Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Selalu memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia
Siapa tak kenal dengan lagu anak-anak yang puitis dan sufistik ini? Komposisi nadanya enak didengar dan mudah dihapal. Liriknya menyentuh hati, juga mengandung makna yang dalam. Kian jauh ditelusuri, makna yang terkandung dalam lagu ini kian membuat kita tercenung takjub. Ternyata, tersimpan makna yang luar biasa luhur dalam lirik lagu kanak-kanak yang sederhana dan lugu.
Menurut tafsir yang sudah lazim, lagu Kasih Ibu mengandung dua makna saja. Pertama, cinta ibu itu abadi. Tak terhingga, berlangsung sepanjang masa. Meskipun ibu telah meninggal, cinta abadinya masih menerangi kehidupan anaknya. Bahkan, setelah dia meninggal, cinta ibu justru semakin nyata sehingga sang anak pun merindukannya dengan segenap jiwa. Demikian mukjizat keabadian cinta ibu.
Makna kedua, cinta ibu itu ikhlas. Tak berpamrih. Ibu bukan pedagang. Dia selalu memberi untuk anaknya. Yang dia berikan adalah keseluruhan dirinya. Dia tak mengharapkan imbalan apa pun atas pemberian tersebut.
Didorong keikhlasan cinta ini, semua ibu menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Bahkan, ibu binatang pun menginginkan hal itu. Tapi, cinta punya sisi irasional. Demikian pula cinta ibu. Keinginan ibu untuk membahagiakan anaknya kadangkala justru menjadi bencana bagi si anak. Sungguh ironis.
Contohnya, seorang gadis bersenggama dengan kekasihnya di luar nikah. Dia hamil tetapi kekasihnya tak mau bertanggung jawab. Sementara itu, dia hidup sebatang kara di perantauan. Karena takut tak mampu menghidupi dan membahagiakan calon anaknya, dia menggugurkan kandungan. Dengan kata lain, dia membunuh janin yang sedang tumbuh di rahimnya.
Kita juga sering mendengar cerita serupa tetapi dengan alur cerita sedikit berbeda. Pelaku tidak menggugurkan kandungan. Selama mengandung, dia dilanda bimbang. Di satu sisi, dia mencemaskan masa depan buah hatinya. Di sisi lain, dia takut menggugurkan kandungan. Akhirnya, dia melahirkan.
Setelah melahirkan, cintanya kepada buah hati bertambah besar. Namun, kecemasan terhadap sang buah hati juga bertambah besar. Bagaimana masa depan anakku? Apakah aku mampu menghidupi dan membahagiakannya? Pertanyaan demikian terus-menerus mengusik, menggelisahkan, dan meneror ibu muda itu.
Dikuasai kegelapan pikiran, dia membunuh jabang bayinya. Atau, membuang anaknya di tong sampah. Atau, menitipkan buah hatinya di panti asuhan secara anonim, tanpa meninggalkan secarik identitas pun.
Kita renungkan satu contoh lagi tentang ironi cinta ibu. Ceritanya, seorang ibu amat menyayangi anaknya. Dia sama sekali tidak ingin anaknya menderita. Karena itu, dia mengasuh buah hati dengan protektif dan memanjakan.
Akibatnya, secara kepribadian, ketika dewasa kelak, anak itu menjadi lumpuh dan tak berdaya. Tak tangguh menghadapi tantangan kenyataan. Itulah sebabnya, sebelum berjuang keras dan cerdas, dia sudah mengambil jalan pintas yang haram dalam mencari rezeki.
Cinta ibu telah membunuh kepribadiannya. Karena cinta, sang ibu melakukan kekerasan psikologis jangka panjang terhadap anak. Ironis, bukan? Namun demikian, kejahatan yang ironis ini jangan disalahkan. Sebab, sumbernya adalah ketulusan cinta seorang ibu.
Itulah dua makna lagu Kasih Ibu yang selama ini sering dibicarakan, yaitu keabadian dan ketulusan cinta. Kalau diresapi lagi, lagu kasih ibu sebenarnya masih mengandung satu makna lain tentang dimensi cinta ibu. Dalam cintanya, seorang ibu bertindak seperti sang surya yang menyinari dunia. Inilah makna yang, bagi saya, paling menggetarkan.
Mari kita perhatikan matahari yang juga disebut bintang. Untuk menerangi tata surya kita, termasuk untuk menerangi kegelapan planet bumi yang dihuni makhluk hidup, matahari membakar diri dalam suhu panas yang tak tanggung-tanggung: ribuan derajat celcius. Demi kehidupan makhluk lain, dia menghancurkan diri sendiri.
Matahari adalah martir cinta yang berkorban untuk siapa pun yang dia cintai. Dalam hal ini, kita menyaksikan tragedi cinta yang lebih dahsyat, juga lebih agung, daripada romantika Romeo dan Juliet, Laila dan Majenun, Rama dan Sinta, Sampek dan Engtay, serta Roro Mendut dan Pronocitro. Kita menonton pementasan tragedi cinta itu setiap hari, sejak ujung malam hingga awal malam. Bahkan, sebagai sasaran cinta matahari, kita pun terlibat dalam pementasan kosmik tersebut—seringkali secara tanpa sadar.
Jejak pengorbanan matahari terasa abadi. Setelah hancur pun, matahari-matahari dari berbagai tata surya masih menerangi bumi sebagai bintang-bintang bercahaya. Memang, cahaya bintang tak seterang rembulan apalagi matahari. Namun, apabila bintang-bintang yang bertebaran di langit malam itu berhimpun membentuk suatu formasi, mereka tergambar menjadi rasi bintang. Mereka menjadi kompas alam bagi pengembara di padang pasir atau bagi nelayan yang mencari ikan. Bintang-bintang itu menjadi cahaya petunjuk.
Seperti bintang-bintang di langit malam, pengorbanan para ibu pun menjadi cahaya petunjuk bagi generasi sesudah mereka. Sementara itu, pengorbanan ibu kandung menjadi cahaya petunjuk yang jauh lebih terang, seterang matahari di puncak siang.
Dengan cahaya cemerlang matahari ibu, seorang anak dapat secara langsung menyaksikan betapa mahanya cinta ilahi. Tak hanya dilekati asma Ar-Rahman-Nya, seorang ibu juga diliputi sifat Ar-Rahim-Nya. Tidak kebetulan bila kantong telur dalam perut ibu dinamai ”rahim”.
Beruntunglah manusia yang dilahirkan sebagai perempuan, lebih-lebih sebagai ibu. Dia amat sangat dekat sekali dengan Sang Mahacinta. Menjadi perempuan, juga menjadi ibu, tidak untuk disesali. Sebab, takdir menjadi ibu merupakan mahanikmat. Langit menganugerahi mahakarunia bagi perempuan, yaitu peran kosmik sebagai seruling cinta ilahi.
Keluarbiasaan peran spiritual perempuan ini dinyatakan Rumi dengan gaya bahasa yang provokatif dan memancing kontroversi. “Perempuan,” tulisnya dalam Matsnawi, “adalah pancaran Tuhan. Dialah sang pencipta. Kau dapat berkata bahwa dia tidak diciptakan”. Ya, perempuan bukan sekadar ciptaan. Perempuan adalah pencipta. Yang diciptakannya adalah cinta dalam diri anak. Hanya cinta yang bisa menciptakan cinta. Ketakpedulian, apalagi kebencian, tidak pernah sekali pun melahirkan cinta.
Ingat, cinta itu sendiri memang merupakan energi “kreatif”. Saya kutip sebuah hadis terkenal. “Dulu,” demikian Tuhan berfirman, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi. Tapi, Aku cinta untuk dikenal. Karena itu, Aku pun menciptakan makhluk.” Cinta adalah hulu sekaligus hilir eksistensi.
Dengan mata hati—bukan dengan akal rasional yang mudah ditunggangi iblis—cinta eksistensial ini dapat secara jelas dan nyata kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari pada sosok ibu. Kalau Anda ingin mengenal cinta Tuhan dan berdekatan intim dengan-Nya, renungkanlah cinta ibu Anda dengan pikiran yang suci. Ibu adalah ayat suci-Nya yang senantiasa “hidup” bersama Anda.
Karena itulah, sebuah hadis terkenal lain menyatakan bahwa Surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Ibu adalah cerminan asma Ar-Rahim Tuhan, demikian pula surga yang dikhususkan untuk kaum beriman yang beribadah dengan segenap keridaan.
Sungguh pun demikian, “teori agama” ini tak perlu membuat kita bersikap tegang. Kehidupan adalah proses. Beragama pun merupakan proses. Kita, khususnya saya, masih jauh dari tujuan. Agar tidak dibunuh nafsu, perjalanan beragama kita tempuh pelan-pelan saja. “Al-‘ujalah,” kata Nabi, “min al-syaithan.” Ketergesa-gesaan berasal dari setan. Agama yang dikendalikan nafsu sudah bukan merupakan agama lagi.
Supaya perjalanan beragama yang panjang dan berat berlangsung dan berakhir membahagiakan, kita memerlukan canda tawa dengan dosis secukupnya. Dalam menjalani cinta, dibutuhkan humor. Sebagai informasi bagi yang belum tahu, doktrin Surga di bawah telapak kaki ibu juga terselip humor.
Badrun dan Kalbun suatu hari berdiskusi. Menurut Badrun, yang menafsirkan teks keagamaan secara lurus kaku, Surga berada di bawah telapak kaki ibu.
“Benar, sih,” komentar Kalbun. “Tapi, itu Surga buat anak-anak.”
“Maksudnya?”
“Iya, surga buat anak-anak. Surga anak-anak memang terletak di bawah telapak kaki ibu. Surga bapak-bapak tidak di situ letaknya. Surga buat bapak-bapak berada di antara dua telapak kaki ibu.”
Tertawa boleh. Tapi, hendaknya kita tidak salah paham terhadap humor ini. Pengarangnya, entah siapa dia, bermaksud mengajarkan wawasan profetik. Surga dunia dan Surga akhirat tidak bertolak belakang dan tidak perlu dipertentangkan. Kenikmatan duniawi yang fana bisa digunakan sebagai kendaraan untuk mencapai kenikmatan ukhrawi yang kekal. Pernikahan sepasang insan, juga cinta seorang ibu kepada anaknya, merupakan kenikmatan duniawi yang mudah-mudahan mengantarkan kita menuju kenikmatan ukhrawi.
Apakah Anda merindukan ibu? Itu pertanda bahwa Anda juga sedang merindukan Ar-Rahman Ar-Rahim, Sang Mahacinta.