Ia baru saja pamitan dari kita dan dunia. Keberanian telah teruji. Kepasrahan mengisahkan tabah dan ikhlas. Orang-orang mengenang biografi Radhar Panca Dahana, sejak bocah-remaja. Sekian orang menulis obituari, tanda memiliki dan menghormati. Foto-foto menampilkan Radhar Panca Dahana beredar di koran dan media sosial, mengajak kita melihat sosok telah memberi segala dalam kerja-kerja kesenian dan keintelektualan di Indonesia, dari masa ke masa. Ia tak ingin kita bersedih, lembek, cengeng, ngambek, atau lungkrah. Kita mendingan menunaikan kerja-kerja menggagalkan pelbagai malas, jumud, bosan, macet, dan linglung. Kemauan dan kesadaran telah kita mengerti dari warisan-warisan Radhar Panca Dahana.
Di majalah Zaman edisi Januari 1980, tersaji halaman memuat puisi-puisi. Pada bagian atas, kita membaca puisi berjudul “Perjalanan I”. Di situ, nama penggubah adalah Rpd Reza Morta Vileni asal Jakarta. Kini, kita mengetahui nama itu sengaja digunakan saat remaja, sebelum ia menulis nama teringat publik: Radhar Panca Dahana. Dulu, ia memiliki nama samaran. Kita masih gampang menebak: Rpd singkatan Radhar Panca Dahana. Puisi digubah si remaja sudah berimajinasi hidup-mati. Puisi itu pendek. Kita membaca bisa berkepanjangan.
Kita membaca: Janganlah katakan lagi/ ketabuan atau pantangan/ atau ciptakan momok-momok menakutkan/ di benakku/ dalam perjalanan ini. Radhar Panca Dahana menulis larik-larik menolak atau menantang. “Janganlah” itu sudah peringatan keras. Ia sudah dalam situasi bakal mengerti dan mengalami. Babak remaja penuh gejolak, bergelimang kemauan dan larangang-larangan. Sikap diberikan sadar konsekuensi. Si remaja bertarung dalam kata mengandung hal-hal oleh sekian pihak dianggap “ketabuan” atau “pantangan”. Ia mau memasuki, meralat, mengubah, atau memusnahkan. Dua hal belum boleh diakui bila tanpa sangkalan atau pembenaran setelah argumentasi. Perhitungan hidup dimulai dengan “oposisi”.
Remaja menempuhi jalan. Orang-orang biasa mengatakan episode mencari. Ia tentu mau mencari dan menghilangkan. Penemuan dari mencari mungkin digenapkan penghilangan atas doktrin, monoton, dan kolot. Ia memilih berani hidup tapi berhak menampik dari “momok-momok” sengaja dibentuk berdasarkan oponi hidup. Hidup dengan “momok-momok” itu menghalangi, membatasi, menghentikan, mengurangi, dan menghancurkan. Penggubah puisi malah menghendaki kemuliaan, kebahagiaan, keindahan, kebaikan, kelonggaran, ketulusan, dan lain-lain. Hidup bukan album ketakutan. Sekali berani bersambung berani-berani.
Pada larik-larik akhir, kita membaca: Karena kutahu/ matiku/ datang setiap waktu. Keinsafan termiliki dalam kebenaran religius dan kodrat singgah di dunia. Si remaja rajin membaca buku-buku sastra, filsafat, sejarah, politik, agama, sains, dan lain-lain sampai pengertian sederhana: kematian. Pada hidup, ia bisa bergerak dengan pertimbangan koma, titik, atau tanda seru. Pada kematian, ia paham memang ketentuan. Kematian dalam urusan waktu batas atau akhir. Ia tak perlu menantikan dalam diksi “sebentar lagi” atau “masih lama.” Pembaca diminta mengerti tanpa ruwet tentang “setiap waktu.”
Puisi terbaca setelah penulis merasa kehilangan. Sejak sekian tahun lalu, penulis sering bertemu dan bercakap di Solo, Jogjakarta, Semarang, dan Jakarta. Radhar Panca Dahana pun kadang dolan ke Bilik Literasi (Solo), tempat penulis hidup bersama ribuan buku, majalah, dan koran. Kita biasa mengobrolkan sastra, teater, Jawa, dan beragam hal dengan gairah hidup, tak melupa ada gairah mati. Pada suatu masa, orang-orang mengenali Radhar Panca Dahana melalui buku-buku puisi terbitan Gramedia Pustaka Utama dan Bentang: Lalu Waktu, Lalu Batu, Lalukau, Laluaku, dan Manusia Istana. Kita memerlukan membaca lagi puisi-puisi masa remaja, menemu gelagat atas hidup-mati dan tumpuan-tumpuan religius saat mengungkap beragam hal. Penghormatan mungkin dengan melacak dan mengumpulkan puisi-puisi bertebaran di pelbagai majalah dan koran masa lalu: terbit untuk mengerti dan mengenali biografi religius dalam babak-babak menanggungkan sakit dan penciptaan keberanian, dari masa ke masa. Begitu.