Sedang Membaca
Apa Peran Ulama Perempuan dalam Sejarah Peradaban Islam?
Husein Muhammad
Penulis Kolom

Pencinta kajian-kajian keislaman, utamanya di bidang ilmu fikih, tema-tema keperempuanan, dan ilmu tasawuf. Menulis beberapa buku, aktif di pelbagai forum kajian, baik nasional ataupun internasional. Tinggal di Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, Jawa Barat

Apa Peran Ulama Perempuan dalam Sejarah Peradaban Islam?

Sebutan ulama dalam banyak komunitas Muslim selama ini hanya ditujukan kepada kaum laki-laki dan tidak untuk perempuan. Untuk menyebut perempuan sebagai ulama harus ditambahkan “perempuan”, menjadi “ulama perempuan” atau “perempuan ulama”. Kenyataan ini jelas memperlihatkan bahwa kaum perempuan dianggap tidak ada yang layak disebut ulama. Dengan kata lain, mereka dianggap tidak memiliki kapabilitas intelektual, keilmuan, moral, dan keahlian yang lain. Ini merupakan salah satu fakta peradaban patriarki yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Perempuan dalam peradaban ini sangat dinafikan keberadaannya, dan dianggap terlarang untuk berada pada posisi menafsirkan, mengelaborasi, memutuskan, dan mengimplementasikan hukum-hukum agama.

 

Itu adalah anggapan-anggapan yang bertentangan dengan realitas. Pembatasan, penafian atas fakta dan pengucilan terhadap mereka telah mengabaikan perintah Tuhan dan Nabi. Betapa banyak ayat Alquran yang menyerukan kepada manusia untuk memahami berbagai ilmu pengetahuan. Beberapa di antaranya adalah Q.S. al-‘Alaq, 1-5, Q.S. (tentang perintah Tuhan kepada semua manusia untuk belajar), Q.S. al-Taubah, [9: 71], tentang keharusan laki-laki dan perempuan beriman untuk saling bekerjasama membimbing masyarakat dan terlibat dalam urusan-urusan politik, dan masih banyak lagi. Semua perintah Tuhan ini ditujukan kepada laki-laki dan perempuan. Kita tidak tahu siapa yang mengkhususkan perintah Tuhan ini hanya kepada laki-laki? Siapa yang mengecualikan perempuan dari ketentuan ayat-ayat Tuhan ini?

 

Lebih dari itu, siapa sesungguhnya yang menggelapkan atau menghapus sejarah keulamaan perempuan? Padahal terlalu banyak para ahli hadis yang mengambil riwayat dari kaum perempuan. Mereka sepakat bahwa riwayat perempuan dapat dipercaya. Al-Dzahabi, seorang kritikus hadis terkemuka mengatakan, “Tidak pernah terdengar bahwa riwayat seorang perempuan adalah dusta”.

Kaum Muslimin di dunia mengetahui dengan pasti sabda Nabi bahwa Aisyah adalah perempuan paling cerdas dan ulama terkemuka, “Kanat ‘Aisyah A’lam al Nas wa Afqah wa Ahsan al Nas Ra’yan fi al ‘Ammah”. Al Dzahabi juga menginformasikan bahwa lebih dari 160 ulama laki-laki terkemuka yang berguru kepada Siti Aisyah. Mereka antara lain Ibrahim al-Taimi, Thawus, al-Sya’bi, Sa’id bin al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Ikrimah dan lain-lain.

Selain Aisyah, sejumlah perempuan juga adalah para ulama, antara lain Ummu Salamah bint Abi Umayyah, Hafshah bint Umar, Asma bint Abu Bakar, Ramlah bint Abi Sufyan, Fatimah bint Qais dan lain-lain. Mereka adalah guru besar bagi kaum perempuan juga bagi kaum laki-laki. Mereka biasa berdiskusi dan berdebat secara terbuka dengan ulama laki-laki dalam banyak aspek dan untuk menyelesaikan problema kehidupan umat pada masanya.

Baca juga:  Catatan Refleksi Peran Perempuan di Masjid Selama Bulan Ramadan

Sayyidah Nafisah adalah ulama perempuan yang cemerlang. Imam Syafi’i dan banyak ulama lain hampir setiap hari datang ke rumahnya untuk mengaji kepadanya. Cicit Nabi ini seorang hafiz, mufassir (ahli tafsir) dan muhaddits (ahli hadits), rajin salat, puasa dan haji sebanyak 30 kali. Pengajian tafsir yang diselenggarakannya di masjid maupun di rumahnya dihadiri ratusan orang yang datang dari berbagai penjuru. Sayyidah Nafisah juga pemimpin gerakan rakyat untuk menentang penguasa yang zalim; Ibnu Talun. Dia pernah menulis surat kepadanya berisi kritik tajam. Katanya, “Anda telah menyakiti dan membuat lapar rakyat. Orang-orang yang dizalimi tidak akan mati dan orang yang menzalimi tidak akan hidup lama. Lakukan semaumu. Tuhan pasti akan membalas kelakuan burukmu”.

As-Sakhawi (w. 1497 M), Imam Ibnu Hajar al-‘Asqallani (w. 1449 M) dan Imam Suyuthi (w. 1505), ketiganya ahli hadis terkemuka, belajar pada guru-guru perempuan. Ibnu Hajar, misalnya, belajar pada 53 orang perempuan, as-Sakhawi berguru pada 46 orang perempuan dan as-Suyuthi berguru pada 33 perempuan.

 

As-Sakhawi juga mencatat ada 1075 perempuan terkemuka, 405 orang di antaranya adalah ahli hadis dan fikih terkemuka. Ibnu Hajar mencatat 191 perempuan, 168 di antaranya adalah guru besar hadis dan fikih. Sufi agung, Syaikhul Akbar, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi juga berguru pada tiga orang perempuan cerdas dan alim di Makkah: Sayyidah Nizam, Fakhr al Nisa dan Qurrah al ‘Ain. Perempuan paling populer di kalangan para sufi, Rabi’ah al-Adawiyah (801 M) telah menjadi ikon mazhab ‘cinta’ dalam sufisme. Puisi-puisinya tentang cinta (mahabbah) telah memberikan inspirasi kepada para sufi lain sepanjang sejarah. Terlampau sempit ruang di sini untuk menyebut ulama perempuan yang telah tampil dalam panggung sejarah peradaban Islam.

Baca juga:  Di Rel Sejarah: Islam dan Kebangsaan

 

Lebih dari itu, kaum perempuan bukan hanya memiliki kapabilitas sebagai ulama dan cendekiawan. Sebagian ulama bahkan menyebut sejumlah perempuan sebagai Nabi. Ada beberapa nama perempuan yang disebut sumber-sumber Islam yang layak disebut Nabi. Mereka adalah Siti Hawa, Siti Maryam, Siti Asiah (isteri Firaun) dan Ummi Musa (ibunda Nabi Musa). Ahli tafsir besar, Al-Qurthubi mengatakan, “Menurut pendapat yang sahih, Siti Maryam adalah Nabi perempuan, karena Tuhan menurukan wahyu kepadanya sebagaimana kepada nabi-nabi yang lain”.

Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) mengambil pandangan ini berdasarkan firman Allah, “Wa Idz Qalat al Malaikah Ya Maryam Inna Allah Ishthafaki wa Thahharaki wa Isthafaki ‘ala Nisa al ‘Alamin”(Dan manakala Malaikat mengatakan :”Hai Maryam sesungguhnya Allah memilihmu, mensucikanmu dan mengunggulkanmu di antara perempuan-perempuan lain di dunia).(Q.S. Ali Imran, [3]:42).

 

Mayoritas besar ulama (laki-laki) memang tidak mengakui mereka sebagai Nabi. Tetapi mereka mengakui perempuan-perempuan tersebut di atas merupakan tokoh-tokoh besar dan teladan bagi masyarakatnya. Imam Abu Hasan al-Asy’ari, tokoh utama Islam Sunni, mengatakan bahwa tidak ada seorang perempuanpun yang menjadi Nabi, melainkan “asshiddiqah” (perempuan-perempuan yang jujur, terpercaya). Terlepas dari apa sebutannya, Nabi atau bukan, para perempuan di atas adalah ulama dengan seluruh maknanya yang terhormat itu.

Baca juga:  Rida al-Tubuly, Aktivis Hak Asasi Manusia dari Libya

 

Hafiz Ibrahim, penyair Nil (Sya’ir al Nil) mengungkapkan fenomena peran perempuan ulama tersebut dalam puisinya:

Lihatlah

Buku-buku dan kaligrafi yang indah

Bercerita tentang tempat

Perempuan-perempuan Islam yang gagah

 

Baghdad

adalah rumah perempuan-perempuan cerdas

Padepokan perempuan-perempuan elok

Yang mengaji huruf dan menulis sastra

 

Damaskus ketika Umayyah

adalah sang ibu bagi gadis-gadis cendekia

Tempat pertemuan sejuta perempuan piawai.

 

Taman-taman Andalusia merekah bunga warna-warni

Perempuan-perempuan nan cantik

bernyanyi riang

Dan gadis-gadis anggun membaca puisi

 

Fakta-fakta sejarah dalam peradaban awal Islam tersebut menunjukkan dengan pasti betapa banyak sesungguhnya perempuan yang menjadi ulama dengan kapasitas intelektual yang relatif sama dengan bahkan mengungguli ulama laki-laki. Fakta ini dengan sendirinya telah menggugat anggapan banyak orang bahwa akal perempuan secara kodrat, natural, fitrah atau apapun namanya, lebih rendah dari akal perempuan.

Perendahan terhadap kecerdasan, keulamaan dan kesarjanaan perempuan, dengan sendirinya, langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, telah merendahkan para istri, putri dan cucu-cicit Nabi, para guru dari para sahabat Nabi dan ulama-ulama besar, dan perempuan-perempuan mulia yang dihormati berjuta-juta orang, baik laki-laki maupun perempuan.

Jumlah ulama perempuan yang lebih sedikit daripada ulama laki-laki bukanlah sesuatu yang esensial. Satu atau dua orang perempuan ulama saja sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa makhluk Tuhan berjenis kelamin betina tersebut memiliki potensi dan kualitas intelektual dan moral bahkan tenaga yang tidak selalu lebih rendah atau lebih lemah dari makhluk berjenis kelamin jantan. Persoalannya adalah terletak kepada apakah orang, masyarakat, budaya, politik, instrumen-instrumen hukum, pandangan agama, dan kebijakan lain memberi ruang dan akses yang sama untuk laki-laki dan perempuan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top