Saat melihat foto calon presiden dan wakil presiden berjajar di sebuah surat kabar, kemarin, terbersit pertanyaan: Kok wajah para para calon pemimpin tertinggi republik ini tidak berkumis atawa berbrengos ya? Ini artinya, entah siapa pun yang akan jadi, mereka akan menggenapi, presiden kita tahun 2019-2024, tidak memiliki kumis. Wakil presiden pun tidak banyak yang punya kumis, dari sepuluh hanya dua yang memelihara rambut pendek antara bibir atas dan hidung itu.
Sama sekali tidak penting pertanyaan di atas, karena kumis atau brengos tidak terkait visi dan misi atau integritas sang pemimpin. Tapi saya ingat satu fragmen di Madiun yang diceritakan Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya Berangkat dari Pesantren. Fragmen itu menceritakan seorang tokoh kemerdekaan dari Maluku yang memiliki kumis baplang. Siapa lagi kalau bukan Abdoel Moetholib Sangadji, atau yang lebih dikenal dengan nama A.M. Sangadji.
Pak A.M Sangadji-lah, tulis Kiai Saifuddin, satu-satunya pemimpin yang memelihara kumis melintang. “Potongan kumis yang menjadi trade mark A.M. Sangadji,” katanya.
Baca Juga:
- Apa Alasan Sukarno Mendahulukan Monas daripada Masjid Istiqlal?
- Di Balik Buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren
Kiai Saifuddin menceritakan kumis tersebut karena pada suatu acara rapat umum partai Masyumi di alun-alun Madiun, bulan Maret 1947. Tapi yang hadir tidak hanya orang Masyumi. Saifuddin muda, menjadi pembicara dari Masyumi. A.M. Sangadji bicara dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Dalam pidato 60an menit, Saifuddin menjelaskan mengapa Masyumi menolak perundingan Linggarjati.
Saat berpidato, orang-orang Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo. Salah satu tokohnya, Soemarsono, baru meninggal 8 Januari 2019 di Sidney Australia dalam usia 97 tahun) meningkahi dengan interupsi dan teriak-teriak. Tapi Saifuddin berhasil mengakhiri pidato, disambut tepuk tangan dan digendong ramai-ramai oleh pemuda Hizbullah.
Saat A.M. Sangadji mendapat giliran naik panggung, teriakan-teriakan makin tak terkendali. Saifuddin Zuhri menggambarkan Sangadji sebagai orang PSII yang pandai berpidato –sama serpti orang PSII yang lain seperti Agus Salim dan Tjokroaminoto– ditambah perawakan yang tinggi tegap, dan gerakannya cekatan, meski mendekati usia 60 tahun. Suaranya lantang, tenor, dan satu identitas yang sangat melekat: kumis baplang.
Brengoseee, brengoseee, brengoseee..!
Teriakan itu bergelombang dan tak terkendali. Tokoh yang seangkatan dengan Tjokroamino dan Agus Salim ini tidak mengerti apa itu “brengos”, karena tidak mengerti bahasa Jawa. Sangadji menengok Saifuddin Zuhri mengirim sinyal ketidakmengertian terikan pemuda-pemuda Pesindo.
“Kumis…Kumis…! kata Saifuddin.
“Oooo… Kumis saya ini…?” Kata Sangadji sambil memilin-milin kedua ujung kumisnya dengan bangga. Saifuddin merekam dengan menarik tingkah Sangadji:
“Siapa yang benar-benar lelaki, mari maju ke depan satu demi satu. Siapa berani menjamah kumis laki-laki ini?”
“Hayooo, siapa berani tampil lebih dahulu? Sinar mata Pak A.M. Sangadji seperti mengeluarkan api. Dan serentak dengan itu, anak-anak Hizbullah dan Sabilillah mengelilingi podium tempat Pak A.M. Sangadji berdiri,” tulis Saifuddin.
Saifuddin mengatakan bahwa orang tiba-tiba berhenti berteriak. “Mengherankan sekali, orang-orang ‘sayap kiri’ tiba-tiba tak berkutik. Yel-yel mereka sekonyong-konyong berhenti, seperti radio kehabisan batre.”
Beberapa bulan setelah peristiwa Madiun itu, A.M. Sangadji yang berjuluk si “jago tua” itu tewas ditembak dalam pertempuran Agresi Militer Belanda Pertama, Agustus 1947, di Jojgakarta.