Sedang Membaca
Ibadah Prepegan: Penyucian Diri Umat Islam Kabupaten Tegal dalam Menyambut Hari Raya Idulfitri
Luthfil Hakim
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Tarbiyatul Mubtadiin, Danawarih, Balapulang, Tegal dan Alumni Pesantren Misbahul Huda Al-Amiriyah, Kambangan, Lebaksiu, Tegal.

Ibadah Prepegan: Penyucian Diri Umat Islam Kabupaten Tegal dalam Menyambut Hari Raya Idulfitri

Prepegan

Dalam tatanan hidup umat Islam di tanah Jawa, banyak sekali tradisi-tradisi yang bermuara pada konsep spiritualistik-khaliq yang manunggal membersamai berbagai macam jenis ritus spiritual keagamaannya.  Mulai dari tradisi grebek satu sura, takwinan, rolasan, munggahan hingga tradisi prepegan yang dilaksanakan pada setiap H-2, dan H-1 jelang hari raya Idulfitri. Seperti yang tercermin dalam tatanan sosial umat Islam di Kabupaten Tegal yang senantiasa mengamalkan tradisi prepegan  pada  H-2, dan H-1 setiap menjelang hari raya Idulfitri tiba yang tetap lestari hingga abad ke- 21 ini.

Sepanjang pembacaan saya, nyaris tidak ada literatur otoritatif-komprehensif yang membedah sejarah awal mula dilaksanakannya prepegan, dan asal usul kata, serta definisinya, baik secara lughawi maupun istilahi. Namun demikian, jika menggunakan metode akronimisasi sosio-linguistik-khaliq atau penyingkatan kalimat dengan menggunakan stilistika bahasa suatu daerah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khaliq atau تقرب الى الله (taqarub ilaLlāh) ala Sunan Kali Jaga (w. 1513 M), seperti halnya penggunaan kata janur yang merupakan hasil akronimisasi dari kalimat جاء نور الله ( a nūrruLlāh) maka bisa kita dapati bahwa prepegan itu boleh jadi berasal dari kalimat  فطرة على بدان وبطينا   (fitrohalā badān wa bathīnan), suci ing atase badan lan batin atau suci secara lahir dan batin (baca: penyucian diri).

Dengan kata lain, prepegan merupakan sebuah bentuk ibadah yang dilakukan oleh umat Islam di tanah Jawa, khususnya umat Islam di Kabupaten Tegal, yang dilakukan pada H-2 dan H-1 jelang hari raya Idulfitri sebagai upaya untuk mensucikan diri, baik mensucikan diri secara lahiriah maupun batiniah.

Dengan pendekatan sosio-linguistik-khaliq itu pula, maka bisa kita amini bersama bahwa ibadah prebegan boleh jadi sudah ada sejak abad ke- 15 Masehi atau pada era Kasultanan Demak (1481-1554 M), utamanya ketika kerajaan Islam pertama di tanah Jawa tersebut dipimpin oleh Senapati Jimbun Ningrat Abdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama atau akrab disapa Raden Patah (w. 1518 M). Di mana pada saat itu pula rihlah dakwah Wali Sanga, utamanya rihlah dakwah dari Sunan Kali Jaga mulai mendapat kans di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat Jawa yang kala itu mayoritas masih beragama Hindu, dan Budha lewat metode dakwah akronimisasi sosio-linguistik-khaliq-nya. Seperti halnya kata pacul yang merupakan akronim dari papat aja ucul, doran yang merupakan falsafah dari donga maring Gusti Pangeran hingga jawoh atau hujan yang merupakan bentuk akronim dari kalimat جاء رحمت الله  wes teka opo rohmate Gusti Allah atau sudah datang rahmatnya Gusti Allah.

Baca juga:  Obituari: Hamsad Rangkuti, Kebohongan yang Indah

Fitroh ‘Ala Badan

Proses penyucian diri oleh umat Islam di Kabupaten Tegal  tersebut, utamanya dalam proses penyucian badan (lahiriah)  disimpulkan dengan “ritual” berburu aneka kebutuhan sandang, mulai dari kemeja, sarung, hingga peci  di berbagai supermarket maupun pasar tradisional yang nantinya akan digunakan sebagai “starter pack” ketika momen Idulfitri tiba. Seperti yang dilakukan oleh umat Islam di Dk. Jatiragas, Desa Wringin Jenggot, Kec. Balapulang, Kab. Tegal yang juga istiqamah melakukan ibadah prepegan dengan berburu sandang di pasar tradisional Balapulang, yang terletak di desa Balapulang Kulon, Kec. Balapulang,  Kab. Tegal.

Maka tidak mengherankan  jika aktifitas berbelanja berbagai macam sandang yang dilakukan oleh umat Islam Kabupaten Tegal, baik yang belanja di supermarket maupun pasar tradisional jelang hari raya Idulfitri tersebut secara lip tol lip atau getok tular juga dilabeli sebagai prebegan. Karena jika dilihat lebih dekat tujuannya pun sama, yaitu berbelanja sandang untuk “mensucikan badan” dengan memakai sandangan baru ketika momen hari raya Idulfitri tiba.

Pun kita juga tidak pernah menafikan tentang syair yang berkaitan dengan pakaian baru di hari raya Idulfitri yang begitu masyhur, yang termaktub dalam kitab Fawaid al-Mukhtar hal. 451 yang berbunyi sebagai berikut:

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدْ، إنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ

Artinya: “Hari raya bukanlah bagi orang yang memakai baju baru, tetapi bagi mereka yang ketaatannya bertambah banyak.”

Namun demikian jika boleh menelaah lebih spesifik, syair di atas sarat akan nuansa ketakwaan secara spiritual. Padahal jika boleh menimbang, ketakwaan pun dalam dinamikanya mengalamai perkembangan, ada yang namanya takwa secara spiritual (hablumminaLlāh), dan juga ada yang namanya takwa secara sosial-kultural (hablumminannās).

Baca juga:  Banyak Jalan Menuju Dakwah

Tradisi memakai baju baru pada momen Idulfitri, misalnya, juga merupakan salah satu bentuk implementasi dari takwa secara sosial-kultural (hablumminannās) yang merupakan pengejawantahan dari makna fitrohala badan, yang mengintegral dengan ketakwaan secara spiritual (hablumminaLlāh). Karena bagaimanapun juga, tidak akan tercipta  takwa secara spiritual tanpa dilandasi dengan ketakwaan secara sosial-kultural.

Lebih jauh lagi, secara rigid pembelian baju baru jelang hari raya Idulfitri juga merupakan  tanda syukur atas ni’mat Allah SWT sekaligus sebagai tanda cinta untukNya.

Hal ini sangat relate dengan potongan hadis Nabi Muhammad s.a.w yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi sebagai berikut:

إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

Artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan”

Maka menjadi sangat relevan jika kita sebagai hambanya juga berusaha memberikan tanda cinta kepadaNya dengan mengenakan pakaian baru sebagai bentuk keindahan secara lahiriah, termasuk ketika Idulfitri tiba.

Memakai pakain baru di saat Idulfitri selain sebagai tanda cinta untukNya, juga sebagai pengejawantahan dari falsafah para bijak bestari yang berbunyi:

“Aji ning diri saka busana”

“Harga diri seseorang tercermin dari cara berpakaiannya”

Fitroh ‘Ala Batin

Dalam kaitannya proses penyucian jiwa atau fitrah ‘ala batin dalam ibadah prebegan disimbolkan dengan membeli aneka pangan, mulai dari buah-buahan, kue kering, slongsong ketupat, hingga beras yang nantinya akan dijadikan sebagai zakat fitrah yang berfungsi untuk mensucikan jiwa dari segala perbuatan kotor yang berlumuran dosa.

Hal ini sesuai dengan hadis yang pernah disampaikan oleh Rasulullah s.a.w yang diriwayatkan Imam Abu Dawud yang berbunyi sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاٍس رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّهْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ، فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ (رواه أبو داود)

Baca juga:  Tradisi Rasulan di Gunungkidul

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasulullah s.a.w telah mewajibkan untuk mengeluarkan zakat fithrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang tidak bermanfaat, dan kotor, serta sebagai pemberian makan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang mengeluarkannya sebelum pelaksanaan shalat ‘id, maka itulah zakat fithrah yang diterima, sedangankan barang siapa yang mengeluarkannya setelah pelaksanaan shalat ‘id, maka itu merupakan shadaqah biasa.” (HR. Abu Dawud)

Proses penyucian jiwa akan menemui titik kesempurnaannya ketika momen Idulfitri tiba. Setelah beras hasil prepegan digunakan untuk zakat fitrah sebagai bentuk penyucian jiwa kepadaNya pada malam Idulfitri (hablumminaLlāh), maka penyucian jiwa selanjutnya yaitu berupa silaturahmi pada hari raya Idulfitri, baku kunjung ke rumah warga dan saling bermuhasafah, serta saling memafkan satu sama lain sebagai bagian integral dari penyucian jiwa antar sesamanya (hablumminannās).

Tidak cukup sampai di situ saja, proses “pengkafahan” dari penyucian diri, baik lahir maupun batin, juga disimbolkan dengan hidangan ketupat atau kupat yang slongsongnya dibeli pada saat prepegan gede atau satu hari sebelum gema takbir, tahmid, dan tahlil Idulfitri berkumandang.

Dalam tatanan umat Islam di Bumi Sebayu, kupat merupakan hasil akronimisasi sosio-linguistik-khaliq dari kalimat “ngaku lepat” atau “mengaku salah” yang juga merupakan bagian dari ajaran tasawuf yang pernah disyiarkan oleh Sunan Kali Jaga yang memiliki gelar “Ki Dalang Kandha Buwana” atau “Guru Pengetahuan Bagi Dunia” pada abad ke- 15 Masehi.

Dengan proses penyucian diri berupa memakai baju baru sebagai tanda cinta untukNya, dan mengaku salah kepadaNya, serta ngaku lepat terhadap sesamanya, maka diharapkan umat Islam di bumi Japan van Java tersebut benar-benar Idulfitri atau kembali kepada kesucian diri, baik suci secara lahir maupun suci secara batin. Amīn yā Rabbal ‘ālamīn …

WaLlāhu a’lam bishawab …

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top