Sedang Membaca
Perjalanan Ki Ageng Suryomentaram Mencari Makna Hidup: Dari Istana ke Rakyat Jelata
Eko Yudi Prasetyo
Penulis Kolom

Penikmat sastra, pemuja keindahan.

Perjalanan Ki Ageng Suryomentaram Mencari Makna Hidup: Dari Istana ke Rakyat Jelata

Perjalanan Ki Ageng Suryomentaram Mencari Makna Hidup: Dari Istana ke Rakyat Jelata

Hidup sering kali menyeret manusia dalam pusaran ambisi dan kehampaan. Kekuasaan, kekayaan, dan status sosial menjelma fatamorgana yang menjanjikan kebahagiaan, tetapi justru semakin memperlebar jurang kehampaan batin. Ada orang yang menghabiskan seluruh hidupnya mengejar kemewahan, namun tetap merasa hampa. Ada pula yang meninggalkan segalanya demi menemukan makna yang sejati. Di antara mereka, ada sosok Ki Ageng Suryomentaram, seorang pangeran yang memilih melepaskan gelar dan kedudukannya untuk menjadi manusia biasa.

Tetapi, mengapa seseorang yang lahir di lingkungan istana, dikelilingi kemewahan dan kekuasaan, justru memilih jalan yang berlawanan? Apakah kehidupan sederhana lebih mampu memberikan kebahagiaan dibandingkan gemerlap singgasana? Dan bagaimana perjalanan filosofis Ki Ageng Suryomentaram dapat kita maknai dalam kehidupan modern yang semakin materialistis dan kompetitif?

Benturan Konteks: Antara Takhta dan Kegelisahan Batin

Ki Ageng Suryomentaram, yang lahir sebagai BRM Kudiarmadji, adalah putra Sultan Hamengkubuwana VII dari Kesultanan Yogyakarta. Sebagai seorang pangeran, hidupnya dipenuhi dengan fasilitas dan penghormatan. Namun, di balik segala kemegahan itu, ia justru merasa gelisah. Kebahagiaan yang seharusnya melekat pada statusnya sebagai bangsawan, tidak ia rasakan. Sebagaimana pangeran Siddharta Gautama yang meninggalkan istana demi mencari pencerahan, Ki Ageng juga mengalami kegelisahan eksistensial yang membawanya keluar dari tembok istana. Ia memilih menjadi rakyat jelata, hidup di antara mereka, menyelami kehidupan kaum kecil yang jauh dari kemewahan, tetapi justru menemukan ketulusan dan kebahagiaan yang lebih nyata.

Dalam dunia filsafat, pergulatan seperti ini dikenal sebagai konflik antara materialisme dan esensialisme—di mana seseorang dihadapkan pada pilihan antara kesenangan duniawi dan pencarian makna yang lebih dalam. Pemikir eksistensialis seperti Søren Kierkegaard menyebut kondisi ini sebagai “lompatan iman”, ketika seseorang menyadari absurditas dunia dan memilih jalan spiritualitas atau makna yang lebih tinggi. Sementara dalam pemikiran Islam, hal ini sejalan dengan konsep zuhud, di mana seseorang melepaskan keterikatan duniawi demi kebahagiaan batin.

Konsep “Kawruh Jiwa”: Jalan Menuju Kebahagiaan Sejati

Dari perjalanan batinnya, Ki Ageng Suryomentaram merumuskan konsep “Kawruh Jiwa”, sebuah ajaran yang menekankan pemahaman mendalam terhadap diri sendiri. Bagi Ki Ageng, sumber penderitaan manusia bukan berasal dari kemiskinan atau kesulitan hidup, melainkan dari rasa kepemilikan dan keterikatan berlebihan terhadap dunia. Ia menegaskan bahwa kebahagiaan sejati muncul ketika seseorang memahami dan menerima dirinya sendiri, tanpa terbelenggu oleh keinginan dan ekspektasi dunia luar.

Baca juga:  Haibah Kiai Sahal Mahfudh

Ajaran ini sejalan dengan konsep “Ataraxia” dalam filsafat Stoikisme dan Epikureanisme, yang menekankan pentingnya ketenangan batin dengan melepaskan diri dari hal-hal yang berada di luar kendali manusia. Dalam tradisi Islam, pemikiran ini juga dekat dengan ajaran Ibn Arabi tentang fana’, yaitu kehancuran ego dan keterlepasan dari nafsu duniawi untuk mencapai kesadaran Ilahi.

Dalam kehidupan modern, ajaran ini menjadi semakin relevan. Di tengah arus konsumtivisme yang mendorong manusia untuk terus mengejar lebih banyak harta dan status, semakin banyak orang yang justru mengalami “burnout” dan kehilangan makna hidup. Fenomena ini dapat dilihat dalam Great Resignation, di mana banyak profesional memilih meninggalkan karier mapan demi mencari ketenangan dan kebebasan pribadi.

Perbandingan Pemikiran: Antara Timur dan Barat

Jika kita lihat dan bukan untuk membandingkan pemikiran Ki Ageng dengan para filsuf lain, kita menemukan banyak kesamaan mendasar. Misalnya, dalam filsafat Barat, Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dilempar ke dunia tanpa makna, dan tugasnya adalah menciptakan makna itu sendiri. Sementara bagi Rumi, makna hidup ditemukan dalam cinta dan keterhubungan dengan Tuhan. Ki Ageng, dalam versinya sendiri, menyatakan bahwa makna hidup bukanlah sesuatu yang harus dicari di luar diri, tetapi justru ditemukan dengan memahami siapa diri kita sebenarnya.

Di sisi lain, ajaran Ki Ageng juga dapat disejajarkan dengan konsep “wu wei” dalam Taoisme, yaitu filosofi menjalani hidup dengan keseimbangan dan tanpa paksaan. Sama seperti dalam Kawruh Jiwa, Taoisme mengajarkan bahwa semakin kita mengejar sesuatu dengan ambisi berlebihan, semakin kita menjauh dari kebahagiaan sejati.

Namun, perbedaan mencolok antara Ki Ageng dan para pemikir Barat seperti Nietzsche atau Camus adalah pada optimisme dan solusi yang ditawarkan. Nietzsche misalnya, melihat bahwa manusia harus melampaui dirinya sendiriuntuk menemukan makna, sedangkan Ki Ageng lebih menekankan pada penerimaan dan keseimbangan batin. Dalam hal ini, ajaran Ki Ageng lebih dekat dengan tradisi mistisisme Timur, yang mengutamakan kesederhanaan dan harmoni.

Baca juga:  Amien Rais Berpikir, Gus Dur Tertawa (Bagian 1)

Di era digital ini, manusia semakin terobsesi dengan pencitraan dan validasi sosial. Media sosial telah menjadi arena di mana orang berlomba-lomba menunjukkan kesuksesan dan kebahagiaan mereka. Ironisnya, di balik layar, banyak dari mereka yang justru merasa tertekan dan tidak bahagia. Ajaran Ki Ageng Suryomentaram menjadi semakin relevan sebagai pengingat bahwa kebahagiaan tidak datang dari pencapaian eksternal, melainkan dari pemahaman dan penerimaan diri sendiri. Banyak orang saat ini yang mulai meninggalkan gaya hidup serba ambisius dan memilih kesederhanaan sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan kapitalisme modern. Dalam konteks sosial, ajaran ini juga memiliki dampak besar. Jika diterapkan dalam sistem pendidikan dan kebijakan sosial, pemikiran Ki Ageng dapat mendorong pendekatan yang lebih humanis, di mana kebahagiaan dan kesejahteraan mental menjadi prioritas, bukan sekadar pencapaian materi.

Refleksi: Kondisi Bangsa Indonesia dalam Cahaya Ajaran Ki Ageng Suryomentaram

Perjalanan hidup Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan kita tentang pentingnya memahami diri sendiri dan melepaskan keterikatan berlebihan terhadap dunia. Jika kita melihat kondisi Indonesia saat ini, ajaran ini terasa semakin relevan. Bangsa kita tengah menghadapi berbagai tantangan sosial dan ekonomi yang membuat banyak orang semakin haus akan kesuksesan material, sering kali tanpa mempertimbangkan keseimbangan batin. Konsumerisme, individualisme, dan persaingan yang semakin ketat telah menciptakan masyarakat yang cenderung mengukur kebahagiaan berdasarkan pencapaian eksternal.

Di kota-kota besar, kita melihat bagaimana gaya hidup hedonistik semakin berkembang, dengan media sosial sebagai ajang pembuktian diri. Banyak orang merasa tertekan untuk terus tampil sukses, memiliki barang-barang mewah, atau menampilkan citra bahagia, meskipun di balik itu mereka justru mengalami kecemasan dan kehampaan. Fenomena ini mencerminkan betapa nilai-nilai materialistis telah menguasai cara berpikir sebagian besar masyarakat.

Baca juga:  Mengenang Abah Achmad Zuhdy, Kamus Berjalan Inspirasi Para Santri

Di sisi lain, ketimpangan sosial masih menjadi masalah yang nyata di Indonesia. Banyak masyarakat di pedesaan atau daerah terpencil yang hidup dalam kesederhanaan, tetapi justru lebih bahagia karena mereka tidak terbebani dengan tuntutan pencapaian duniawi. Hal ini mengingatkan kita pada keputusan Ki Ageng Suryomentaram yang memilih hidup di tengah rakyat jelata dan menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan.

Ajaran Ki Ageng juga dapat menjadi refleksi bagi para pemimpin bangsa. Dalam dunia politik, kita sering menyaksikan bagaimana kekuasaan dijadikan tujuan utama, bukan sebagai sarana untuk mengabdi kepada rakyat. Jika para pemimpin memahami konsep Kawruh Jiwa, mereka akan menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada jabatan atau kekuasaan, melainkan pada ketulusan dalam mengabdi dan berbagi kepada sesama.

Sebagai bangsa, kita perlu kembali kepada nilai-nilai keseimbangan dan kebijaksanaan yang diajarkan oleh Ki Ageng. Indonesia akan menjadi lebih kuat jika masyarakatnya mampu melihat kebahagiaan bukan hanya dari aspek materi, tetapi juga dari ketenangan batin, kepedulian sosial, dan pemahaman diri. Dengan demikian, kita dapat membangun negeri yang lebih harmonis, tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga memiliki masyarakat yang bahagia dan sejahtera secara batiniah.

Refleksi

Perjalanan Ki Ageng Suryomentaram adalah cerminan dari dilema manusia sepanjang zaman: apakah kita hidup untuk mengejar dunia, ataukah kita hidup untuk menemukan diri kita sendiri? Dalam keheningan dan kesederhanaan, ia menemukan kebebasan sejati yang tidak bisa dibeli dengan emas dan kekuasaan. Sebagai manusia modern, kita sering terjebak dalam ilusi bahwa kebahagiaan terletak pada hal-hal eksternal: jabatan, harta, popularitas. Namun, sebagaimana Ki Ageng telah tunjukkan, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus kita kejar. Ia selalu ada di dalam diri kita—menunggu untuk ditemukan.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kutipan yang terinspirasi dari ajaran beliau:

“Ketika kau berhenti mencari kebahagiaan di luar sana, kau akan menemukannya di dalam dirimu sendiri. Dan saat itu, dunia tak lagi bisa mengguncang ketenanganmu.”

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top