Sedang Membaca
Merayakan Keajaiban di Sekitar Kita
Benny Benke
Penulis Kolom

Jurnalis, penyair

Merayakan Keajaiban di Sekitar Kita

Whatsapp Image 2020 10 25 At 1.22.59 Pm

Apakah masih ada keajaiban hari ini. Ataukah keajaiban sebenarnya justru semakin akrab dalam peri kehidupan kita. Sebagaimana maut dan kematian yang menjadi tak terpisahkan dengan keseharian manusia. Apalagi di masa pagebluk seperti sekarang. Kematian makin akrab dan dekat.

Saya tidak begitu pintar, untuk tidak mengatakan terlalu bodoh, sebagai persona untuk dapat mengeja, apalagi membaca keajaiban, yang terserak di sekitar dan keseharian saya, dengan jitu, baik, dan laras.

Mungkin hati saya terlalu tumpul, atau keajaiban terlalu canggih untuk dimengerti oleh manusia biasa saja seperti saya. Yang banyak jumlahnya.

Meski sejatinya, saya telah berikhtiar untuk dapat memahami, bahwasanya terlalu banyak keajaiban di hidup ini. Yang sangat bisa jadi terlewatkan begitu saja dari pembacaan dan pemaknaan manusia semenjana seperti saya.

Karena saya sadar bukan orang  pandai. Tidak sebagaimana cerdik cendekia yang mendaku dirinya berilmu, dan karenanya tidak ada yang lebih mulia selain ilmu itu sendiri. Untuk kemudian menyebut keajaiban adalah peristiwa kebetulan belaka. Tidak ada yang istimewa. Banal.

Meski pada saat bersamaan, sudah banyak yang membalikkan pernyataan itu. Dengan mengatakan, mengingkari atau menihilkan keajaiban, c.q mukjizat, berarti sama saja dengan mengatakan bahwa Tuhan telah kehilangan kekuatan-Nya, atau Dia tidak terlibat lagi dengan ciptaan-Nya.

Saya tidak akan masuk ke wilayah dialektika yang nyaris tak berujung itu. Karena sepemahaman saya, mukjizat tidak akan pernah dapat dijelaskan secara ilmiah. Bahkan kekuatan alam saja tidak dapat memproduksinya .

Sebagaimana Wahyu Alquran dianggap oleh umat Islam sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad dan menjelma mukjizat sepanjang masa. Tidak seperti mukjizat nabi lain, yang hanya disaksikan di masa hidup nabi yang bersangkutan.

Kita amini dan maklumi. Muslim yang saleh meyakini sepenuh hati jika Al-Qur’an sebagai kitab suci, firman Tuhan, sekaligus keajaiban yang menakjubkan. Sehingga tidak mungkin terjadi secara alami, tanpa campur tangan Tuhan di sana. Via Nabi Muhammad, Al-Qur’an ada hingga sekarang dan sampai nanti.

Keajaiban Al-Qur’an adalah peristiwa yang tidak dapat dijelaskan oleh hukum alam atau ilmiah.Kisah mukjizat, seperti yang digambarkan dalam Talmud, sebagaimana diimani orang Yahudi, juga banyak sekali. Seperti saat pembebasan Bait Suci (Baitulmaqdis) di Yerusalem (Ūrsyalīm/‎Al-Quds) selama Pemberontakan Makabe.

Baca juga:  Dua Kisah dari Nabi Musa

Kala ditemukannya kendi minyak murni yang diprediksi hanya cukup untuk menyalakan lampu untuk satu hari. Yang terjadi malah berlangsung selama delapan hari .

Juga saat nabi Elia yang melakukan mukjizat dengan membangkitkan putra seorang janda yang meninggal. Dan berbagai keajaiban di luar nalar lainnya.

Ya, keajaiban sangat akrab dalam peri kehidupan orang Yahudi, yang hidupnya sebagaimana dikisahkah dalam sejarah; berdarah-darah. Sesak penderitaan. Katam air mata.

Sebagai bangsa pengembara yang bermigrasi dari satu negara ke negara lain, dari pengasingan satu ke pengasingan lainnya. Yang pernah menjadi budak di Mesir, menerima Taurat di Gunung Sinai. Bersama dengan Yosua dan Elia menyeberangi Sungai Yordan. Lalu memasuki Yerusalem bersama Daud, dan diasingkan bersama Zedekiah.

Melawan orang Romawi dan diusir dari Spanyol. Dibakar di Treblinka, memberontak di Warsawa, dan bermigrasi ke Tanah Yang Dijanjikan, kemudian bertahan dan berhimpun sebagai sebuah negara, karena faktor adanya “keajaiban”.

Sampai-sampai David Ben Gurion, Perdana Menteri pertama Israel, berkata, “Seorang Yahudi yang tidak percaya pada keajaiban bukanlah seorang realis.” Saking ia melihat ajaibnya bangsa Yahudi yang tak mati-mati meski dihajar kian kemari di setiap generasi.

Bahwa kemudian, via gerakan zionisme-nya orang Yahudi di seluruh dunia bergerak, dan berhimpun, lalu mendirikan negara Israel di wilayah negara Palestina. Dengan mengusir dan menghinakan manusia Palestina, sampai kini.

Biar keajaiban pula yang akan bekerja dengan kuasa-Nya sendiri. Dan pada akhirnya nanti giliran keajaiban akan berpihak kepada bangsa Palestina.

Ya, keajaiban adalah manifestasi bahwa ada kekuatan lebih besar ketimbang kekuatan manusia, dan Tuhan mutlak ada di sana. Tuhan dengan panggilan, sebutan dan nama apa saja. Yang tak terganggu gugat kehendak-Nya.

Mukjizat dalam definisi lebih lanjut diterangkan sebagai akibat atau peristiwa luar biasa di dunia fisik, yang melampaui semua kekuatan akal manusia, atau alam, yang diketahui dan dianggap berasal dari penyebab supernatural, yaitu Tuhan.

Sebagaimana umat kristiani sangat meyakini Yesus semasa bocah dipercaya mampu menciptakan burung dari lempung, sekaligus dapat membangkitkan orang mati. Di masa dewasanya, Yesus mampu mengubah air menjadi anggur (wine) juga berjalan di atas air.

Dalam riwayat lain dikisahkah, Nabi Musa memiliki dua mukjizat. Yaitu tangan yang bercahaya dan tongkatnya yang mampu berubah menjadi ular. Demikian halnya dengan Buddha Gautama yang mempunyai mukjizat dengan kemampuan penyembuhan yang ajaib, teleportasi, membuat duplikat dirinya, manipulasi elemen, dan berbagai fenomena supernatural lainnya .

Baca juga:  Mukjizat Nabi, Pohon Kurma Tak Berdaya

Dalam khazanah kitab suci Hindu, mukjizat yang berhubungan dengan Dewa Siwa diceritakan mampu menghidupkan kembali putranya yang dipenggal dengan kepala Gajah, yang disebut Dewa Ganesha.

Akhirnya, manusia mempercayai apapun yang ingin dipercayai, diyakini, dan diimaninya. Lakum dii nukum wa liya diin. Meski atas prinsip ini, orang-orang beriman (baca beragama) acap menjadi bahan olok-olok kaum ateis. Yang riang dan  gemar mengejek keajaiban.

Keimanan orang yang percaya pada kebesaran Tuhan, oleh kaum ateis dinilai sebagai delusi belaka. Karena dalam  pengertian kaum ateis, definisi keajaiban selalu merupakan peristiwa yang tidak biasa yang menyimpang dari pola  pikir yang mapan. Turunannya, orang hanya harus percaya. Tidak ada pilihan lain. Tidak ada ruang dialog. Dogmatis.

Padahal seharusnya, menurut mereka, tidak boleh ada keimanan yang  buta. Semua harus dilandasi ilmu pengetahuan dan akal. Di luar nalar tetap harus dipecahkan dan dicarikan jawabnya dengan bantuan ilmu pengetahuan.

Tidak ada yang tidak bisa dipecahkan dan diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah kunci. Di luar itu, klenik. Jika agama berseteru dengan ilmu pengetahuan, dahulukan ilmu pengetahuan. Demikian singkatnya.

Padahal, sebagaimana banyak dituliskan, agama menawarkan penjelasan tentang alasan keberadaan peradaban, panduan tentang bagaimana manusia harus menjalani hidupnya, dan klarifikasi tentang apa yang mendorong perilaku manusia, serta penjelasan tentang alam.

Singkatnya, agama bisa memberi kita pengetahuan yang sangat banyak. Beberapa orang bahkan sangat percaya, bahwa agama dapat menawarkan jawaban untuk hampir semua hal. Agama adalah satu-satunya “peta pengetahuan” yang harus dimiliki

Meski dalam bahasa pemikir Ateis seperti Baron d’Holbach (1772) mengatakan jika, “Semua anak terlahir sebagai ateis; (karena) mereka tidak tahu tentang Tuhan.” Kemudian diperkuat pendapat George H. Smith (1979) yang menegaskan, “Orang yang tidak mengenal teisme adalah seorang ateis karena dia tidak percaya pada tuhan”.

Atau menurut Freud, keyakinan beragama adalah pemenuhan keinginan yang tidak rasional. Freud ingin mengatakan, orang beragama irasional.

Baca juga:  Jejak Tasawuf (4): Masa Tasawuf Sunni dan Falsafi

Atas pemikiran ini, orang beragama sebenarnya telah memberikan jawabannya. Bahwasanya Tuhan terlalu Agung untuk dijangkau oleh kemampuan berpikir manusia, yang sangat terbatas. Bahkan oleh manusia yang paling jenius sekalipun.

Jika meminjam khazanah berpikir agama Buddha, diyakini,  bahwasanya ada, “Suatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, dan yang Mutlak”. Atau dalam bahasa Jawa acap dikatakan, ‘Tan keno kinoyo ngopo’ (tidak bisa digambarkan seperti apa).

Karena, saat Yang Mutlak coba dibayangkan dan dicitrakan lengkap dengan sifat-sifat-Nya, oleh manusia, pada saat itu pula, seketika lenyap kemutlakan-Nya. Karena ikhtiar pencitraan itu hanya ide manusia belaka. Tuhan adalah beyond.

Tuhan terlalu mulia dan besar untuk dijangkau oleh akal dan ilmu pengetahuan manusia yang terbatas. Bahkan oleh manusia adi, Übermensch atau Superman sekalipun.

Jadi, jika ada pertanyaan apakah keajaiban ada, dan terjadi saban hari,  bahkan sepanjang hari dalam keseharian manusia. Meski pada saat bersamaan kehidupan sesak dengan misteri, ganjil, lucu, absurd dan penuh penderitaan. Anda tahu jawabannya.

Karenanya para bijak bestari pernah menasihati, jika hidup kita dalam kesadaran, sangat dipercaya dengan mudah melihat keajaiban ada di mana-mana, dan dekat dengan keseharian kita.

Lalu bagaimana dengan keajaiban yang tidak kunjung tiba, padahal manusia mengharapkan sepenuh atma atas kehadirannnya, dalam hitungan segera?

Arkian, kita tidak seharusnya memahami segalanya, karena kita tidak akan pernah dapat memahami semuanya. Tapi kita tetap harus berdoa tentang segala hal, agar kita memiliki kedamaian,  karena  tugas kita  tuntas setelah berdoa dan berusaha, sisanya menyerahkan hasil kepada kuasa-Nya.

Karena yang terbaik menurut kita, kata para tetua, belum tentu baik untuk kita. Demikian sebaliknya, yang buruk menurut kita, belum tentu jelek untuk pencipta kita.

Intinya hanya kekuatan Tuhan yang mampu menghasilkan keajaiban. Tanggung jawab dan tugas manusia, sekali lagi, hanya berdoa, dan bekerja. Semampunya, sebaik-sebaiknya. Seikhlasnya.

Persoalan hasil bukan perkara kita. Karena Tuhan bekerja dengan cara dan mekanisme-Nya sendiri. Bukan  dengan cara dan pemahaman manusia. Terima saja. Penerimaan adalah bagian dari kehidupan. Kebahagiaan ada karena penerimaan, kata George Orwell. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top