Pada 13 Sya’ban 1359 H (15 September 1940 M), Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari memublikasikan sebuah tulisan kepada kaum muslimin. Risalah satu halaman itu berisi sebuah hadits panjang disertai catatan tentang khashaish Nabi Muhammad SAW (beberapa keistimewaan Rasulullah yang tidak dimiliki orang lain).
Menariknya, dalam epilog Kiai Hasyim menulis “Barang siapa yang menaruh tulisan ini di rumah dengan maksud mahabbah dan memuliakan Rasulullah SAW, maka insya Allah ta’ala ia akan selamat dari bencana dunia serta diberkahi rezekinya, profesinya, dan mendapat syafa’at Nabi Muhammad SAW di dunia dan di akhirat”.
Risalah tersebut bisa dijumpai di rumah-rumah warga NU terutama di Jawa Timur, atau ditemui di halaman terakhir kitab kompilasi Rois Akbar NU tersebut, Irsyad al-Sari.
Dalam sebuah wawancara Jaya Suprana dengan alm. KH. Abdurrahman Wahid atau (Gus Dur) disebutkan bahwa pada 1960-an umat Islam di Indonesia terpojokkan oleh gerakan PKI. Lalu seorang ulama di Tuban, Kiai Ali, mengarang kasidah Shalawat Badr dengan tujuan meminta keberkahan Nabi yang telah berhasil memimpin perang Badr pada 3 H melawan kaum agnostik atau musyrikin Makkah berjumlah 2.000 orang lebih padahal personel umat Isalm hanya 313 orang.
Berkat pelantara shalawat karangan Kiai Ali, umat Islam Indonesia aman. Kini, di banyak masjid, surau, dan pesantren di Nusantara Shalawat Badr yang dijuluki “Lagu Kebangsaan NU” oleh Gus Dur itu senantiasa dibaca menjelang salat lima waktu.
Jauh sebelum itu, istisyfa’ (meminta pertolongan) kepada Rasulullah SAW sudah sangat akrab dilakukan oleh ulama-ulama tempo dulu. Imam al-Bushiri salah satunya, ketika ditimpa penyakit lumpuh setengah badan tidak bisa bergerak (al-falij al-rîh al-ahmar) beliau menggubah sebuah puisi berisi pujian kepada Rasulullah (al-madih).
Di tengah menulis puisi, Al-Bushiri tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Dalam mimpinya itu, Rasulullah mengusap bagian badan Al-Bushiri yang lumpuh. Ajaibnya, setelah beliau sadarkan diri dari tidur penyakit beliau benar-benar sembuh total. Hingga saat ini, karya Al-Bushiri itu dipercaya bisa menjadi mediator untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Syaikh Abu Bakr Syattha dalam takhtimah kitab monumentalnya ‘I’anah al-Thalibin menceritakan sebuah kisah menarik tentang Imam Syafi’i. Alkisah, setelah beberapa hari Imam Syafii wafat salah satu di antara muridnya bermimpi bertemu dengan beliau. Sang murid bertanya tentang keadaan beliau di alam kubur.
Maka dijawab oleh Imam Syafi’i “Allah telah memberiku kenikmatan yang luar biasa. Aku ditempatkan di surga-Nya yang Maha Indah.” Sang murid penasaran lalu bertanya “Amal apa yang menyebabkan engkau demikian, wahai guruku?” Imam Syafii pun menjawab “Karena aku menulis shalawat dalam muqaddimah kitabku, Al-Umm.”
Kini, oleh warga Nahdiyyin redaksi shalawat Imam Syafi’i tersebut senantiasa dibaca ketika tahlil.
Tidak hanya para kiai, ulama, dan para imam saja, para sahabat Nabi pun percaya bahwa energi istisyfa’ kepada Rasulullah benar-benar ada dan terasa betul khasiatnya. Pascawafat Rasulullah SAW, seorang sahabat dari suku Baduwi menyimpan sebuah peralatan perang yang pernah digunakan Rasulullah. Benda bertuah itu ia rendam di dalam air lalu diminumkan kepada orang yang sakit. Subhanallah, dengan izin-Nya berbagai macam penyakit dapat sembuh berkat air tersebut.
Kita memang tidak mendapat kesempatan seperti sahabat Baduwi itu, atau kita juga tidak bisa seperti Imam Syafi’i yang mampu mengarang teks shalawat indah, begitu pula seperti Imam Bushiri yang mengeksplorasi the best poem of madaih, atau Kiai Hasyim dan Kiai Ali yang menulis khashaish serta kasidah, namun kita tetap bisa mendapat syafa’at Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan meniru para pendahulu. Semoga Allah SWT menjadikan kita umat Nabi Muhammad SAW yang benar-benar berjiwa Muhammad! Amin
*) Tulisan ini pernah dimuat di tebuireng.online.