Sedang Membaca
Mengenang Tauhid, Film Haji yang Terlupakan (1/2)
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Mengenang Tauhid, Film Haji yang Terlupakan (1/2)

“Itu dia!” teriak Bung Karno dalam bahasa Belanda. Presiden pertama Republik Indonesia itu, menyetujui usul dari Asrul Sani.

Saat itu, Asrul bersama Djamaludin Malik, Misbach Yusa Biran, dan beberapa yang lain memohon restu pada presiden. Mereka atas nama Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama hendak membuat film religius yang mengangkat tema tentang haji.

Akan tetapi, Bung Karno tak langsung menyetujuinya. Ia mengajukan syarat film tersebut harus memiliki kualitas yang baik. “Beliau tidak mau film agama itu kaku penuh dakwah dan doktriner. Beliau menginginkan agar film itu berisi perenungan pencarian,” kenang Misbach atas syarat yang diajukan oleh Bung Karno sebagaimana ditulisnya, “Asrul dalam Film” dalam “Asrul Sani: 70 tahun” (Pustaka Jaya: 1997).

Untuk mengkristalisasi keinginan Bung Karno itu, Asrul mengajukan satu contoh. Yakni, buku berjudul “Road to Mecca”. Sebuah buku yang berkisah tentang perjalanan spritual seorang mualaf yang menunaikan ibadah haji. Kisah tersebut diangkat dari kisah nyata penulisnya sendiri, Leopold Weiss. Ia seorang Yahudi yang masuk Islam dan mengganti nama menjadi Muhammad Asad.

Dari persetujuan sang presiden, film itu pun dipersiapkan. Namun, bukan soal mudah untuk mewujudkan sebuah film dengan ekspetasi yang sangat tinggi. Asrul yang ditunjuk sebagai sutradara, cukup kesulitan untuk menulis skenarionya. Ia berulang kali merumuskan alur ceritanya. Namun tak kunjung kelar. Untuk menyelesaikannya, Asrul mengajak Misbach sebagai sparring partner guna memperdebatkan gagasan-gagasannya tentang film tersebut.

“Skenario itu ditulis seluruhnya di atas kapal dan selama prosesi haji,” aku Misbch sebagaimana diungkapkan dalam wawancara dengan Henry Chambert-Loir (Naik Haji di Masa Silam, 2013).

Baca juga:  Melihat Indonesia Melalui Seni

Di atas kapal tua Ambulambo milik PT. Arafat itu, Asrul mampu menyelesaikannya. Menurut Misbach dalam “Kenang-Kenangan Orang Bandel; Naik Haji Tahun 1964”, skenario tersebut Asrul terinspirasi dari Dokter Bambang.

Seorang dokter yang berasal dari Magelang dan bekerja dalam perjalanan haji dengan tujuan mengumpulkan uang untuk mengganti blok mesin mobilnya dan sama sekali tak berminat menunaikan ibadah haji. Meski pada akhirnya ia melakukannya juga. Selain itu, cerita film tersebut juga terinspirasi dari pengalaman spritual Asrul sendiri ketika menunaikan haji setahun sebelumnya. (Baca tulisan menarik: Orang Desa Naik Haji)

Dengan spontanitas skenario yang disusun, film tersebut pun digarap hingga tuntas. Djamaludin Malik dan Usmar Ismail bertindak sebagai produser film. Asrul, selain sebagai sutradara, juga menjadi pemain. Sedangkan Misbach menjadi asisten sutradara.

Film tersebut, diberi judul Tauhid. Pemeran utamanya antara lain Ismed M. Noor yang memerankan seorang pilot bernama Mayor Udara Mursyid, Nurbani Jusuf yang menjadi seorang guru agama muda dan M.E. Zainuddin yang menjadi seorang pengarang. Sementara itu, yang menjadi seorang dokter adalah Aedy Moward. Di film tersebut ia berperan sebagai Dokter Halim.

Film besutan sineas kelahiran Sumatera Barat, 1927 itu, berhasil diproduksi. Bahkan, sempat diputar di bioskop. Sayangnya, situasi politik pada saat film tersebut beredar (1965) sedang bergejolak. PKI melakukan kudeta. Keamanan turun drastis. Dunia perfilman pun lesu. (Baca tulisan menarik: NU-PKI dalam Konflik Agraria)

“Sayang sekali Tauhid beredar pada masa yang paling pelik, sekitar situasi kacau akibat tindakan makar PKI, sehingga tidak banyak dibicarakan orang ketika membicarakan sejarah perkembangan film Indonesia,” tulis Misbach di artikelnya, Asrul dalam Film.

Film yang digadang oleh Bung Karno bakal monemuntal itu, semakin parah dengan hilangnya copy film tersebut. Kondisi penyimpanan yang buruk di Sinematek membuat film tersebut tak lagi ditemukan. Begitu juga dengan arsip skenario juga tak karuan rimbanya. Tauhid, film haji pertama itu pun, makin terlupakan. Hanya judul yang tersisa dan tak lagi bisa dinikmati.

Baca juga:  40 Hari Mbah Moen: Doa Rupa

Saat ini, yang tersisa dari film tersebut, hanyalah sinopsis pendek yang ditulis oleh Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2007 (Nalar, 2007) sebagai berikut:

“Dalam rombongan haji yang hendak ke Mekkah terdapat Mayor Udara Mursyid (Ismed M. Noor), guru agama muda (Nurbani Jusuf), dan seorang pengarang (M.E. Zainuddin). Dalam perjalanan mereka berkenalan dengan Halim (Aedy Moward), dokter kapal, yang sudah sering bertugas dalam perjalanan ke Tanah Suci, tapi tak tergetar untuk ikut ibadah haji. Niat film ini memang dakwah dan penerangan tentang rukun kelima Islam itu.”

Selain dari satu paragraf pendek tersebut, Tauhid juga diabadikan oleh KH. Saifuddin Zuhri, salah seorang menteri agama di era Soekarno. Dalam Authorized KH. Saifuddin Zuhri: Berangkat dari Pesantren (LKiS: 2013), ia mengenang dialog dalam film tersebut. (Baca tulisan menarik: Gus Dur di Buku Kiai Saifuddin Zuhri)

“Saya pernah mendengar bahwa orang yang buat pertama kali melihat ka’bah, ia akan mencucurkan air mata karena terharu dan bersyukur,” kata dokter haji (Aedy Moward). “Yang menggoda dalam pikiran saya, bagaimana nanti kalau saya melihat ka’bah buat pertama kali tetapi saya tidak terharu, tidak mencucurkan air mata?

Keraguan itu pun dijawab oleh seorang mukiman dari Indonesia yang diperankan oleh Asrul sendiri:

“Saudara, hati manusia itu tidak dibuat dari batu. Marilah kita tanamkan niat yang ikhlas dalam hati dan lihat bagaimana nanti. Semoga kita mendapat petunjuk!”

Kiai Saifuddin mengenang film tersebut dalam autobiografinya tak sekadar sebagai penikmat film. Tapi, ia memiliki kontribusi pada proses terwujudnya film itu sendiri. Kala itu, ia menjabat sebagai seorang menteri agama. Ia melihat adanya propaganda yang cukup masif dari PKI atas sikap atheisme dan anti agamanya.

Baca juga:  Relasi Islam dengan Kebudayaan

Melihat hal demikian, Saifuddin hendak melawannya. Namun, ia harus berhati-hati. PKI yang selalu berlindung di balik tabir presiden, jika diserang secara serampangan, tidak hanya mengenai PKI, tapi juga berimbas pada Soekarno sendiri. Atas pemikiran demikian, ia pun mengusung perlawanan kebudayaan atas propaganda PKI itu.

Shooting di sebuah rumah di Makkah (Repro Naik Haji di Masa Silam)

Pada 1963, Kementerian Agama dan Kementerian Penerangan pada masa itu, patungan untuk membuat film dakwah secara kebudayaan. “Film itu harus merupakan pendekatan manusiawi dalam bentuk visual dan dialog yang mudah dicerna masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Aku terpengaruh gubahan ahli-ahli kejiwaan, seperti Leo Tolstoi dalam melakukan pendekatan manusiawi. Oleh sebab itu, pilihanku jatuh kepada Drs (seharusnya Drh) Asrul Sani. Ternyata gagasanku didukung oleh Jamaluddin Malik dan Usmar Ismail,” tulis Saifuddin mengenang Tauhid. (Baca tulisan menarik: Lesbumi…)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top