Sedang Membaca
Syekh Zamzami Amin Sebagai Penulis Sejarah Gerakan Tarekat
Dodo Widarda
Penulis Kolom

Dosen filsafat serta Direktur Iranian Corner di Fak. Ushuluddin UIN SGD Bandung.

Syekh Zamzami Amin Sebagai Penulis Sejarah Gerakan Tarekat

Bersama Kang Zam Dan Mui

Penulisan sejarah gerakan tarekat oleh seorang mursyid dalam posisinya sebagai ‘fa’il’ (subyek), tentu akan sangat berbeda kalau ditulis oleh orang luar dalam posisi tarekat sebagai ‘maf’ul’ (obyek) kajian semata. Ketika Syekh Zamzani Amin menulis tarekat, maka pembaca akan mendapatkan atmosfer “ruang dalam” tentang dinamika sejarah gerakan tarekat, plus sejumlah ajaran serta pesan-pesan yang hendak disampaikan terhadap khalayak pembaca. Terutama untuk murid-muridnya.

Saya menyematkan kata Syekh untuk beliau di dalam tulisan ini, bukan semata-mata karena sejumlah jabatan yang diembannya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Mu’allimin Mu’allimat babakan Ciwaringin Cirebon, sebagai Katib Syuriah PBNU, atau Katib Awal Idarah Aliyah Jam’iyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyah (JATMAN), dan lain-lain. Tetapi karena Syekh Zamzami Amin adalah mursyid di Tarekat Qodiriyyah wa Naqsyanbandiyyah (TQN) Al-Babakani yang geneologi spiritualnya dari jalur keluarga Syekh Tolhah bin Thalabuddin.

Di dalam tarekat, posisi seorang mursyid ini memiliki relasi dengan sebutan Syekh. Seorang Syekh mursyid dalam tarekat adalah asrâfu an-nâsi fî ath-tharîqah yang memiliki pengertian “orang yang paling tinggi martabatnya dalam suatu tarekat” (Alba, 2009:45). Fokus penulisan ini, bukan pada pembahasan posisi kemursyidan, namun lebih pada posisi Syekh Zamzami Amin sebagai seorang mursyid TQN Al-Babakani, yang telah menulis sejumlah buku. Dua karya yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah “Sejarah Pesantren Babakan Ciwaringin dan Perang Nasional Kedongdong 1802-1919” (2015) serta “Thoriqoh al-Babakani” (2020).

Syekh Zamzami Amin adalah seorang author, dan dalam posisi sebagai penulis, beliau memiliki authority seperti juga sejumlah mursyid pada khazanah Islam Nusantara yang telah menorehkan sejumlah karya seperti seperti Syekh Ahmad Khatib Sambas—seseorang yang telah menggabungkan teknik dzikir jahr Qodiriyyah serta khafi Naqsyabandiyyah—serta telah menulis Fath al-Ârifîn. Demikian juga Abah Anom dari TQN Suryalaya,yang telah menulis Miftah ash-Shudûr, juga Syekh Arsad al-Banjari yang menulis Kanz al-Ma’rifah yang sangat dekat dengan tradisi tarekat Sazaliyyah.

Baca juga:  KH. Bisri Syansuri, Pejuang Gender di Pesantren 

Subyek Berdaulat

Apa yang dilakukan oleh Syekh Zamzami Amin di dalam dua karyanya bukanlah sesuatu yang mudah serta sederhana karena berusaha mengubah sudut pandang—meminjam istilah yang dipakai Ahmad Baso—dikatakan sebagai upaya “changing the subject”, mengubah posisi subyek, juga untuk mengganti pokok dan posisi pembicaraan (Baso, 2006:7).

Pada karya pertama terkait sejarah Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin serta Perang Kedongdong, pembalikan posisi dari obyek menjadi subyek berdaulat, yang telah menjungkirbalikkan sudut pandang kaum imperialis lewat tulisan Van Der Kamp, terkait posisi para pejuang bangsa, yang dari sudut pandang kaum kolonialis sebagai pemberontak. Sedangkan pada “Thoriqoh al-Babakani”, buku ini memenuhi kebutuhan dari kelangkaan referensi yang ada sehingga menjadi horizon terbuka dari sumber “subyek” penulis kalangan tarekat sendiri.

Apalagi dalam posisi sebagai pemegang otoritas kemursyidan. Tulisan penting terkait tarekat selama ini dari Martin Van Bruinessen di dalam “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat” (1999) serta “Tarekat Naqsyabandiyyah di Indonesia” (1992), walaupun ditulis orientalis simpatik yang pada akhirnya menjadi seorang muslim sufi, otoritas sebagai penulis tetap ada pada antropolog Belanda itu. Pembaca kita dalam posisi konsumen produksi pengetahuan dari subyek peneliti asing.

Apa yang dilakukan oleh Syekh Zamzami Amin, bertitik tolak dari kesadaran sejarah untuk menulis rekam jejak perjuangan bangsa, yang akan memberi manfaat tidak hanya bagi generasi sekarang. Tapi juga untuk generasi anak cucu yang akan datang. Kesadaran sejarah ini, seperti ditulis oleh Soejatmoko “merupakan suatu orientasi intelektual, suatu sikap jiwa yang perlu untuk memahami secara tepat paham kepribadian nasional.

Kesadaran sejarah membimbing manusia mengenai diri sendiri sebagai bangsa, kepada self understanding of a nation, kepada sangkan paran suatu bangsa, kepada persoalan what we are, why we are” (Nurcahyo, Hidayati. 2012:22) Di dalam sebuah obrolan dengan penulis, aspek falsafi dari kesadaran sejarah itu muncul karena ungkapan Guru Besar Sejarah Universitas Pajajaran,serta penulis “Api Islam” ternama, Prof. Dr. Ahmad Mansyur Suryanegara untuk menuliskan perjuangan kalangan tarekat. “Nabi kan ditulis sejarahnya, Syekh Abdul Qâdir ada “Kitab Manaqib”-nya,”ungkap Prof. Mansyur yang menyentak kesadaran Syekh Zamzami Amin.

Baca juga:  Wibawa Kiai Bisri Syansuri

Bukan secara kebetulan, dua buku yang ditulis Syekh Zamzami—disamping sejumlah karyanya yang lain—berbicara tentang perjuangan kaum tarekat di dalam sejarah meneguhkan akar kebangsaan. Bagus Rangin, pigur sentral serta kharismatik dalam perlawanan Kedongdong adalah seorang ulama tarekat yang mendapatkan sanad dari seseorang dengan sebutan Rama Banten.

Konsep guru (mursyid) dan murid dalam gerakan perlawanan Bagus Rangin, dengan demikian, bisa ditelaah melalui ajaran tarekat yang dianutnya yang dipelajari dari Rama Banten dan ayahnya sendiri sebagai seorang kiai kharismatik, walaupun data yang diperoleh tidak memunculkan ajaran tarekat apa yang menjadi pegangan hidupnya. Apa Qodiriyah, Naqsyabandiyah, Sanusiah, ataukah apa? Tetapi titik tekannya bahwa sifat gerakan tarekat ini, lebih ideal untuk melakukan gerakan masif (Amin, 2014:173).

Perang Kedongdong dengan skala kerugian besar yang diderita kaum kolonial, telah ditulis dengan gaya naratif deskriptif oleh seorang prajurit Belanda, bernama Van Der Kemp serta telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Pemberontakan Cirebon Tahun 1818”, diterbitkan Yayasan Idayu Jakarta tahun 1979. Catatan Van Der Kemp ini menjadi sumber primer Syekh Zamzami Amin untuk melakukan pembalikan narasi yang sangat berbeda dengan sudut pandang kalangan imperialis terkait perlawanan rakyat Cirebon, Majalengka serta Indramayu yang berpuncak pada tahun 1818 itu.

Terkait dengan buku “Thoriqot al-Babakani”, apa yang ditulis Syekh Zamzami, adalah juga dalam kerangka “Changing the Subject” terhadap bias kepentingan serta ideologi sejumlah peneliti Barat yang menganggap tarekat hanyalah suplemen dalam Islam. Pada umumnya, seperti ditulis Zamakhsyari Dhofier, para sarjana Barat yang mempelajari Islam sependapat, bahwa tarekat merupakan salah satu unsur “tambahan” yang dianggapnya tidak memiliki sumber atau dasar yang kuat di dalam Al-Qur’an dan Hadits (Dhofier, 1994:137).

Baca juga:  Kisah Gus Dur bersama Seorang Wali dari Aceh

Di dalam pesan dari keseluruhan buku ini, dengan merujuk pada pandangan ulama-ulama tarekat, Syekh Zamzami menunjukkan otoritas sebagai fa’il/subyek berdaulat yang menulis bahwa tarekat dengan kekayaan sejarah, beragam ritual serta tradisinya, berbasis pada dua sumber pokok Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Pada posisi Syekh Zamzami sebagai Mursyid, apa yang ditulisnya tidak sebagaimana oleh para peneliti—baik lokal maupun asing—yang menulis obyek tarekat pada batas “tasawuf ‘ilmi” untuk kebutuhan akademis ilmiah semata. Kalau untuk kebutuhan akademis, seorang orientalis saja, bisa menjadi juru bicara tarekat yang sangkil serta mumpuni. Apa yang ditulisnya masuk “tasawuf ‘amali” yang menjadi panduan amaliah murid-murid rohani TQN Al-Babakani, dalam ikhtiar untuk mencapai “maqamat” atau “kedudukan rohani” yang dekat dengan Allah Swt.[]

 

Rujukan

Alba, Cecep, (2009) Cahaya Tasawuf, Bandung, CV Wahana Karya Grafika.

Amin, Zamzami, (2015) Sejarah Pesantren Babakan Ciwaringin dan Perang Nasional Kedongdong 1802-1919, Bandung, Humaniora.

______________, (2020) Thoriqot al-Babakani, Bandung, Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama Jawa Barat, 2020.

Baso, Ahmad, (2006) NU Studies, Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta, Penerbit Erlangga.

Dhofier, Zamakhsyari, (1994) Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES.

Kemp, Van Der, (1979) Pemberontakan Cirebon Tahun 1818, Jakarta, Yayasan Idayu, 1979.

Nurcahyo, Abraham & Hidayati, Nur (2012). Kesadaran Sejarah dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Monumen Jenderal Soedirman (Studi Kasus Di Desa Pakis Baru Kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan), Jurnal Sejarah Serta Pembelajarannya, Agastya, 2, http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/view/765/698, diakses, Sabtu, 13 Maret 2021, jam 11.40.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top