Sedang Membaca
Ngaji Suluk Wujil Sunan Bonang: Wong Jowo Kudu Njawani

Penulis adalah redaktur pelaksana Alif.id. Bisa disapa melalui akun twitter @autad.

Ngaji Suluk Wujil Sunan Bonang: Wong Jowo Kudu Njawani

Sunan Bonang

Sebelumnya, tulisan ini pernah penulis unggah di catatan Facebook. Ketika awal-awal kuliah di Jogja, penulis rajin mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan oleh Masjid Jendral Sudirman. Salah satunya ngaji Suluk Wujil (Dhandhang Gula) karya Sunan Bonang (Raden Maulana Makhdum Ibrahiem), bersama Ki Herman Sinung Janutama, Sleman-Yogyakarta. Suluk karya Sunan Bonang tersebut terdiri dari 11 larik. Berisikan tentang bagaimana agar kita bisa mengendalikan hawa nafsu, serta mampu mengatur jiwa kita agar selalu suci, tazkiyatunnafs.

Yang menarik pada suluk tersebut, adalah sampai saat ini belum ditemukannya larik/bait ke 10 (sadoso). Menurut Ki Herman, mungkin larik itu bagian dari antitesis pada larik-larik sebelumnya. Di mana Sunan Bonang sudah mengingatkan manusia agar jangan sampai terbuai dengan hawa nafsu dan tipuan dunia yang serba mata’un ghurur ini, kalau dalam bahasa al-Qur’an.

Contohnya pada larik ke 7, yang berbunyi, “Kang Adol warta tuhu warti/Kumisum kaya-kaya weruha/Mangke Ki andhe-andhene/Awarna dadi kuntul/Ana tapa sajroning warih/Meneng tan keno obah/Tinggalipun terus/Ambek sadu anon mangsa/Lirhantelu putih-putihe ing jawi/ing Jero kaworan rakta”.

Pada larik tersebut, Sunan Bonang tengah mengingkatkan kepada para Ulama, disini dia membahasakan ulama’ dengan nama “kuntul” (semacam burung bangau yang ada di sawah). Di mana ulama’ tersebut ilmunya hanya dijadikan sebagai komoditi, diperjual-belikan. Fenomena tersebut mungkin tengah menjamur di sekeliling kita. Para ustadz/da’i/ulama’ ilmunya di jual, ia memasang tarif, mematok harga tertentu untuk show up-nya.

Baca juga:  Mari Hayati dan Patuhi Adab Menuntut Ilmu

Dan ulama’ kuntul ini, sifatnya adalah angkuh, orangnya sok tahu,  ‘kumisum kaya-kaya weruha‘. Sedikit-sedikit mengatakan bid’ah, sesat, kafir, dan lain sebagainya. Dan ulama’ kuntul ini disifatkan oleh Sunan Bonang bagaikan telur, yang luarnya itu putih–orangnya kelihatan alim, anti dosa, anti maksiat–tetapi dalamnya kuning–warna kuning dicirikan emas, yang artinya dunia. Jadi luarnya kelihatan alim tetapi dalamnya (hatinya) kemrungsung masalah bahasan dunia. Inilah ulama’ yang paling bahaya, kata Sunan Bonang.

Namun sayangnya, pada larik ke 10 tidak ada, hilang, belum ditemukan.

Singkatnya, dilanjut pada larik terakhir (nomer 11). “Pangestisun ing sira ra Wujil/Den yatna uripira neng dunya/Ywa sumambar angeng gawe/Kawruhana den estu/Sariranta pon tutujati/Kang jati dudu sira/Sing sapa puniku/Weruh rekeh ing sariri/Mangka skasat wruh sira/Maring Hyang Widhi/Iku marga utama.”

Pada larik tersebut, Sunan Bonang mengingatkan lagi kepada kita bahwa, hidup dunia ini, janganlah sombong, janganlah congkak, dan janganlah angkuh. “ojo kemaki, ojo sumambar, ojo arogan”. Karena hidup ini tak lain adalah mengenal siapa kita, mengenal diri kita sendiri, karena orang yang tahu siapa dirinya, maka akan tahu siapa Tuhannya. Man ‘Arofa Nafsahu Faqod ‘Arofa Rabbahu. Dan itulah jalur utama untuk menuju siratal mustaqim.

Barat dan Arab

Pada diskusi ngaji sore itu, Ki Herman selalu mengunggul-unggulkan budaya Jawa atau peradaban Jawa. Karena orang Jawalah yang nanti akan menggenggam dunia. Dan yang paling penulis ingat adalah, Ki Herman selalu mengingatkan kepada hadirin yakni dengan sebuah kata “dadi wong njowo kudu njawani, mosok wong njowo kok ora njawani“. tur “ojo gumunan lan gampang kepincut”

Negeri Jawa atau yang biasa diungkapkan dengan sebutan Nuswantara, adalah negeri yang dulunya ayem-tentrem. Setelah kedatangan para gujarat-pedagang dari Arab serta penjajahan Belanda, negeri Jawa kembali diusik ketenangannya, dan sampai sekarang pun efek itu masih kentara, bisa kita rasakan. Contoh kecil adalah perseteruan Sunni-Syiah, kekerasan terhadap orang Ahmadiyyah (yang pernah terjadi), dan lain sebagainya. Dulu di Jawa (Nuswantara) tidak ada kerusuhan seperti apa yang terjadi saat ini.

Baca juga:  Gus Sholah, Apa Kamu Mau Jadi Kiai Pesantren?

Dan, penjajahan yang dilakukan oleh Barat, yakni dengan cara melakukan modernisasi, modernisme, sehingga melunturkan tradisi-tradisi Jawa dan lebih parahnya melunturkan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Lanjut Ki Herman, makanya, kalau kita lihat Ejaan Bara(t), kalau dibalik itu jadinya t(Arab). Dua orang ini adalah kawan akrab, sekawanan. Sama-sama pasangan kolonialisme. Yang Arab dengan budayanya sukanya bikin konflik, rusuh, serta berbuat angkara. Sedangkan Barat, sukanya melunturkan nilai-nilai keislaman, membuang ajaran Muhammad. Contoh kecil membaca “Sayyidina, junjungan kawulo agung” Tidak boleh, sedikit-sedikit mengatakan bid’ah. Dengan tutur katanya yang khas pun Ki Herman mengatakan, “nek ora ngerti mbok yo meneng. bid’ngah-bidngah cangkemmu..!!”

Hadirin pun tertawa lepas..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top