Orang puasa mungkin berpihak ke tidur. Pagi sampai sore, ia mungkin bingung untuk menikmati peristiwa. Menonton televisi justru membikin mual. Duduk melamun di serambi seharian, tetangga bakal bisik-bisik mengenai krisis kewarasan.
Di kamar, memutar lagu-lagu Metallica tentu mengganggu ketenangan orang beribadah dengan tidur atau mengaji kitab suci. Radio hidup, putar-putar gelombang selalu menemukan siaran lagu-lagu hampa makna. Hari-hari berpuasa kadang membingungkan dalam urusan mencari hiburan dan mendapat renungan.
Ingatan bergerak jauh ke belakang saat tetangga memutar lagu-lagu dangdut koplo, terdengar samar-samar. Ingatan berjalan lambat gara-gara lapar. Sampailah ke tokoh memberi warisan lagu terkenang sepanjang masa: Boneka dari India. Tokoh itu bernama Ellya Khadam.
Pada masa 1950-an, ia menghibur dan memberi “kiblat” perkembangan musik sebelum muncul dangdut. Konon, ia kedanan India. Ia menonton film dan menikmati lagu-lagu India, tak tergoda industri musik-hiburan dari Amerika, Eropa, atau Tiongkok. Biduan itu telah menetapkan bermusik dengan acuan India.
Dinikmatilah lagu berjudul Termenung saat siang panas-sumuk. Lagu mengingatkan Ellya Khadam dan Ida Laila. Duduk di dekat jendela, mendengarkan lirik sendu: Dalam aku termenung/ hatiku selalu teringat padamu/ hai, kekasihku/ Tak dapat kulupakan/ meskipun kau jauh/ Bilakah engkau datang/ hai, kekasihku…. Dalam aku termenung/ hidupku tersiksa. Dalam aku termenung/ hatiku selalu teringat padamu….
Duh, lagu mengguncang perasaan, mengguncang “iman” saat berpuasa. Kita harus serius dengan puasa, tak perlu sedu-sedan memikirkan kekasih berada di tempat jauh. Ah, kita mesti termenung demi kebaikan di dunia dan akhirat, bukan asmara cap gombal amoh. Ellya Khadam menjebak kita di kesedihan, menjauhkan kita dari joget menggairahkan. Lapar mendapat tambahan lara asmara. Puasa mungkin berkurang pahala.
Di Tempo, 12 Juni 1976, tiga halaman mengenai Ellya Khadam. Pembuka: “Tubuhnya montok, seperti kebanyakan bintang film India. Kata orang Jakarta: bahenol. Tinggi sekitar 165 cm. Meski usianya sudah 43 tahun, ukuran badannya tidak mengurangi kepandaiannya berjoget. Di panggung begitu menggamit pengeras suara, begitu ia bergoyang.” Si wartawan mungkin minum es teh lima gelas sebelum berkunjung ke rumah Ellya Khadam. Kalimat-kalimat itu lucu membikin pembaca terkencing-kencing.
Kita sudahi omong kosong dan imajinasi-imajinasi tak keruan. Serius! Ellya Khadam mengajari kita tentang kritik. Ellya Khadam berkomentar: “Saya tidak menyebut haram. Bagaimana pun, dunia panggung yang diisi dengan pakaian dan tingkah artis yang bisa merangsang, lebih banyak buruknya daripada baiknya.” Industri musik dan para artis mendapat kritik dari artis kondang. Ia pun memberi kritik diri. Pendapat mengejutkan: “Ucapan assalamu’alaikum itu memang baik. Tapi kalau sesudah itu lantas kita berjoget, itu tidak kena. Lebih-lebih kalau sebelum nyanyi kita juga memperkenalkan diri sebagai muslim. Muslim atau tidak, itu penilaian Tuhan. Kita tidak perlu mengaku-aku begitu di muka orang banyak. Untuk dakwah?
Tidak bisa. Tempat dakwah bukan di panggung. Yang tepat di majelis.” Wah, ia mengarahkan kritik ke Rhoma Irama. Kritik dari merenung. Ia merenungi musik dan agama, tak lagi asmara.
Ellya Khadam memasuki sejarah untuk jutaan pasang telinga melalui piringan hitam pada 1957. Tahun demi tahun berlalu, ia terus menghasilkan album. Kini, kita ingin memilih lagu-lagu Ellya Khadam untuk mengalami puasa di situasi memerlukan “tawakalisme”. Kita mungkin ingin “terjatuh” di imajinasi asmara sambil menanti waktu berbuka ketimbang murung di depan televisi saat juru bicara itu memberi laporan penanggulangan wabah. Begitu.