Sedang Membaca
Kampung Berut Muntilan: Ketika Idul Fitri Dirayakan Bersama Umat Katolik
Faizatun Khasanah
Penulis Kolom

Magister Filsafat UIN JKT dan sekarang sudah kembali ke kampung halaman Senenan, Tahunan Jepara.

Kampung Berut Muntilan: Ketika Idul Fitri Dirayakan Bersama Umat Katolik

Toleransi Salaman Idul Fitri

Beberapa hari yang lalu umat Islam di dunia merayakan hari raya Idul Fitri dengan berbagai warna dan hingar bingarnya. Ada yang merayakan dengan penuh khidmat, penuh kedamaian bersama sanak kerabat dan keluarga. Ada juga yang merayakan dalam suasana yang mencekam.  Di berbagai belahan dunia masih ada konflik berlatar agama yang kian memanas.

Namun pemandangan berbeda di kampung kecil, di Muntilan, Magelang, justru menunjukkan bahwa hidup damai dalam perbedaan adalah hal yang mungkin—dan bahkan indah. Bak oase di tengah padang pasir.  Kampung Berut menjadi simbol bahwa harmoni bukanlah utopia. Di sana, umat Islam dan Nasrani telah lama hidup berdampingan secara damai, saling membantu, dan saling menghormati dalam suasana yang penuh kehangatan.

Salah satu potret toleransi paling hangat di Kampung Berut adalah saat hari raya keagamaan. Ketika Idul Fitri tiba, tetangga Nasrani datang berkunjung, membawa senyum dan suguhan, bahkan membantu menjaga lingkungan agar ibadah berlangsung tenang. Warga yang beragama Katolik pun menunggu salat selesai, lalu bersalam-salaman. Usai bersalam-salaman, warga Dusun Berut berkumpul di sebuah pendopo untuk bersilaturahmi atau sekadar berbincang santai. Di pendopo juga disediakan snack ala kadarnya untuk dinikmati bersama. Silaturahmi antar umat beragama tidak hanya di pendapa, warga juga melakukan ujung-ujung dari satu rumah ke rumah lain. Para pemuda dan anak-anak Muslim maupun Katolik bersama-sama berkunjung dari rumah ke rumah.

Toleransi tersebut tidak hanya berlaku saat Idul Fitri saja. Melainkan sejumlah kegiatan atau perayaan umat Katolik. Contohnya saat nyadran, warga menyelenggarakan doa bersama dengan dua versi, Islam dan Katolik. Sehingga, tali persaudaraan antar-umat Islam maupun Katolik tetap terpelihara dengan baik. Kondisi masyarakat desa tersebut tetap aman dan nyaman tanpa adanya perpecahan. Sebaliknya, saat Natal tiba, umat Islam ikut mengatur lalu lintas, memastikan keamanan dan kenyamanan jemaat gereja.

Baca juga:  Dinamika Kiai NU atas Tari Gandrung Banyuwangi

Warga tidak merasa ini sebagai ancaman terhadap iman masing-masing. Mereka tidak merasa identitasnya terganggu hanya karena mengucapkan selamat atau menerima makanan dari tetangga berbeda keyakinan. Sebab bagi mereka, kemanusiaan lebih utama dari perbedaan doktrin. Mereka telah mempraktikkan dan membumikan ajaran toleransi dan ajaran inklusifisme dalam beragama.

Sebagimana pernyataan Gus Dur:

Tidak penting apapun agama atau sukumu, yang penting adalah apa yang kamu lakukan untuk kebaikan umat manusia.

Kutipan ini mencerminkan filosofi Gus Dur yang mengedepankan nilai-nilai universal seperti kebaikan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia tanpa membedakan latar belakang agama, suku, atau ras. Gus Dur selalu menekankan pentingnya tindakan positif untuk kemanusiaan di atas identitas individu yang terikat pada kelompok tertentu.

Sementara Buya Syafii Maarif dengan tegas mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia tidak bertentangan dengan keislaman. Menurutnya, menjadi muslim Indonesia adalah menjadi muslim yang sadar akan realitas multikultural dan tidak gamang hidup berdampingan.

Fenomenologi Kampung Berut: Saat Toleransi Menjadi Bagian Hidup

Kalau kita menilik dari pendekatan fenomenologi sosial, seperti yang dikembangkan oleh Alfred Schutz dan Berger-Luckmann, tindakan sosial warga Berut tidak dapat dilepaskan dari dunia makna yang mereka bangun bersama. Toleransi di sana bukanlah sesuatu yang “diajarkan” secara formal, tapi tumbuh dari kebiasaan yang berulang, dari pengalaman sehari-hari yang membentuk cara pandang.

Baca juga:  Meresapi Nilai Tradisi Sedulur Sikep

Bagi warga Berut, menyapa tetangga beda agama saat hari raya bukan tindakan luar biasa. Itu adalah bagian dari hidup. Fenomena ini menunjukkan bahwa nilai keagamaan bisa melebur dalam ruang sosial dan budaya tanpa kehilangan esensinya. Iman tidak tercerabut dari bumi tempatnya hidup. Iman justru berakar dalam konteks sosial yang konkret.

Fenomenologi dalam konteks ini mengarah pada pengalaman langsung masyarakat Kampung Berut dalam menjalani kehidupan mereka dengan sikap saling menghormati dan bekerja sama. Pengalaman tersebut lebih dari sekadar kata-kata; ia mengakar dalam interaksi sehari-hari yang menunjukkan bahwa perbedaan agama atau etnis tidak menjadi pemisah, melainkan justru menjadi faktor yang memperkaya kehidupan mereka. Ini menciptakan suasana yang nyaman, di mana perbedaan tidak menimbulkan ketegangan, melainkan mendorong untuk saling belajar satu sama lain.

Dalam kerangka ini, kita melihat bahwa warga tidak sedang “menoleransi” dalam arti bertahan dari gangguan, tetapi menghidupi iman mereka dalam bentuk kehadiran yang ramah. Inilah keberagamaan yang tidak melarikan diri ke menara gading doktrin, tapi turun ke bumi, menyapa sesama manusia.

Islam Indonesia: Spirit Lokal dalam Bingkai Universal

Islam datang ke Nusantara tidak dengan pedang, tapi dengan akhlak. Para Wali Songo menyebarkan Islam lewat budaya: wayang, tembang, dan gotong royong. Mereka tidak menghapus kearifan lokal, melainkan mengislamkannya secara perlahan, penuh cinta. Kampung Berut adalah warisan dari semangat itu. Islam yang tumbuh di sana tidak merasa terganggu oleh Natal, dan Kristen yang tinggal di sana tidak merasa terintimidasi oleh takbir. Mereka sama-sama berpegang pada nilai kemanusiaan, yang dalam Islam disebut sebagai ukhuwwah insaniyyah. Pancasila bukan ancaman bagi Islam. Justru Pancasila menjadi rumah tempat nilai-nilai Islam bisa tumbuh berdampingan dengan nilai-nilai lain tanpa harus saling menggerus.

Baca juga:  Tali Tigo Sepilin, Tungku Tigo Sejerangan: Trias Politica ala Masyarakat Melayu Jambi

Kampung Berut bukan satu-satunya tempat yang seperti ini. Masih banyak kampung lain di Indonesia yang hidup dalam harmoni. Tapi Berut adalah pengingat bahwa hal yang sederhana—seperti saling mengucapkan selamat, berbagi makanan, dan menjaga suasana hari raya tetangga—bisa menjadi dakwah paling kuat.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
(HR. Ahmad)

Toleransi adalah akhlak. Dan akhlak adalah inti risalah Islam. Maka, toleransi bukan sekadar pilihan sosial, tapi panggilan iman. Jika kita ingin menguatkan Islam di Indonesia, maka memperkuat praktik seperti di Kampung Berut adalah salah satu jalannya. Sebab, dari tanah yang penuh damai itulah akan tumbuh generasi Islam yang berkarakter: kuat dalam tauhid, lembut dalam pergaulan, kokoh dalam prinsip, hangat dalam kebersamaan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top