Indonesia telat berdangdut. Kita terlambat berjoget. Dangdut perlahan masuk rumah-rumah, gedung konser, dan stadion. Bergerak ke pelbagai arah.
Dangdut terdengar dari radio menjadikan waktu terhindar dari keheningan. Di gedung bioskop, orang-orang menonton film dengan deretan lagu dangdut. Sekian film memang kental asmara tapi ada tokoh mengaku untuk berdakwah. Di depan panggung, dangdut itu ajakan menggerakkan tubuh dan berceloteh. Di halaman-halaman koran, majalah, dan tabloid, dangdut menjadi sumber gosip dan pengisahan Indonesia.
Pada suatu masa, dangdut berkuasa di televisi dengan lomba dan konser. Anugerah atau penghargaan pun diberikan demi kemonceran dangdut. Di hajatan-hajatan pernikahan dan khitanan, dangdut memberi hiburan untuk publik. Rezeki dari dangdut mengalir sampai jauh. Pujian dan cacian terus bersenggolan. Dangdut seperti tak mengenal epilog.
Di telinga orang asing, dangdut itu memikat. Di tatapan mata, dangdut menguak beragam cerita di Indonesia. Artikel-artikel dan disertasi digarap makin menjadikan dangdut itu penting sepanjang masa. Dangdut menjadi bacaan. Di rak atau lemari, kita melihat buku-buku bertema dangdut, menggenapi kliping dari koran dan majalah.
Pada 2012, terbit buku berjudul Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia garapan Andrew W Weintraub. Dangdut dalam derajat akademik. Kita masuk ke halaman-halaman melacak masa lalu dan babak-babak terpenting dalam perkembangan dangdut di Indonesia. Kita mungkin iri dangdut ditulis sering oleh intelektual-intelektual asing. Mereka terkena “sihir”, berbeda dengan kita sebagai penikmat dan terlena, berakibat lupa mengobrolkan serius dan membuat tulisan-tulisan kelak menjadi dokumentasi.
Andrew mengingatkan perkara-perkara penting bagi kita mau menghadapi tahun bakal berpolitik ramai: 2024. Ingatan dari masa Orde Baru: “Sejak 1970-an, partai-partai politik telah menggunakan dangdut untuk kampanye menggalang massa dengan tujuan mempromosikan kandidat dalam pemilu di tingkat nasional dan daerah. Namun, wacana tentang dangdut sebagai sebuah bentuk musik nasional diperkuat melalui maklumat-maklumat publik yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dan militer pada 1990-an. Dinyanyikan dalam bahasa nasional dan dimediasi di seantero Nusantara, dangdut menjadi dikenali sebagai musik Indonesia.”
Kalimat-kalimat ditulis melalui riset serius dan panjang. Kita di hadapan teks berdasarkan lacak data, suguhan argumentasi, dan permainan tafsir sering mengejutkan. Dangdut tak bisa diremehkan dalam sekian episode sejarah Indonesia, makin menguat dan tegak pada abad XXI. Pada situasi berbeda, cap nasional dianggap belum mencukupi, Sekian orang atau pihak berceloteh dangdut mendunia atau diharapkan “menginternasional”.
Di misi berbeda, dangdut ditulis dalam puisi, cerita pendek, dan novel. Kita memiliki daftar ratusan judul gubahan sastra untuk mengerti dangdut, dari masa ke masa. Dangdut sebagai tema bermunculan di jurnal-jurnal ilmiah dan diseminarkan memberi bobot pemaknaan besar bagi Indonesia. Dangdut tak pernah selesai diperkarakan dengan tulisan-tulisan atau omongan di ruang-ruang publik.
Di hadapan kita, buku berjudul Tarling Dangdut Diva Pantura (2022). Buku memuat puisi-puisi gubahan Kedung Darma Romansha sering mengisahkan dangdut. Kita membaca duka, marah, dendam, berahi, tabah, lelucon, keluhan, ketakjuban, dan lain-lain. Dangdut tetap sulit diceritakan utuh meski dengan ribuan puisi. Kedung belum bersumpah menulis seribu puisi “berdangdut” tapi mulai menghadirkan sekian puisi memungkinkan dangdut makin menguat dalam arus kesusastraan di Indonesia.
Di puisi berjudul “PDKT”, pembaca masuk dalam gelagat berdangdut di jalinan asmara. Kita membaca sambil berimajinasi pertumbuhan dangdut di Pantura (Pantai Utara Jawa). Kedung menampilkan tokoh-tokoh bersuara: “Kendangi aku terus kang,/ terus, terus, jangan berhenti/ sebab kita adalah dua yang satu/ tanpa kendang, tak ada goyangan.” Sekian diksi mengantarkan kita di kenikmatan dangdut dan tumpukan makna tak semua bisa tersingkap. Di situ, kita mendapat pembenaran dangdut: kendang. Dangdut itu sekian benda mencipta pelbagai suka dan duka.
Kita membaca puisi berjudul “Sumpah Biduan”. Puisi sengaja untuk mengajak para pembaca masuk dalam lakon hidup penuh risiko dan capaian. Si tokoh disebut biduan justru memberi kemungkinan-kemungkinan biografi: inilah sumpahku/ penyanyi dangdut yang dilahirkan dari mangsa ketiga: (1) segala cinta tertolak sejak musim retak di pintu rahimku/ hal-hal berkaitan dengan ikatan, hanya sebatas panggung/ lain dipikir belakang,/ (2) menolak segala bentuk rayuan, kecuali/ sifatnya non-permanen. Sekian isi sumpah masih disampaikan sambil mengenalkan kita dengan nasib tak pasti ditanggungkan para biduan. Mereka berhitung usia rezeki, dan ketenaran. Sumpah terpenting di situ menjelaskan dangdut dan keindonesiaan: “berpedoman pada sila ketiga Pancasila”. Kita mungkin menemukan sejenis propaganda bahwa dangdut itu Indonesia “banget”.
Andrew (2012) membahasakan secara berbeda tapi mengarah persatuan di Indonesia: “Pada 1990-an, di berbagai konser yang disponsori pemerintah, di media cetak populer dan pidato di televisi, dangdut digembar-gemborkan sebagai musik semua warga Indonesia.” Dangdut itu milik bersama memicu “persatuan” selera musik dan pesan-pesan. Dangdut membawa misi besar keindonesiaan. Dangdut mengajak persatuan.
Kita berlanjut membaca puisi berjudul “Rasmini”. Nasib orang-orang dalam dangdut jarang seperti saat dangdut di panggung atau disiarkan di televisi. Dangdut menjadi referensi bagi warga atau penikmat. Kedung menceritakan: hatimu dangdut musim panen/ basah di luar, kering di dalam// kamu gagalkan musim tanam/ tapi bikin janji di musim hajatan/ mulutmu semanis biduan/ tapi hatimu keranjang pakaian. Dangdut, sumber cerita berkaitan kemakmuran, kebahagiaan, kebersamaan, dan keindahan. Sumber dimengerti bersama tapi ujung atau hasil kadang mengecewakan.
Di situ, kita menemukan tiga perkara berkaitan: dangdut, panen, hajatan. Kita membuka majalah Tempo, 15 Juli 2012. Laporan panjang itu berjudul “Goyang Maut Pantai Utara”. Kini, kita membaca itu dokumentasi kemeriahan dangdut di Pantura. Lakon berbeda dari dangdut pernah dibesarkan dalam lomba-lomba diselenggarakan pelbagai pihak di televisi. Dangdut di situ masih bersinggungan dengan beragam masalah: sejak asmara sampai kekuasaan.
Keterangan terbaca: “Sepanjang dua dekade terakhir, tarling dangdut menjadi hiburan populer di kawasan pesisir utara Jawa Barat, terutama Cirebon dan Indramayu. Musik yang mengawinkan tarling, musik tradisional Cirebon, dengan dangdut ini juga telah identik sebagai pentas hiburan rakyat ketika musim panen tiba…” Dangdut berwaktu sesuai dengan tata cara hidup agraris. Dangdut dan panen itu pengertian termiliki untuk bersukacita.
Kedung lahir di Indramayu, mengerti dan mengalami beragam hal dalam arus tarling dangdut: dulu dan kini. Kedung menjadi pengisah “dekat” berbeda cara dengan riset-riset berbobot akademik. Di halaman “Lagu Pembuka”, kita makin mengerti ikhtiar dan maksud Kedung menggubah puisi-puisi berdangdut. Sekian ucapan terima kasih dan sapaan tampak “merangkum” pengalaman dan pengamatan dangdut. Kedung menulis: yang digoyang digoyang serr/ yuk, nyawe untuk malam yang sudah teler/ masa bodo kampanye janji manis/ kalau Nok Iti terus-terusan dibikin nangis.
Kita lekas paham pamrih Kedung mengajukan judul dengan persandingan “tarling dangdut”. Di majalah Tempo, ada petilang-petilan sejarah: “Tarling (gitar dan suling) berawal dari Desa Kepandean, Indramayu, Jawa Barat.” Konon, sejarah itu dimulai pada 1931. Keterangan lanjutan: “Nama tarling baru diresmikan oleh Ketua Badan Pemerintah Harian Drs Memed pada 17 Agustus 1962 di Arjawinangun, Cirebon.” Ada pengertian tambahan tarling: yen wis mlatar gage eling.
Khatam dengan buku persembahan Kedung, kita mungkin tergoda mendengar atau menonton tarling dangdut. Kita ingin mengenali para biduan dan situasi terbentuk akibat berdangdut. Buku itu menjadi juru bicara meski tak terlalu cerewet. Pada suatu masa, orang-orang membaca itu puisi dan dokumentasi. Begitu.
Judul : Tarling Dangdut Diva Pantura
Penulis : Kedung Darma Romansha
Penerbit : JBS dan Rumah Buku
Cetak : 2022
Tebal : vi + 78 halaman
ISBN : 978 623 7904 52 6