Sejak mengalami hukuman pembuangan pada masa 1930-an, Soekarno sudah berpikiran tentang masjid sebagai pusat pengisahan Islam di Indonesia. Cita-cita sempat tertunda, menunggu Indonesia merdeka dulu. Soekarno serius mempelajari Islam saat menjalani hukuman di Endeh (Flores). Pemikiran-pemikiran Islam dipelajari dari buku-buku dan korespondensi dengan A Hassan (Bandung). Soekarno mulai berharapan bakal mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan simbol kemuliaan bangsa. Masjid itu mesti megah dan indah!
Pada 1955, terbit buku berjudul Sedjarah Masdjid susunan Aboebakar. Soekarno berkenan menulis pengantar menggunakan tulisan tangan, sehalaman. Soekarno menulis: “Mesdjid adalah tempat sutji. Djagalah supaja segala perbuatan dan tingkah-laku, segala perkataan dan uraian didalam mesdjid bersifat sutji pula.”
Cita-cita membangun masjid semakin berkobar. Penerbitan buku 624 halaman itu menguatkan ambisi Soekarno. Di akhir pengantar, kalimat-kalimat mengandung pengharapan: “Kapan Indonesia mempunjai mesdjid-mesdjid jang hebat, jang sedikitnja sama dengan mesdjid-mesdjid jang terlukis dalam kitab ini, bila mungkin malahan lebih hebat?”
Soekarno optimis bahwa pembangunan Masjid Istiqlal bakal lekas terlaksana. Cita-cita mulai mendapatkan terang.
Semula, orang-orang mengenali Soekarno adalah pemilik obsesi bangunan-bangunan fantastis: gedung, monumen, hotel, stadion, dan patung.
Di Jakarta, Soekarno memang rajin mengisahkan Indonesia melalui bangunan-bangunan bercorak nasionalisme, modernisme, dan revolusioner. Soekarno juga sangat menginginkan Indonesia memiliki masjid sebagai ekspresi religius dan “kebanggaan nasional”.
Ikhtiar itu tak gampang terlaksana. Soekarno mendapat sokongan dan protes dengan pelbagai argumentasi. Soekarno tetap berambisi membangun masjid, tak meragu atau mundur.
Pada 3 September 1960, Soekarno memberi amanat dalam upacara pembukaan Masjid Baiturrahim di Istana Merdeka, Jakarta. Acara itu mengandung pesan religius dan politis. pembangunan masjid di Istana Merdeka sejenis ikhtiar mencipta sejarah baru, “mengganggu” ingatan sejarah kolonialisme. Masjid itu “awal zaman baru” meski belum dilengkapi pendirian menara. Soekarno berkata:
“Satu zaman jang lama tertutup, satu zaman jang baru terbuka. Satu zaman jang lama, tatkala rumah jang berada di sana itu (Istana Negara) jang dulu bernama Het Paleis van Gouverneur General van Nederlands Indie telah berakhir diganti oleh Istana Negara, di zaman jang di dalam peristanaan negara negara boleh dikatakan tidak dihubungkan langsung dengan kehidupan rohani rakjat.”
Pendirian masjid dianggap ekspresi rohani, menampik pemaknaan secara mutlak warisan narasi kolonial beraroma politik penindasan dan keserakahan. Masjid Baiturrahim mengandung hakikat “suatu permulaan daripada satu zaman, zaman baru”.
Soekarno terus mengimpikan masjid megah bakal bercerita Indonesia adalah sebagai negeri mulia, berpenduduk jutaan penduduk beragama Islam. Kesadaran sejarah memunculkan kemauan memajukan Islam, mengajak umat Islam mengekspresikan religiositas dan nasionalisme bersimbol masjid.
Keberadaan masjid di Indonesia sudah ada sejak ratusan tahun silam. Indonesia di alam kemerdekaan semakin menambahi jumlah masjid, berkaitan peningkatan penduduk dan pemenuhan kehendak ketersediaan tempat ibadah. Masjid sebagai ekspresi agama dan nasionalisme mewujud sebagai Masjid Sjuhada di Jogjakarta.
Aboebakar (1955) menerangkan bahwa pendirian Masjid Sjuhada mengandung maksud “memperingati pahlawan jang telah gugur dalam memperdjuangkan kemerdekaan bangsa dan mempertahankan kebenaran dan keadilan.” Pada 23 September 1950, peletakan batu pertama dilakukan Sultan Hamengku Buwono IX. Soekarno memberi amanat tertulis, berisi seruan:
“… bukan besar ketjilnja mesdjidlah jang menentukan roman muka kita dihadapan Tuhan, tetapi isi djiwa kitalah jang menentukan roman muka kita itu.”
Keberhasilan pembangunan Masjid Sjuhada disusul pelaksanaan membangun Masjid Istiqlal. Pembentukan panitia dan Jajasan Masdjid Istiqlal” disahkan pada 7 Desember 1954. Soekarno dan panitia bekerja keras demi perwujudan Masjid Istiqlal.
Pada 22 Februari 1955, panitia mengumumkan pada publik agar berpartisipasi dalam mengajukan rancangan bangunan masjid. Soekarno berlaku sebagai juri. Puluhan gambar diajukan untuk dipilih. Soekarno semakin optimis.
Soekarno menginginkan Masjid Istiqlal adalah “suatu masdjid jang akan berdiri dengan penuh kemegahan dan kebesaran bukan sadja untuk puluhan tahun, tetapi untuk berabad-abad lamanja, suatu masdjid jang daripadanja akan memantjar tjahaja kebesaran Tuhan, masdjid tempat ummat mensudjukan mukanja untuk memudji Jang Maha Besar.”
Penguatan ambisi membangun Masjid Istiqlal semakin dipengaruhi kesan-kesan Soekarno saat mengunjungi pelbagai negara. Di Istanbul, Turki, Soekarno takjub melihat masjid-masjid indah warisan masa silam.
Di Lahore, Pakistan, mata Soekarno rajin memandangi masjid-masjid. Soekarno kagum dan iri. Di New Delhi, India, Soekarno diajak Nehru mengunjugi sekian masjid megah. Soekarno semakin terkesima.
Soekarno terus berdoa agar di Indonesia ada masjid terbesar, terindah, terhebat ketimbang masjid-masjid di pelbagai negara. Masjid itu mesti dibangun menggunakan beton. Soekarno memang ambisius! Masjid Istiqlal ingin dibangun berbeda dari masjid-masjid lawas di Indonesia.
Soekarno (18 Juli 1966) berkata:
“Saja tidak berpikir dalam istilah kaju dan genteng. Saja berpikir dalam istilah beton, di dalam istilah batu pualam, marmer di dalam istilah brons. Brons itu perunggu, buat membikin pintu-pintu. Saja tidak bertjita-tjitakan membuat pintu-pintunja terbuat dari kaju.”
Masjid ada di zaman beton, tak lagi seperti berwujud masjid-masjid bersejarah di Jawa. Beton diharapkan membuat Masjid Istiqlal bisa berdiri dan digunakan selama ratusan tahun. Masjid Istiqlal dibangun selama bertahun-tahun dengan ongkos besar. Soekarno menginginkan pembangunan bisa selesai agar:
“kita bisa mendjalankan ibadah di situ dengan tjara semegah-megahnja, sehebat-hebatnja. Dan, sehingga bangsa kita pun naik setinggi-tingginja di dalam pandangan dunia ini.”
Kita semakin mengerti bahwa kesejarahan Masjid Istiqlal memuat pengertian-pengertian agama dan nasionalisme bercap “kebanggaan nasional”. Masjid itu berhasil dibangun dengan pelbagai halangan dan capaian. Puluhan tahun berlalu dari cita-cita dan seruan Soekarno. Sekarang, umat Islam terus berdatangan ke Masjid Istiqlal untuk beribadah dan memberi makna tak usai. Begitu.