Sedang Membaca
Kisah Keberkahan yang Diperoleh Mbah Arwani Disaat Nyantri di Mbah Manshur Popongan

Penulis adalah redaktur pelaksana Alif.id. Bisa disapa melalui akun twitter @autad.

Kisah Keberkahan yang Diperoleh Mbah Arwani Disaat Nyantri di Mbah Manshur Popongan

Mbah Arwani

Saya tidak tahu, apakah orang-orang posmo masih yakin atau percaya terhadap apa yang dinamakan dengan barokah atau tabarukan (ngalap berkah). Sedangkan, setahu saya, santri dari zaman mbah-mbah dulu, hingga sekarang, keyakinannya terhadap barokah itu sangat kuat sekali. Kental, melekat. Hal-hal yang berkaitan dengan barokah adalah yang terkadang seringkali tidak masuk akal dan oleh para santri dipercai adanya.

Dulu, sewaktu di pesantren, saya pernah mendengarkan cerita dari teman, dan teman itu mendapatkan cerita—yang konon masih muttasil riwayatnya hingga sampai penyampai pertama. Ceritanya adalah tentang sosok Simbah KH. M. Arwani Amin Said-Kudus, yang pernah nyantri di KH. Muhammad Manshur Popongan-Solo. Jadi ceritanya kira-kira begini seingat saya—bila ada salah cerita, tolong dikoreksi (bagi yang lebih tahu).

Jadi ada tiga santri yang pada waktu itu disuruh/didawuhi oleh Mbah Yai Manshur. “Gus, le, atau cung. Iku tulung pecerene dikuras cah, wong wes kebek.”ujar Mbah Manshur kepada ketiga santrinya itu, yang salah satunya adalah Mbah Arwani.

Nah, jawaban santri pertama, manggut-manggut, tetapi bilang sama Mbah Yai Manshur, “Gih mbah, kulo tak salin rumiyen, dahar-dahar rumiyen supados kiat”. Sementara yang satunya lagi, juga manggut-manggut, “Gih Yai, kulo ganti pakaian rumiyen nggih, niki pakaian taseh resik, suci.”ujarnya. Namun, Mbah Yai Arwani, tanpa berucap dan beralasan apa-apa, langsung saja nyemplung, nguras peceren tersebut, dengan pakaian apa adanya, seketika itu juga.

Baca juga:  Mengenal KH. Afifuddin Muhajir (6): Komentar Tokoh Terhadap Sosok Kiai Afif

Singkat cerita, apa yang dilakukan oleh Mbah Arwani ini lebih disukai oleh beliau, KH. Muhammad Manshur-Popongan. Dan dalam jangka waktu yang singkat, Mbah Arwani dinyatakan lulus, dan diperbolehkan untuk melakukan amalan untuk menjalani Tarekat Naqsyabandiyah, sebagaimana yang menjadi laku suluk Mbah Manshur tersebut. Bahkan konon, salah satu karomah dan kealiman Mbah Arwani ini karena mendapatkan barokahnya Mbah Manshur, sewaktu masih nyantri.

Cerita-cerita yang seperti ini di pesantren sangat banyak sekali. Ini contoh kecil yang saya masih mengingatnya.

Dulu, sewaktu awal-awal mondok, yang namanya maknani kitab gundul (turats) adalah perjuangan yang sangat berat, apalagi sampai memahami apa isi kitab yang tak berharokat itu. Guru saya pun, tiap kali membabarkan kitab, selalu bilang kepada para santrinya. Terutama santri-santri yang masih newbie, baru.

“Wes cah, kitabe angger disemak wae yo opo sing tak woco, gak paham yo lah, gak popo. Sing penting dirungoake, diniati tabarukan karo poro ulama’, sopo ngerti suk awakmu kui paham-paham dewe”. Begitu kurang lebih.

Hal-hal yang seperti inilah yang menarik bagi saya di dunia pesantren. Poin pentingnya adalah; piye carane awakmu kui gelem ngaji. Gimana caranya kamu itu mau belajar. Dan belajar itu butuh proses, tidak kok langsung kamu menjadi pintar, ngalim. Dan barokah itu letaknya di situ.

Baca juga:  Ulama Banjar (170): H. Noor Asyikin

Hal itu berbeda jauh dengan pola pendidikan di zaman posmo seperti saat ini. Era digital menuntut seseorang untuk; sering bertanya apa yang tidak diketahuinya itu lewat Simbah Kiai Google. Lebih instan dan cepat, tinggal klik. Tanpa ada guru, pembimbing yang mengarahkannya. Jadi jangan kaget kalau dewasa ini kemudian muncul orang Islam yang akun-akunan. Seakan-akan dia paham soal agama. Padahal, untuk bisa maknani kitab, bisa ngasih harokat utawi iku-iku, butuh waktu yang panjang, proses yang menahun, siang malam muthola’ah.

Di dalam pengajian Pitulasan di Menara Kudus beberapa waktu lalu (24 Ramadlan 1443H), KH. Zulfa Mustofa mengingatkan kepada para hadirin, bahwa cari guru ngaji yang bersanad, jangan hanya trending di Youtube.

“Banyak orang sekarang mengambil ilmu minal yutubi la minal kutubi. Dalam bahar Basith beliau membuat sebuah sya’ir. Maa aktsara ad-du’atsa’ min ulama yutubi, faaftabil masyhadi bila raj’il kutubi.”

Pernyataan beliau mengingatkan kepada kita bahwa belajar kepada guru, ustadz, atau kiai, jangan hanya karena viral atau trendingnya, namun juga usahakan mengetahui lebih jauh bagaimana (keilmuan atau sanad ilmu) dari sosok tersebut. Hal ini penting supaya kita bisa memfilter apa yang kita dapatkan dari beliau, apalagi bila menyangkut tentang hukum-hukum dalam islam.

Baca juga:  Kisah Perjalanan Haji KH. Mustofa Bisri 52 Tahun Silam: Dari Sulitnya Mencari Ibu dan Sang Adik, Merasa Diwelehke Tuhan, hingga Berdoa Minta Duit (1)

Nah, dengan melihat realitas sekarang, menurut saya, pesantren adalah salah satu tempat yang sangat tepat buat generasi muda yang hendak belajar ilmu agama, karena di sana terdapat murabbi atau guru yang siap membimbing kita selama 24 jam (full time). Kita tidak hanya disuguhkan dalil halal-haram, akan tetapi juga reasoning (alasan) dari adanya dalil tersebut bisa muncul itu kenapa? Hal itu menurut saya lebih penting.

Dan, tentu saja, kita mengharapkan barokah-barokah dari beliau, sebagaimana yang dialami oleh Mbah Arwani disaat nyantri di Mbah Manshur Popongan—yang sampai sekarang, barokahnya itu masih terasa dan dialami juga oleh para santri-santrinya. Wallahhu a’lam.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top