: At the Origins of Islam (2010), memberikan reinterpretasi yang provokatif dan komprehensif, dengan argumentasi bahwa agama yang kini kita kenal dengan nama “Islam” ini, muncul secara bertahap selama beberapa dekade, dan bentuk finalnya berbeda dalam beberapa hal dengan misi awal Muhammad.

Posisinya ini bertentangan dengan tendensi yang telah tersebar luas di kalangan sarjana Barat sejak abad kesembilan, yang biasa menyebutkan munculnya Islam sebagai hasil dari faktor-faktor lain, selain keyakinan agama, seperti kebutuhan akan reformasi sosial dan ekonomi atau dorongan akan “nasionalisme” Arab, meski masih dalam bentuk embrio.

Sebaliknya, Donner berpendapat bahwa Islam–atau lebih tepatnya, “Gerakan Umat Beriman”–sejak awal adalah gerakan yang secara esensial merupakan gerakan agama, yang membentuk “an intense concern for attaining personal salvation through righteous behavior” (hal. xii).

Baca juga:  KH. Ahmad Dahlan di antara Muhammadiyah dan SI

Walau mengambil posisi seperti itu, tidak berarti bahwa Donner menerima begitu saja narasi muslim tradisional mengenai asal-usul Islam ini. Berdasarkan sumber-sumber yang lebih akhir, narasi ini cenderung memproyeksikan batasan-batasan konvensional yang tidak ada di zaman itu.

Sejarawan Donner berhujah, bahwa kendati sumber-sumber tradisional ditulis belakangan dan mengandung banyak kontradiksi, namun hal ihwal itu tidak tertutup kemungkinan bahwa pelbagai narasi di dalamnya ditransmisikan secara akurat dan benar. Demikian juga tidak adanya dokumen-dokumen sezaman dengan terjadinya peristiwa, tidak berarti peristiwa yang dilukiskannya itu tidak benar-benar terjadi.

Donner mengakui adanya kontradiksi dalam narasi-narasi sirah, namun dia juga mengakui bahwa secara garis besar sumber-sumber tradisional cukup konsisten. Artinya, sumber-sumber itu sama sekali tidak menggiring kita untuk meragukan bahwa suatu peristiwa memang betul-betul terjadi, walaupun dalam detailnya terjadi kontradiksi. Misalnya, tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Muhammad lahir di luar Arab.

Sumber-sumber Muslim juga sepakat bahwa hijrah terjadi dari Makkah ke Madinah, dan tidak satu riwayat pun yang mengindikasikan hijrah terjadi di tempat dan waktu berbeda, dari yang disebutkan dalam literatur sirah.

Kita grahita, bahwa masyarakat Muslim sudah sejak periode awal terpecah-pecah ke dalam pelbagai kelompok dan sekte keagamaan, yang satu membenci yang lain. Walaupun begitu, di tengah konflik yang tajam itu pun mereka bersepakat secara garis-besar dalam mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi.

Amat tidak masuk akal, ujar Donner, bahwa mereka bersepakat menggambarkan kehidupan Nabi yang sebenarnya fiktif belaka. Kenyataan bahwa terdapat banyak kontradiksi dalam narasi sirah justru membuktikan bahwa tidak ada otoritas tunggal yang memaksakan versi biografi Nabi tertentu dan memberangus tradisi-tradisi yang lain.

Dengan demikian, argumen bahwa sirah Nabi dibentuk oleh konflik kepentingan belakangan tidak dapat dipertahankan. Sebab, sejarah Islam tidak pernah sepi dari hiruk-pikuk konflik (agama, politik, sosial), yang bahkan bermula sejak detik wafatnya Muhammad. Konflik kepemimpinan pasca wafatnya Nabi melibatkan Muhajirun dan Anshar, pengikut Ali dan Abu Bakar, dan berkembang lebih intens dengan pembunuhan Usman, hingga membuncah dalam perang saudara antara Ali dan Mu’awiyah, dan begitu seterusnya.

Baca juga:  Kisah Gus Dur dan Isu Sektarianisme Era Orba

Akan tetapi, tak ada versi-versi sirah Nabi yang berbeda, kecuali perbedaan dalam detailnya. Para sarjana skeptis kerap mendaku bahwa sirah Nabi merupakan produk siapa pelaku interpolasi dan redaksional itu dan untuk kepentingan apa. “Tanda mengidentifikasi pelakunya,” kata Donner, “klaim-klaim mereka itu tidak lebih dari abstraksi yang tidak didukung oleh data historis” (Donner, 1998: 27).

Sebaliknya menurut Donner, gerakan Muhammad adalah gerakan reformasi monoteistik kesalehan yang juga melibatkan umat Yahudi dan Kristiani yang saleh, dan harus dipahami sebagai bertentangan dengan milieu tren agama yang ada pada masa itu di seputar Timur Dekat.

Menurut Donner, Islam sebagai konvensi yang terpisah, yang berbeda dengan Yahudi dan Kristiani, merupakan proses yang dimulai sekitar 680, yaitu dua generasi pasca Nabi saw wafat dan ketika Bani Umayya memainkan peranan kunci.

Di sini, Donner menegaskan Nabi Muhammad memulai dengan “Gerakan Umat Beriman” yang monoteistik, pietistic, dan ekumenikal. Gerakan yang sangat menjanjikan ini bahkan melibatkan Yahudi dan Kristiani bersama-sama dengan penganut politeis yang baru saja pindah agama. Tujuannya bukan menciptakan iman yang terpisah, namun menghasilkan satu kebangkitan monoteisme yang saleh.

Sebagaimana disinggung di atas, baru setelah hampir satu abad, Gerakan Umat Beriman berkembang menjadi satu kepercayaan yang berbeda sama sekali, yang sekarang dikenal dengan nama “Islam”. Evolusi ini terjadi selama pemerintahan ‘Abd al-Malik, ketika Yahudi dan Kristiani terus dikeluarkan dari komunitas.

Untuk menjelaskan hal-hal itu, Donner memberikan analisis yang segar mengenai Islam pada awal kemunculannya, khususnya sebagaimana dipresentasikan di dalam Alquran dalam usaha untuk menelusuri kontradiksi dan menjelaskan bias dari teks-teks awal mengenai Muhammad dan pada saat yang sama, juga tidak menerima tendensi untuk menolak seluruh narasi sebagai bersifat fiksi.

Baca juga:  Kitab Fathul Mu’in: Karakteristik, hingga Sanjungan Para Ulama’ yang Jarang Diketahui

Tidak seperti para cendekiawan yang mencoba mereduksi munculnya Islam sebagai bersifat ekonomi dan politis saja, Donner melihat secara serius kepercayaan moral Alquran. Baginya, penekanan Alquran pada kesalehan tidak harus dihilangkan semata-mata karena seseorang tidak menerima Islam sebagai wahyu Tuhan yang unik, atau Muhammad sebagai penutup kenabian.

Kehidupan Nabi didedahkan ulang dan perjuangan komunitas Umat Beriman yang mula-mula juga dipaparkan, namun dengan satu nuansa. Poin utama Donner adalah: bahwa pengikut Muhammad adalah kelompok luas yang mencakup umat Yahudi dan Kristiani yang beriman, bukan hanya komunitas terpisah yang datang untuk mendefinisikan Islam seabad setelah Rasulallah saw wafat.

Rekonstruksi hipotesis Donner tidak akan menjadi kata final dalam debat mengenai asal-usul Islam, tetapi yang jelas ini akan memastikan adanya “pemantik” dalam perdebatan untuk beberapa tahun.

Salah satu poin terkuatnya, tak dinyana lagi, adalah fakta bahwa dia memberikan framework yang sangat membantu untuk memahami bagaimana penggunaan istilah Alquran seperti muslim (seseorang yang berserah diri kepada kehendak Tuhan) dan mu’min (orang beriman yang monoteis) akan berkembang selama beberapa waktu.

Donner sadar akan kemungkinan adanya butir-butir kontroversial dalam tesisnya, tentang bahwa umat Kristiani yang saleh (dan juga Yahudi) berpartisipasi di dalam gerakan Muhammad, sementara tetap mempertahankan identitas Kristiani mereka, meskipun terdapat penolakan keras Alquran terhadap doktrin Trinitas.

Akan tetapi, dia menekankan bahwa ayat-ayat anti-trinitarian itu hanyalah “a small number”, dan bahwa “in Muhammad’s day, most people who joined his believer’s movement were probably illiterate” (hlm. 77). Dia berpikir bahwa pandangan umum keagamaan mengenai Alquran itu dapat diterima oleh orang Kristiani dan Yahudi.

Sumbangan sejarawan ini sangat berarti, bukan hanya karena buku ini mudah diakses oleh berbagai macam pembaca, tetapi juga karena penuh inspirasi yang akan membantu pemafhuman umat, terutama pada era global dan puspawarna ini, serta mendorong penelitian lebih lanjut.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top