Ketika saya diajak ziarah ke kuburan Mbah Hamid Kajoran, Magelang, teman saya mengatakan informasi menarik. “Mbah Hamid ini spesialisasi pendidikan, makamnya ya wali yang bisa kita jadikan wahana wasilah kepada Allah untuk urusan pendidikan,” kata dia kala itu.
Saya ketika itu hanya diam. Setelah itu, kami membaca surat Yasin, tahlil berjemaah, wasilah, lalu pulang. Di perjalanan, diskusi kami lanjutkan dan membahas maksud “makam” dan “wali spesialisasi pendidikan” itu. Ternyata, teman saya mengatakan wali spesialisasi itu seperti makam, spesifikasi, derajat, kelas, kaliber, valensi, tingkatan, atau kecocokan untuk walisah hal-hal tertentu.
Dari diskusi kecil ini, kita harus meneliti aspek filologisnya. Untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat para kekasihnya memang tak bisa sembarangan. Kita harus tahu presisi kewalian wali yang kita ziarahi. Sebab, ada derajat, tingkatan, kelas, makam di balik kuburan wali yang kita ziarahi.
Jika ditarik dalam jagat akademik, ini berkaitan erat dengan kepakaran. Meski banyak doktor dan profesor yang lihai berteori di berbagai bidang, namun ia pasti memiliki spesifikasi ilmu atau kepakarannya. Orang bisa jadi guru besar pendidikan, namun pendidikan itu luas dan mereka harus spesifik kepakarannya. Apa guru besar pendidikan Islam, pendidikan dasar, atau pendidikan luar sekolah.
Dari spesifikasi itu, nanti juga dipersempit lagi sesuai jurusan atau program studinya. Bisa masuk ke wilayah rumpun disiplin ilmu, atau pada kajian temuan, penelitian, dan teori yang mereka kembangkan. Di sini, para wali Allah posisinya sama. Mereka memiliki makam berbeda.
Kita sebagai orang yang masih hidup, harus menelitinya sebagai wahana mendekatkan diri pada Allah lewat para wali di Nusantara ini.
Epistemologi Makam dan Kuburan
Harap dicatat, makam bukan kuburan. Kuburan bukan makam. Di dalam KBBI (2005), makam disebutkan ada beberapa makna. Mulai dari kubur, kuburan, pekuburan, tempat tinggal/kediaman, jalan panjang berisi tingkatan yang harus ditempuh seorang sufi yang penuh dengan berbagai kesulitan dan memerlukan usaha sungguh-sungguh sehingga tercapai keadaan yang tetap menjadi milik pribadi orang sufi. Makna berikutnya, makam merupakan kedudukan mulia (tinggi).
Kamus al-Munawwir (1984) kata makam/maqam berasal dari kata qaa-ma, ya-quu-mu, qi-yaam, yang berarti naik/meningkat, berdiri, bangkit, bangun, berangkat. Makna ini jelas berbeda dengan kata kubur. Dalam KBBI (2005), kubur-kuburan, adalah lubang dalam tanah tempat menyimpan mayat, liang lahat, dan tempat pemakaman jenazah. Dalam bahasa Arab, kubur berarti memendam, melupakan, memasukkan, mengebumikan.
Makam secara KBBI dan idiom budaya makna pertama adalah kuburan, bukan derajat, atau jenjang kedekatan seorang sufi/wali pada Allah. Ini harus diluruskan, bahwa kuburan bukan makam, karena makam adalah kelas, jenjang, dejarat seorang. Sama seperti makam orang sekolah, ada yang jenjang SD/MI-SMA/SMK/MA, sampai pada S1 (sarjana), S2 (magister), dan S3 (doktor).
Di sini perlu dekonstruksi makna kuburan dan makam yang selama ini masih dipahami sama. Keduanya sangat berbeda, makam lebih rohani, gaib, sementara kuburan lebih jasmani, fisik, atau tampak.
Apakah wali hanya berhenti di kuburan? Jelas tidak, karena di balik kuburan mereka ada makam yang harus ditelisik lebih dalam.
Dalam Alquran surat al-Isra’ ayat 78-79, disebutkan ada idiom maqamam mahmuda yang berarti tempat terpuji di sisi Allah. Sudah jelas, literatur bahasa dan Alquran mendeskripsikan makam bukan kuburan, melainkan sebuah kelas, derajat, kaliber yang dirindukan semua orang untuk mendapat kemuliaan di hadapan Allah dan manusia. Salah satunya adalah makam para wali Allah.