Dalam memperoleh pengetahuan, manusia dibekali logika berpikir, naluri, nurani, intuisi, dan imajinasi. Atas pengalaman tersebut manusia menyusun harapan atau tujuan hidup. Salah satu perangkatnya adalah agama dengan tujuan akhir surga. Namun demikian, masih banyak yang kurang memahami esensi dari beragama dan lebih mengedepankan ego dan nafsu politis dengan pakaian agama.
Agama manusia modern lebih sibuk mengurusi sesuatu yang lahiriah, mengabaikan sisi batiniah. Menyimpulkan tingkat agamawan seseorang dari yang tampak di mata. Sampai pada zaman kemajuan teknologi yang siapapun bisa memanipulasi diri untuk klaim seorang yang taat beragama. Bagi pemuja lahiriah, syariat adalah syarat utama tiket menuju surga, tanpa tawar-menawar.
Namun konsep syariat kerap dikritisi para sufi (pengamal tasawuf) karena dianggap mengabaikan prioritas ketauhidan. Mengharap surga, melalaikan Tuhan. Sedangkan bagi sufi, syariat adalah terminal awal untuk perjalanan panjang menuju ketuhanan. Mempertentangkan syariat akan mempersempit pengetahuan dan pengalaman ketauhidan manusia di dunia. Hanya sibuk mengurus halal-haram, sunah-bidah, kafir-muslim, dan surga-neraka.
Dogma
Muslim modern terus dicekoki dogma-dogma agama untuk membatasi ruang berpikir dan berekspresi. Menyuguhi dalil sebagai pagar boleh dan tidaknya melakukan sesuatu. Sejak kecil, manusia beragama disempitkan pemahamanan agamanya yang bersifat kompleks. Seiring berjalannya waktu, muslim modern terkesan terikat pada doktrin agamawan tertentu yang justru menghambat perjalanannya menuju Tuhan.
Cendurung aktif mengurusi kesalahan orang lain tanpa berpikir panjang atas dampak atau risiko dari sikap dogmatis tersebut. Ilmu yang tidak utuh dengan situasi lingkungan sekitar yang menyetujui pendapatnya semakin menambah gairah beragama, namun kehilangan sisi kemanusiaan. Dogma agama mengatur manusia dari sisi lahiriah untuk tekun beribadah. Namun seringkali mengabaikan ibadah batin yang bersifat gaib.
Dogma tersebut yang akhirnya menuntun manusia untuk senantiasa bersolek alim di hadapan orang lain. Simbol-simbol agama mulai sibuk diperdebatkan sebagai pertaruhan iman seseorang. Laskar dan aktivis agama bergerak di jalan mengobarkan panji bela agama. Beberapa di antaranya menggadaikan agama sebagai kampanye politik. Mempergunakan agama untuk melegalkan kemungkaran. Menipu jamaah dengan motivasi-motivasi hijrah.
Ancaman
Agama yang “menuhankan” syariat juga menggunakan metode ancaman neraka dan segala siksa akhirat untuk mengatur umatnya. Membangkang harus siap dihukum. Jika tidak berlaku di dunia, bisa diaplikasikan di akhirat. Agama menjadi benda mati yang kaku tanpa hak mencari dan menemukan.
Pengikut dituntut tunduk pada ulama. Syiar agama seputar ancaman-ancaman apabila melakukan dosa. Di sisi lain, Islam konservatif mengkampanyekan kemurnian Islam yang menyebabkan ketertinggalan muslim dalam menghadapi perkembangan zaman. Segala hal yang tidak dilakukan oleh Rasul, haram di zaman sekarang. Meruntut dogma yang tekstualis menjadi ancaman bagi muslim abangan.
Agama menjadi sesuatu yang menakutkan dengan segala bentuk ancaman. Mereka yang menemukan sisi mahabbah kepada Tuhan menjadi sesak dengan perdebatan syariat. Tuhan dikesankan menjadi sesuatu yang jahat dan menakutkan karena sering mengancam hamba-Nya yang melakukan dosa. Seolah ketaatan muslim beribadah hanya dilandaskan pada ketakutan terhadap ancaman siksa kubur dan neraka.
Iming-iming
Kebalikan dari ancaman, seorang yang beragama juga diiming-imingi kenikmatan surga agar tekun beribadah. Fokus (kekhusyukan) seorang muslim lebih kepada impian hidup kekal di surga daripada sang pencipta surga itu sendiri. Agama mengalihkan perhatian seseorang pada eksistensi Tuhan.
Pengamal hakikat agama rindu berjumpa Tuhan, agama lahiriah sibuk mempersiapkan diri berjumpa surga. Menikmati segala jerih payah pengorbanannya terhadap agama selama di dunia. Manusia yang selalu mengharap ganjaran (balas budi) dari setiap ibadah yang sudah dilakukan. Jika surga dan neraka tidak ada dalam konsep pikiran manusia, mungkin Tuhan sudah tidak lagi dijadikan sesembahan.
Berbuat baik bukan alasan kemanusiaan, melainkan harapan terhadap koin pahala yang dikumpulkan untuk modal membeli surga. Seperti halnya anak kecil yang kalau disuruh melakukan sesuatu harus disertai dengan iming-imingan. Belum ada sikap kedewasaan dalam beragama untuk lebih memprioritaskan Tuhan daripada segala hal tentang kenikmatan yang dijanjikan.
Kefanatikan terhadap agama yang bersifat syariat bisa membelenggu manusia. Mencari dalil segala hal yang akan dan sudah dilakukan. Setelah itu menghukumi dan menghakimi satu sama lain. Pikiran dan logika benar-salah yang kemudian mematikan sisi batiniah seseorang untuk mengabdi kepada Tuhan.
Syariat harus dijadikan hobi, bukan lagi perdebatan. Untuk bertauhid (menuju Tuhan), muslim harus mulai menyingkirkan ornamen-ornamen lahiriah agar batinnya terpancar. Jangan sibuk mempertentangkan lahiriah (syariat) malah menutupi esensi agama dan berketuhanan itu sendiri. Semua orang pernah beribadah, tapi apakah mereka sudah memahami hakikat dan tujuan beribadah?