Sedang Membaca
Asal-usul Tradisi Penca’ Silat di Sumenep
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Asal-usul Tradisi Penca’ Silat di Sumenep

Penca’ silat (pencak silat) adalah permainan multi-bentuk yang memiliki persamaan dengan seni bela diri lainnya, dengan posturnya, lompatan-lompatan yang sekaligus energik dan luwes gerakannya. Unsur seni bela diri selalu ada meskipun pukulan tidak pernah mengenai tubuh. Penekanan pada unsur tari tergantung pada kelompok yang bersangkutan, dan sajian lainnya kerap terbatas pada acara memuntahkan api.

Terdapat perbedaan besar antara klub-klub pencak silat di kota Sumenep, yang tampak dipengaruhi oleh karate Jepang dan kungfu Cina, dan kelompok yang tidak selalu teratur dan menampilkan teknik yang kurang canggih.

Peristilahan pun dapat berubah-ubah. Untuk “mentjaq atau mantjaq”, H.N. Kiliaan memberikan arti: “pertarungan dengan lompatan tanpa senjara atau dengan pedang bermata dua”; dan untuk “silat, elaq, djhilat, ilaq: pertarungan tanpa senjata atau dengan pedang bermata dua”.

Di daerah Sumenep, wilayah Madura paling timur, istilah yang digunakan tergantung pada kelompok yang bersangkutan: silat (kelompok Silat Karya Putra Putri dari Kalianget), penca’ (kelompok Penca’ Rukun Kendali dari Batuputih), atau penca’ silat (kelompok Penca’ Silat Karya Muncul dari Sumenep). Di desa-desa Batuputih, istilah yang lazim digunakan adalah kata kerja menca’.

Menurut Edi Sedyawati (1981), di daerah Painan (Sumatera) pengertian “silat” yang terdiri dari gerak tarung dan bela diri yang sesungguhnya, dibedakan dari “pencak” yang geraknya merupakan latihan peluwesan badan, kecekatan, dan ketahanan yang dilakukan menjelang silat. Jika demikian, pencak hanyalah latihan menuju bentuk pertarungan, yaitu silat. Istilah “silat”, yang berarti “cekat”, mungkin saja menonjolkan sifat terpenting jenis bela diri itu.

Para penulis yang mendiskusikan seni itu tidak memberikan banyak keterangan tentang asal-usulnya dari aspek sejarah dan geografi. Brandts Buys van Zijp (1928: 124) dan Theodore G. Th. Pigeaud (1938: 320) hanya menyebutkan asal-usulnya Melayu. Mungkin saja seni bela diri itu berasal dari Sumatera, meskipun kita tidak dapat mengetahui zamannya. Bentuk bela diri yang sama kini ditemukan di Malaysia, Thailand, dan di Cina. Dari bentuk kelompok tidak teratur di desa sampai klub di kota, pencak silat dipraktikkan semarak di seluruh tanah air dan menjadi sejenis olah raga nasional.

Baca juga:  Pertanu: Tari Tani yang Lahir Kembali

Menurut Syamsul Imam Prawirodiningrat (1986: 54-61), seni bela diri itu dibawa ke Sumenep oleh seorang raja yang telah mengundang ahli-ahli pencak silat dari luar kabupaten, bahkan dari negeri Cina. (Baca: Pengalaman Orang Madura Buka Bersama)

Sedikit demi sedikit suatu gaya “Pencak Silat Sumenep” telah muncul di keraton sebelum menyebar ke kalangan pemuda kota. Pelbagai rangkaian gerak dasar telah ditetapkan dan kini diajarkan di sekolah lanjutan. Versi Sumenep itu hanya satu dari sekian banyak versi daerah, yang saat ini ditemukan di seluruh Indonesia.

Sedyawati (1981: 672) mencatat bahwa terdapat kelindan erat antara silat dan tari sekurang-kurangnya di empat daerah di Indonesia: tanah Minangkabau, tanah Pasundan, tanah Batak, dan di kalangan orang Melayu. Madura termasuk juga dalam kelompok itu. (Baca: Seni Islam: Diba` dan Kasidah Khas Madura)

Hélène Bouvier (2002) meneroka bahwa di Sumenep, terdapat tiga konteks berbeda penca’ silat yang diadakan. Pada arisan mingguan atau dua kali seminggu, sebagian anggota arisan melakukan pertunjukkan penca’ silat, sementara bagian yang lain memberikan iringan musikal, dan bagian ketiga hanya menonton.

Di dalam konteks itu, para lelaki lazimnya sedang atau pernah belajar seni itu dengan ahli penca’ silat dari desa mereka atau dari desa berdekatan. Pertemuan itu memberikan kesempatan kepada mereka atau dari desa berdekatan.

Pertemuan itu memberikan kesempatan kepada mereka untuk menguji kepandaiannya untuk bertarung dengan lawan lain di depan umum. Hadirin sendiri dari para tetangga yang membentuk publik informal, yang berubah-ubah pada setiap acara. Para petanding, yaitu individu peminat yang tidak dibayar, hanya terkait satu sama lain melalui arisan, tanpa membentuk kelompok formal.

Hal ihwal itu memungkinkan kita untuk membicarakan konteks kegiatan penca’ silat yang kedua, yang juga mengambil arisan sebagai latar belakang, yakni ketika kelompok arisan mengundang kelompok penca’ silat yang sudah terbentuk.

Baca juga:  Belajar Memuliakan Tamu dari Kiai Maimoen Zubair

Kelompok itu, yang mempunyai nama, guru, murid –kadang-kadang laki dan perempuan –dan jadwal latihan, dapat disewa dengan bayaran berbentuk uang atau tidak (misalnya makanan) untuk pertemuan pribadi seperti arisan.

Kelompok itu terdaftar pada pemerintah seperti organisasi kesenian, olah raga, atau keagamaan lain. Namun, anggotanya bukanlah profesional nan murni. Di antara tetangga yang menonton, ada saja laki-laki yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memamerkan kehebatannya di antara dua sajian atau bertanding dengan seorang anggota kelompok penca’ silat yang diundang.

Konteks ketiga dari kegiatan penca’ silat ialah konteks perkotaan. Kelompok penca’ silat di sini berupa klub olah raga, yang di luar jadwal latihannya, berpentas pada kesempatan perayaan umum, perayaan nasional, atau pada pekan raya tahunan ataupun lomba umum. Setiap kelompok mempunyai guru ternama yang profesional. Adakalanya kelompok itu termasuk jejaring persatuan yang melampaui batas daerah Sumenep ataupun kepulauan Madura. Tidak ada hubungan antara kelompok dan publik, yang tak berani menantang para jagoan itu.

Clifford Geertz (1964: 156) mengelompokkan pencak silat sebagai cabang kesenian yang diadakan di dalam pondok, “Meskipun pada awalnya tidak terkait sama sekali dengan agama Islam.” Sedangkan Bouvier (2002) tidak menempatkan penca’ silat Madura Timur di dalam kelompok kesenian Islam, karena tidak tampak seperti itu. (Baca: Kopi, Rokok, dan Orang Madura)

Baca juga:  Pertemuan Tradisi Islam dan Jawa dalam Sebuah Doa Penangkal Wabah Corona

Di daerah Batuputih, penca’ silat jelas dianggap sebagai seni bela diri, dan acapkali pelakunya adalah orang yang sama pula. Konotasi keagamaan hanya terlihat di kecamatan-kecamatan bagian barat Madura, mulai dari Lenteng dan terutama di Guluk-Guluk, di mana penca’ silat tetap dilakukan, sementara ragam kesenian seperti teater yang ditinggalkan akibat tekanan agama.

Di bagian timur, penca’ silat pada umumnya ialah suatu teknik pengendalian diri baik dari segi mental maupun fisikal. Seandainya dipandang dari sudut disiplin, ia amat mirip dengan seni bela diri Timur lainnya, seperti aikido, karate, dan kungfu.

Mantra-mantra magis yang dipercayakan oleh ketua kelompok penca’ silat kepada murid yang tertentu, atau yang digunakan oleh orang desa sewaktu pertunjukan, hanya berwarna islami di dalam tulisannya (bahasa Kawi dengan aksara Arab, atau bahasa Arab dengan aksara Arab). Yang tidak berkelindan dengan agama Islam adalah tujuannya, yaitu kekebalan individu, yang bersifat mistik dan magi… dan yang mungkin berciri profan. Pelaku yang paling berbakat syahdan memiliki kekuatan fisikal da ilmu mantra magis tersebut.

Arkian, sinkretisme pada sumber penca’ silat, yakni pada para guru, mungkin saja hingga era kiwari menyebabkan kesenian itu tetap dikelompokkan sebagai kesenian profan, meskipun sering diajarkan di banyak pondok pesantren di Nusantara.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top