Menyikapi bencana apapun, biasanya masyarakat pesantren mengukuti cara pandang para kiainya. Bahwa bencana berupa ketakutan (al-khauf), karena wabah atau bencana alam, kelaparan (alju’), krisis ekonomi (wa naqsin minal amwal), ancaman keselamatan jiwa (wal anfus) serta krisis pangan (wal tsmaarat) tak lebih dari sekadar ujian yang hanya perlu direspon manusia dengan bersikap sabar, tidak panik, apalagi menciptakan masalah baru misalnya menghembus krisis kepemimpinan di sebuah negeri.
Itulah protokol bencana para kiai atau ulama, tentu tanpa mengesampingkan ikhtiar. Ikhtiar itu sama pentingnya dengan berdoa. Berdoa itu sama pentingnya dengan ikhtiar.
Kiainya para kiai, Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri NU, bila ada wabah penyakit atau pageblug menimpa, beliau mengajak para santri dan umatnya menguatkan mental terlebih dahulu sebelum berikhtiar.
Dalam majelis haul KH Yahya bin Abdul Hamid Chasbullah, Pesantren Tambakberas, KH. Masduqi Abdurrahman AlHafidz, Pengasuh PP Roudhotu Tahfidzi Qur’an Perak Jombang mengisahkan Mbah Hasyim mengajak para kiai untuk membaca doa kala ada pagebluk. Apa doanya?
Doa itu berupa puisi, syair nazam yang sebenearnya sering dilantunkan di masyarakat pesantren, termasuk jemaah salawat. Malah kalau Jam’iyah Hadrah ISHARI hampir pasti melantunkan syair ini di puncak muhud, mahallul Qiyam.
لِي خَمْسَةٌ أُطْفِئ بِهاَ # حَرَّ الوَباَءِ الحاَطمَة
المُصْطَفَى وَالمُرتَضَى # وَابْناَهُماَ وَفَاطِمَة
(Li Khomsatun, uthfi-u biha
Harrol waba-il hathimah
Almusthofa, wal murtadlo
Wabnahuma wa Fathimah)
Artinya, kira-kira begini: “Aku berharap diselamatkan dari panas derita wabah yang bikin sengsara dengan wasilah derajat luhur lima pribadi mulia yang aku punya: Baginda Nabi Muhammad al-Mushthafa saw, Sayyidina Ali al-Murtadla dan kedua putra (Hasan dan Husain), serta Sayyidatina Fathimah Azzahra, binti Rasulillah saw’.”
Kepada Gus Ainur Rofiq, salah satu pengasuh asrama di PP Bahrul Ulum Tambajberas Jonbang, Kiai Masduqi menceritakan bahwa Kala itu, Hadratus Syekh mengijazahkan syair doa ini, pada Mbah Romli Tamim Rejoso, Mbah Wahab Chasbullah, Mbah Bisri Syansuri, dan pondok Semelo Perak, Jombang.
Terilhami selawat di atas, sebelum dan sesudah salat Subuh tadi, saya menyelesaikan semacam mantra penguat jiwa dan membangun suasan positif. Silakan disimak, semoga bermanfaat”
LIMA YANG KUPUNYA
Ada Apa dengan Korona
Apa dia mengancam Tuhan
Tidak mungkin
Bukankah Tuhan telah menyandingkan asma indah-Nya dengan nama indah Kekasih Muhammad
Wa KORONA-smahu
Ma’asmihi TANBIHAN
‘Ala Uluwwi Maqamih
Dan Allah sandingkan sendiri
nama DIA dengan namanya…
Sebagai Pertanda
Betapa Luhur Pribadi Muhammad
Wahai Korona
Kalau Kau hanyalah pertanda
akan keluhuran Nabi Muhammad
yang bersanding nama
dengan Asma Allah hingga terukir pasti di dinding-dinding masjid dan mihrab
Maka Kabarkan pada dunia
Tak ada yang patut ditakuti kecuali Allah
Tak Ada yang luhur teladan
kecuali Muhammad
Tak ada yang namanya bersanding,
Korona,
semulia nama Penguasa Wabah
Kecuali Bagindaku
Muhammad
Maka dengan pribadi luhur itu
juga istimewa pribadi Sayyidna Ali
dan dua buah hati
serta Fatimah belahan jiwa Muhammad
Bebaskan Aku dari apa saja
yang menghalangi
pandangan kalbuku
akan kesetaraan nama Muhammad
dengan nama-Mu yang aduhai mempesona
Li khamsatun uthfi-u biha
Harrall waba-il hathimah
Almusthafa wal murtadha
wabnahuma wa fathimah
Wahai Tuhan Pencipta Muhamnad…
Wahai Sang Pencipta Bumi…
Wahai Sang Pencipta Indonesia…
Ampuni, ampuni kami..
Dengan wasilah luhur
lima pribadi yang kupunya
aku memohon pada-Mu…
sebentuk ketentraman sejati
melipat gundah yang entah datangnya dari mana.
Surabaya, 16 Maret 2020
bukan mahallul qiyam kang tapi muhud tahtim.. hehe
Puisinya tidak menarik… bagusan tulisanya