
Senin siang (9 Juni 2025) saya menerima pesan dari Dr. Nurni Wuryandari yang pernah belajar bahasa Mandarin mengenai maksud kata “cuan” yang saya pakai dalam puisi yang saya buat dan publikasi pada 8 Juni 2025. Kata “cuan” memang saya pilih dengan makna ‘uang’ atau ‘untung’ sesuai dengan KBBI. Menurut Nurni, telah terjadi kesalahkaprahan pemakaian diksi. Kata “cuan”, dalam penjelasan Nurni, diambil dari kata zhuan (赚) yang artinya ‘menghasilkan’ atau ‘menyimpan’. Kata zhuan biasanya diberi objek “uang” sehingga mestinya berbunyi 钱 赚钱 zhuan qian yang artinya ‘menghasilkan uang’.
Pemakaian kata “cuan” yang kurang tepat dilihat dari sumbernya, dapat dikatakan sebagai semacam kesalahkaprahan yang sesungguhnya adalah ketidaktepatan. Contoh dalam kosakata bahasa Indonesia sekaitan kasus seperti ini, cukup banyak. Akan tetapi, jika dilihat dari konteks bahasa Indonesia sendiri dan kelaziman yang terjadi, hal tersebut tidak perlu dirisaukan karena sangat mungkin juga terjadi pada bahasa lain di dunia. Dengan kata lain, jika dalam pemakaian sehari-hari kata “cuan” memang kemudian dipakai dengan arti ‘uang’, dapat dipahami bahwa kata “cuan” telah menjadi kosakata Indonesia dengan makna tertentu tersebut.
Secara kualitas, kata ‘uang’ sebagai padanan “cuan” dapat dikatakan tidak berkonotasi riskan, berbeda dengan kata “bak” yang dalam bahasa Indonesia banyak bentukannya seperti “bakso”, “bakmi”, atau “bakpao”. Kata “bak” yang berasal dari China Selatan seperti Fujian, memang mengacu pada makna ‘daging babi’. Makna seperti ini seharusnya menimbulkan masalah bagi orang Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Namun, faktanya, makanan-makanan yang saya sebut sebagai contoh tadi, tidak menimbulkan asosiasi makna yang memunculkan antipati. Di mana-mana di Indonesia, sampai sekarang, mudah menjumpai makanan-makanan tersebut. Agaknya, kendati ada dimensi riskannya, kata dengan “bak” tidak menimbulkan masalah.
Hal ini berbeda dengan kata “amin” yang beberapa tahun belakangan ini mengalami perubahan cara penulisan dengan “aamiin”. Secara faktual, sudah sangat lama kata “amin” ini dikenal dalam bahasa Indonesia. Perubahan penulisan yang cenderung menjadi “aamiin” ini agaknya dipengaruhi oleh mulai banyaknya orang yang mulai memahami bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, aamiin (آمِيْن) bermakna ‘Ya Allah, kabulkanlah doaku’, sedang amin bermakna ‘aman, tenteram’. Oleh mulai diketahuinya makna yang sedemikian itu, banyak orang kemudian memilih aamiin daripada amin atau aamin yang berarti ‘meminta perlindungan’, atau amiin yang berarti ‘jujur terpercaya’.
Kendati muncul pengetahuan mengenai makna-makna kata tersebut, dalam bahasa Indonesia sesungguhnya hanya terdapat kata amin yang menurut dugaan saya, dulu dimasukkan sebagai kosakata bahasa Indonesia dengan makna sebagaimana aamiin. Saya kira tidak ada orang Indonesia menuliskan amin hanya dengan maksud ‘aman’ atau ‘tenteram’ saja. Akan tetapi, mengapa pemakaian aamiin seperti lebih luas dibandingkan permasalahan “cuan” atau “bakmi”?
Tentu jawabannya, karena kata amin bersinggungan dengan masalah keagamaan, yang artinya berhubungan dengan keafdalan atau kelebihutamaan. Padahal, jika dengan jernih dipahami bahwa kata amin yang sudah sekian lama dipakai di Indonesia itu bermakna sama dengan aamiin, mengapa pula harus mengubahnya. Dalam konteks kalimat bahasa Indonesia, belum pernah saya menjumpai orang menuliskan kalimat, misalnya “Mereka mengaamiinkan pandangan itu”. Artinya, dalam penulisan, tidak ada salahnya dan tidak mengurangi makna yang menyertai, ketika seseorang hanya menulis amin.***