Setiap 30 Desember, jamaah dan jamiyah NU, mengenang kepergian sosok kyai kharismatik Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid/lahir di Jombang, 7 September 1940 wafat di Jakarta, 30 Desember 2009). Setiap 1 Januari, ikhwan TQN (Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah) mengenang hari kelahiran mursyid berwibawa Abah Anom (KH A. Shohibulwafa Tajul Arifin/lahir di Tasikmalaya, 1 Januari 1915 wafat di Tasikmalaya, 5 September 2011).
Semasa hidupnya tentu saja keduanya acapkali berjumpa, baik dalam pertemuan resmi atau pun tidak. Pada sebuah kunjungan silaturahmi ke Pesantren Suryalaya, Gus Dur pernah meminta ditalqin zikir, kata Abah Anom:
“Gus Dur tak perlu ditalqin lagi. Karena sudah ketika tinggal di Bhagdad bahkan langsung dibimbing oleh Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Itu saja amalkan.”
Tempo hari negara Orde Baru bisa menentukan siapa yang akan menjadi pucuk pimpinan sebuah ormas atas petunjuk dan arahan Soeharto.
Pada Muktamar NU ke-29 di Cipasung Tasikmalaya tahun 1994, Gus Dur sowan terlebih dahulu ke Madrasah Abah Anom, sebelum menyampaikan maksudnya dan hendak mencium tangan, Abah Anom berkata, “Kiai (Gus Dur), seandainya Kyai mampu memaafkan orang-orang yang mendzalimi, jangankan jadi Ketua NU jadi Presiden pun bisa.” Ungkapan ini mengingatkan saya pada sebagian isi tanbih yang selalu dibaca dalam ritual manakiban, “Kudu mikanyaah ka jalma nu mikangewa ka anjeun”.
Suatu ketika, semasa menjabat Presiden, setelah mengunjungi Pangersa Abah Anom, Gus Dur melanjutkan lawatan ke Situ Panjalu yang letaknya kurang lebih lima kilo meter dari Suryalaya. Napak tilas jejak ruhani yang diretas Prabu Sanghyang Borosngora atau Haji Abdul Iman alias Syekh Panjalu.
Tentang sosok kebesaran Borosngoro, Gus Dur menuturkan hikayat menarik, “Borosngora itu pernah bertemu Ali bin Abu Thalib. Borosngora dibawa ke Mekkah dan menjadi muslim. Borosngora hidup antara tahun 600-700 Masehi, semasa Ali bin Abu Thalib. Setelah sekian lama berguru pada Imam Ali, Borosngora diminta pulang ke negerinya. Borosngora sendiri menyatakan sudah rindu kampung halamannya, namun dia tidak berani pulang sebelum bisa membawa air di dalam gayung yang bolong bagian dasarnya. Akhirnya sambil tersenyum Imam Ali menyuruh Borosngora mengambil air zamzam sambil merafalkan doa-doa yang diajarkannya. Atas izin Tuhan, air zamzam tersebut tidak tumpah dan Borosngora bisa membawanya hingga tiba di Panjalu. Air itulah hari ini yang menjadi cikal bakal danau Panjalu yang tidak pernah kering. Di samping itu, Imam Ali juga memberikan cenderamata berupa pedang dan jubah lengkap dengan amanat agar Borosngora sigap menyiarkan agama Islam di Panjalu.”
Sejak itu, Situ Panjalu yang biasanya hanya diziarahi beberapa orang, akhirnya menjadi tujuan ziarah publik dari berbagai kawasan. Abah Anom, Gus Dur, dan Borosngora tentu saja telah wafat meninggalkan kita, namun secara spritual mereka tetap hidup dan memberikan limpahan makna kehidupan. Sosok-sosok yang semasa hayatnya tidak pernah berhenti ngumawula ka wayahna (melayani tanpa batas), menjadi tempat bersandar dari setiap keluh kesah (jadi gunung pananggeuhan), dan homo tuna sumujud (tidak pernah berhenti mengabdi) untuk kemanusiaan.