Sedang Membaca
Kenapa Sejarah Islam Tidak Populer di Pesantren?
Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Kenapa Sejarah Islam Tidak Populer di Pesantren?

Ada beberapa jenis penulisan tarikh dalam Islam. Pertama, ada yang berupa sirah (riwayat hidup) Nabi saw. Jenis ini pada akhirnya juga mencakup legacy dari beliau yang berupa ucapan (qauli), perbuatan (fi’li), serta afirmasi (taqriri).

Pada perkembangannya penulisan sirah (siroh, biografi) juga bercampur dengan riwayat hidup empat khalifah. Penulisan sirah ini sangat berkaitan dengan ulumul hadis yang verifikasinya hanya bisa ditempuh melalui jalur sanad. Karena hanya bisa ditempuh melalui jalur sanad, maka muncul jenis penulisan tarikh yang kedua: tajrih. Apa itu tajrih?

Tajrih ini bisa kita artikan secara bebas sebagai biografi tentang tsiqah (integritas moral) atau tidaknya seseorang. Namun pada perkembangannya genre ini juga mencakup biografi tokoh-tokoh masyhur di tiap zaman.

Nah, di Indonesia, khususnya pesantren, buku-buku tarikh berbahasa Arab hanya berhenti di jenis pertama. Seorang santri, misal, barangkali akan sangat fasih membicarakan fikih dalam Mazhab Syafi’i namun ia akan sangat buta tentang riwayat hidup Imam Syafi’i; siapa gurunya; siapa muridnya; kapan beliau lahir dan meninggal; dan pada masa siapa beliau hidup.

Atau kalau hendak berbicara tentang ilmu riwayat hadis, seorang santri—atau ustaz populer sekalipun akan sangat fasih mengutip satu atau dua buah hadis namun akan kebingungan jika ditanya bagaimana status perawinya menurut para muhadditsin. Meskipun tidak terlalu penting untuk kemajuan bangsa dan negara, setidaknya hal ini yang membuat aliran Ahlussunnah yang ada di Indonesia akan mudah dirobek oleh invasi doktrin transnasional.

Baca juga:  Rahasia Malam Nisfu Sya’ban: Antara Tradisi, Perekat Sosial, dan Kemustajaban Do’a

Baca juga:

Kenapa ini bisa terjadi, bukankah hal ini merupakan wujud—bagi pesantren khususnya—pengkhianatan terhadap khazanah sendiri? Bukankah belajar tarikh merupakan fardhu kifayah?

Dalam menjawabnya sebetulnya diperlukan penelitian yang menyeluruh. Namun dari fenomena yang sudah ada, setidaknya beberapa faktor bisa kita ajukan.

Pertama, pandangan banyak masyarakat—khususnya santri—masih terlalu fiqh-oriented. Otomatis khazanah Islam di luar hal-hal yang berhubungan dengan fikih kurang begitu diminati. Tentu fokus kepada fikih untuk menjaga dari keharaman barangkali baik. Namun jika sampai mengabaikan hal lain yang tak kalah penting justru akan menjadi tidak baik.

Kedua, sulitnya akses. Dalam Fikih Sosial Kiai Sahal Mahfudh menyebutkan: kenapa fikih Syafi’i sangat dominan dalam hasil bahtsul masail NU—padahal NU sangat mengakui tiga mazhab lain?

Jawabannya, kata beliau, mudah saja: karena tidak ada akses kepada kitab mazhab lain. Hal yang sama juga dialami oleh beberapa kalangan. Jarang sekali ada Tarikh ath-Thabari, al-Kamil, atau Murujuz Dzahab di perpustakaan pesantren. Maka ketika zaman serba mudah seperti sekarang, tetap saja kitab tersebut tidak di koleksi.

Ketiga, sulit bagi beberapa kalangan. Seorang sejarawan akan sangat mudah sekali memahami kisah pergantian khalifah di masa Abbasiyah dalam Tarikh Ath-Thabari, namun dia akan kesulitan saat menjelaskan furu’ tentang ta’liq thalaq berserta perinciannya yang ada di Kitab Tuhfatul Muhtaj. Hal ini bisa dimaklumi karena dia jarang membuka kitab fikih. Sama juga dengan seorang santri, misal. Dia akan paham tentang syarat-syarat akad salam dalam sekali baca namun akan kebingungan saat membaca al-Kamil.

Keempat, sejarah atau tarikh tidak dianggap kebutuhan sehari-hari. Memang, sejarah, peristiwa zaman dahulu, yang sudah lewat, itu masa lampau, fiil madli, tapi penulisan sejarah dimaksudkan untuk kehidupan masa depan. Sedikit orang yang punya kesadaran bahwa membaca sejarah ada fondasi untuk masa depan.

Namun terlepas dari itu, kitab tarikh memang memiliki kesulitan tersendiri. Karena ilmu tarikh Islam didapat secara oral, maka pengarang akan menulis persis seperti yang diucapkan oleh narator (perawi). Jadi pengarang tidak menyunting riwayat sejarah ke dalam bahasa yang lebih nikmat dibaca. Namun sebaliknya, bagaimana riwayat itu dikisahkan, itulah yang akan ditulis.

Baca juga:  Asal-usul Tradisi Penca’ Silat di Sumenep

Demikianlah, pesantren, yang masih asing dengan kitab-kitab sejarah. Tapi juga, saya yakin, bukan hanya di pesantren kita sejarah asing, namun di kampus-kampus.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top