Hijrahnya Nabi Muhammad ke Kota Yastrib atau Madinah bukanlah sekadar perpindahan jasmaniyah. Atau sekadar mencari suaka dari kekejaman kafir Quraisy. Namun, ada visi yang lebih dari itu semua. Perpindahan Rasulullah dari Mekah ke Madinah mengandung makna upaya untuk membangun peradaban.
Yastrib sebagaimana digambarkan oleh Shafiyur Rahman al-Mubarak Furi dalam Sejarah Al-Madinah Al-Munawarah (2014) merupakan daerah yang dihuni oleh sejumlah suku dan pemeluk agama yang berbeda. Ada kaum Amalik yang merupakan penghuni generasi awal yang berasal dari keturunan Nabi Nuh. Ada pula suku Aus dan Khazraj yang merupakan keturunan dari Bani Qathan di Yaman. Mereka pindah ke Yastrib pasca jebolnya bendungan Ma’arib. Serta sejumlah orang-orang Yahudi yang berstatus sebagai pelarian karena mendapatkan penyiksaan dari tempat asalnya, baik di Palestina maupun di Roma. Orang-orang Yahudi yang tinggal di sana terdiri dari Bani Quraizah, Bani Nazhir dan Bani Qainuqa.
Masing-masing kelompok itu, saling memperjuangkan eksistensinya di Yastrib. Fanatisme kesukuan sangat kuat. Hubungan darah antar sesama kelompok menjadi penyangga kekuatan kelompoknya. Dari sanalah kemudian timbul persaingan dan konflik yang berkepanjangan. Seperti halnya perseteruan antara Suku Aus dan Khazraj yang merupakan suku terbesar di sana. Hingga menjelang Nabi Muhammad berhijrah, kedua suku ini masih terlibat peperangan. Perang terakhir yang cukup besar adalah perang Bu’ats yang terjadi lima tahun sebelum peristiwa hijrah.
Kondisi sosial yang terpecah belah di Yatrib itu, berangsur-angsur membaik tatkala Nabi Muhammad tiba di sana. Persatuan mulai terjalin antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Hal ini ditandai dengan perjanjian yang dikenal dengan Piagam Madinah (Shahifah Madinah).
Piagam Madinah sebagaimana dicatat oleh Ibnu Ishaq dalam Sirah Nabawiyah (Terjemah, Akbar Media, 2012) merupakan perjanjian antara kaum Ansor, Muhajirin dan Yahudi yang tinggal di Madinah. Dalam perjanjian tersebut, ketiga kaum tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama.
“… Sesungguhnya orang-orang Yahudi Bani Auf satu umat bersama kaum Mukminin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Mukminin agama mereka. Budak-budak mereka dan jiwa mereka terlindungi, kecuali mereka yang berbuat aniaya dan dosa, sebab ia tidak menganiaya siapa-siapa selain diri dan keluarganya sendiri…… Sesungguhnya orang-orang Yahudi terkena kewajiban infaq dan kaum Muslimin juga terkena kewajiban infaq yang sama, serta mereka semua berkewajiban membela siapa saja yang memerangi orang-orang yang terikat dengan perjanjian ini….”
Dari perjanjian inilah, Yastrib berubah menjadi Madinah. Golam W. Choudhury dalam bukunya The Prophet Muhammad, His Life and Eternal Message (1993) menyebutkan kata al-madinah secara umum memang diartikan sebagai kota, tetapi sebetulnya al-madinah itu mengandung makna peradaban. Karena dalam bahasa Arab, peradaban itu adalah madaniyah atau tamaddun. Dalam bahasa Arab kata itu juga digunakan untuk padanan perkataan Inggris ”civil”. Misalnya dalam bahasa Inggris ada istilah ”Civil Act” (Undang-Undang Sipil), dalam bahasa Arabnya disebut ”Qanun Madani”. Kata “madaniyah/madinah” juga menjadi padanan dari perkataan Yunani “polish”, yang dari perkataan itu terambil perkataan politic, policy, police dan sebagainya. Yaitu, ide tentang suatu kehidupan yang teratur.
Setidaknya ada empat hal yang menandai pembangunan peradaban sosial di Madinah pasca hijrahnya Nabi Muhammad. Yang pertama, adalah pembangunan masjid. Hal ini menurut Profesor Muhammad Ali Ash-Shalibi dalam Sejarah Lengkap Rasulullah: Fikih dan Studi Analisa Komprehensif (2012) menyebut jika pembangunan masjid menjadi simbol universalitas Islam. Masjid tak hanya menjadi tempat ibadah, namun juga menjadi tempat bertemu Rasulullah bersama para sahabat. Masjid juga menjadi tempat menimba ilmu, sekaligus menjadi tempat singgah bagi orang-orang asing. Masjid juga berfungsi sebagai benteng untuk menghimpun kekuatan, menjadi rumah sakit, sekaligus menjadi kantor pos di masa itu. Singkat kata, di masjid itulah kehidupan masyarakat dikontrol penuh.
Dengan adanya simbolisasi masjid tersebut, kemudian mengarah pada tanda-tanda pemberadaban berikutnya. Yakni, pembangunan ukhuwah Islamiyah. Antara kaum Muhajirin dan Anshor dibangun rasa persaudaraan yang melebihi ikatan persaudaraan karena pertalian darah, sebab ikatannya berdasar iman. Muhammad Ali Ash-Shalibi (2012) mencatat bagaimana keeratan persaudaraan antara dua kaum tersebut. Pada masa awal-awal kedatangan kaum Muhajirin berlaku apa yang disebut dengan waris persaudaraan. Meskipun tak memiliki hubungan darah, kaum muhajirin berhak mendapatkan waris dari kaum Anshar kala itu. Hingga akhirnya turun Surat Al-Anfal ayat 75 yang menghapus aturan tersebut.
Penanda ketiga dari pembangunan peradaban tersebut adalah lahirnya kesepakatan untuk saling membantu antara kaum muslimin dengan kaum non-muslim yang kala itu adalah orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin lainnya. Sebagaimana disinggung di atas, kesepakatan tersebut dilandasi dengan sebuah perjanjian bersama yang dikenal dengan Piagam Madinah.
Dari Piagam Madinah inilah kemudian menjadi landasan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial yang dibangun oleh Rasulullah di tengah kemajemukan penduduknya. Yang mana kemudian dijadikan sebagai prototype oleh para ulama sebagai protype saat membincang bentuk negara dalam perspektif Islam.
Sebagaimana dicatat dalam sejarah dunia, dari Madinah inilah kemudian Islam menjelma menjadi kekuatan dunia. Setelah sebelumnya tak kurang selama 13 tahun menjadi pesakitan di Mekkah. Empat penanda itulah yang menjadikan hijrah Nabi Muhammad menjadi momentum penting untuk membangun peradaban.
Tentu saja, ini menjadi pelajaran penting bagi generasi dewasa ini yang gandrung dengan istilah hijrah. Jangan sampai kehijrahannya menyalahi Sunnah Nabi. Hijrah bukannya membangun persatuan guna bekal menyongsong peradaban baru, tapi justru terjebak pada sikap paling benar sendiri, eksklusif serta anti-persatuan dan persaudaraan dengan yang liyan. Naudzubillahi min dzalik! (*)