Keberhasilan pendidikan di pesantren tidak bisa dilepaskan dari peranan kepemimpinan kyai. Kyai disamping sebagai ulama, ia juga turut memanajemen, mengelola dan mendesain sukses tidaknya pendidikan pesantren. Model kepemimpinan kyai mula-mula diterapkan sebagai upaya untuk memperlancar program dan sistem pendidikan di pesantren. Dalam pendidikan pesantren yang holistik, pendidikan pesantren turut serta menularkan dan mempengaruhi santrinya dalam menerapkan pola-pola kepemimpinan yang diambil dari kyai.
Hanun Asrohah dalam bukunya Pelembagaan Pesantren (2004) menyebutkan : tradisi kepemimpinan pesantren merupakan tradisi yang diwariskan dari budaya dan tradisi Jawa pra Islam, dimana budaya dan tradisi Jawa menganut sistem kasta yang mana kultur keturunan sangat kental. Dalam tradisi pra Islam lembaga pendidikan yang dipimpin oleh para Brahmana atau pendeta juga secara turun-temurun, penetapan atau perdikan juga secara turun-temurun.
Max Weber membagi otoritas kekuasan dalam tiga hal yang merupakan tahapan sejarah kepemimpinan. Pertama, otoritas tradisional berasal dari sistem kepercayaan kuno, seorang pemimpin yang berkuasa karena garis keluarga atau keturunan selalu merupakan pemimpin kelompok. Kedua, pemimpin kharismatik mendapatkan otoritasnya dari kemampuan atau ciri-ciri yang luar biasa dari keyakinan pihak pengikut bahwa pemimpin itu memiliki kekuatan lebih yang tidak dimiliki orang lain. Ketiga, otoritas rasional legal dari peraturan-peraturan yang diberlakukan secara hukum dan rasional.
Meski menurut Weber kharisma seorang kyai penting, ia bukan satu-satunya faktor penunjang dalam keberhasilan kepemimpinan kyai di pesantren. Faktor lain tentu saja faktor pengetahuan dan juga model kepemimpinan yang dijalankan dalam pondok pesantren tersebut. Kemampuan internal kyai dalam memahami dan menterjemahkan nilai-nilai agama itulah yang menjadi pikat santri untuk belajar padanya.
Kepemimpinan kyai sendiri ikut serta membentuk semangat, motivasi hidup serta membuat para santrinya terinspirasi dan menerapkan model kepemimpinan yang mereka dapat dalam kehidupan kesehariannya.
Kyai secara tidak langsung maupun langsung menunjukkan kepada santrinya bagaimana proses menjadi pemimpin yang baik. Setidaknya ada empat hal penting yang diajarkan oleh kyai dalam pendidikan kepemimpinan di pesantren.
Temuan-temuan pada penelitian menunjukkan bahwa peranan pesantren memang tidak sekadar membentuk manusia berakhlak mulia semata. Pesantren secara tidak langsung membentuk mentalitas pemimpin masa depan. Para santri diharapkan menjadi yang terdepan dalam masyarakat dan juga siap menjadi pemimpin masa depan (St. Rodliyah, 2019).
Empat hal penting yang diajarkan kyai dalam pendidikan kepemimpinan di pesantren diantaranya; pertama, pendidikan keteladanan. Dalam syair mahsyurnya, Jalaluddin Rumi pernah mengatakan, cita-citaku dulu aku ingin mengubah dunia, sekarang aku ingin mengubah diriku.
Dalam pendidikan pesantren, pendidikan keteladanan akhirnya berujung pada revolusi diri. Pendidikan pesantren bukanlah pendidikan yang hendak berambisi mengubah satu struktur tatanan masyarakat yang luas. pendidikan pesantren adalah pendidikan yang merubah pola dan meningkatkan kesadaran diri.
Sosok kyai mendidik santrinya tidak seperti dalam pendidikan umum. Kyai lebih dahulu menunjukkan kepada santri-santrinya keteladanan. Ia mencontohkan perbuatan atau tindakan baik dengan contoh terlebih dahulu.
Keteladanan yang diberikan kyai di pesantren adalah satu aspek dalam pendidikan kepemimpinan. Sifat keteladanan adalah sifat kepemimpinan yang baik. Rasul sendiri sebelum memerintahkan umatnya ia melakukan hal baik terlebih dahulu. Nilai keteladanan inilah yang menjadi salah satu nilai kepemimpinan dalam pesantren.
Konsep keteladanan ini pernah dicatat oleh Sudjoko Prasodjo (1972) ia menulis kehidupan Kiai Hasjim Asjari: “Mendjelang fadjar sebelum pukul 04 pagi, Kijai sudah bangun untuk melakukan Qijamullail, kemudian membatja Qur’an sampai datang waktu shalat subuh. Mulai bekerdja pada pukul 6 pagi, jaitu sesudah ia turun dari Masdjid. Pada saat itu biasanja beberap untuk keperluan Kijai, jaitu tukang batu dan tukang kaju misalnja, sudah berkumpul di tempat kerdja jang terletak di sebelah dan dibelakang rumah Kijai. Pukul 6.30 Kijai Hasjim asjari mulai membeirkan peladjaran di beranda chusus bagi santri gontor jang telah mentjapai tingkat tinggi. Kuliah ini berlangsung sampai jam 10. Acara selandjutnja adalah membaca kitab, menemui tamu, atau mengarang. Jam 12.30 salat dhuhur di masdjid dilandjutkan memberi kuliah umum kepada santri. Kuliah berlangsung sampai mendjelang asar djam 15.30. Setelah asar, Kijai melanjutkan dengan kuliah sore sampai jam 17.30. Ba’da memimpin shalat magrib, Kijai menemui tamu, dan melandjutkan kuliah malam sampai jam 23.00.”
Dalam keseharian Kyai Hasyim Asyari tadi, santri bisa mengamati,dan meneladani kehidupan kyainya dari bangun tidur hingga tidur lagi. Kyai tidak hanya mengajarkan kitab-kitab, tetapi juga ada waktu untuk membaca kitab dan juga waktu untuk menemui banyak tamu-tamunya. Di pesantren, para santri bisa melihat secara langsung dan meneladani kehidupan kyainya. Kegiatan atau rutinitas yang kyai lakukan itu menjadi sesuatu yang sangat berharga selain pelajaran yang ia berikan saat kuliah umum.
Nilai kepemimpinan yang kedua yang bisa diambil dari pendidikan di pesantren adalah nilai tanggungjawab dan pengorbanan. Setiap kyai di pesantren hampir tidak sepenuhnya mengurusi masalah keuangan. Keuangan yang menjadi penopang hidup matinya pesantren biasanya diurusi yang lain. Banyak kyai yang masih dalam merintis pesantren, mereka mengeluarkan banyak harta mereka untuk hidupnya pesantren.
Pengorbanan yang dilakukan kyai inilah yang membuat pesantren bisa berkembang menjadi pesantren yang besar. Kyai meski di rumah kompleks pesantren, mereka tidak berambisi untuk kepentingan pribadinya. Kehadirannya di kompleks pesantren justru sebagai bagian dari integrasi pendidikan pesantren dan kyainya. Artinya, kyai menyerahkan sepenuhnya harta dan kehidupannya pribadi untuk pengembangan pesantren.
Di era sekarang, tidak banyak pemimpin yang memberikan harta dan kehidupannya seperti seorang kyai. Kyai telah memberikan contoh bahwa perjuangan, seorang pemimpin memerlukan pengorbanan. Dan sikap rela berkorban ini telah dicontohkan oleh kyai dalam dunia pesantren.
Kyai juga memberikan contoh sikap penting dalam kepemimpinan yaitu tanggungjawab. Kyai adalah sosok yang pertama ditanya dan dimintai pertanggungjawaban ketika ada persoalan dalam pesantren. Mereka para santri dan para pengelola pesantren lainnya bertumpu pada kyai saat menghadapi masalah internal maupun eksternal.
Sikap tanggungjawab ini menjadi sikap yang saat ini luntur dalam dunia kepemimpinan kita hari ini. Banyak para pejabat memutuskan perkara besar dengan perasaan dan tanggungjawab yang ringan. Saat keputusan mereka bermasalah, seringkali mereka lepas tangan dan tidak mau bertanggungjawab.
Sikap yang ketiga adalah sikap mengayomi dan momong para santrinya. Di pesanten, seorang kyai ibarat seorang bapak bagi murid-muridnya. Para kyailah yang berperan meluruskan, membimbing dan menjadikan santri atau anak didiknya sadar menjadi manusia insan kamil.
Cara kyai menegur santrinya, mendidik mereka adalah cara yang sangat halus. Kyai memiliki cara yang cukup banyak saat bertemu dengan berbagai ragam tipe dan karakter santrinya. Dalam pendidikan di pesantren, kyai harus bisa momong mengasuh santrinya dengan penuh kesabaran dan cinta kasih.
Seorang pemimpin pun harus bisa mendidik dan mengingtkan bawahannya dengan cara yang halus. Cara yang bijak dalam mendidik para timnya menjadi pemicu dan semangat untuk meraih yang terbaik. Tanpa adanya sikap dan metode yang bijak dalam memimpin, maka pemimpin tersebut akan ditinggalkan oleh timnya.
Pesantren turut serta memberikan pelajaran kepemimpinan yaitu pelajaran tentang sikap mengayomi yang memberi pengaruh besar kepada santrinya agar kelak saat mereka menjadi pemimpin mereka menjadi pemimpin yang mengayomi dan mencintai rakyatnya.
Keempat, pesantren memberikan pelajaran tentang sikap rendah hati dan kesadaran untuk belajar seumur hidup. Dalam kehidupan pesantren, seorang murid senantiasa diajarkan sikap zuhud.
Seorang santri meski memiliki ilmu tinggi, ia diajarkan untuk menjadi seorang yang tidak sombong dan terus merasa zuhud. Pendidikan seperti ini menjadi penting diterapkan oleh seorang pemimpin.
Pemimpin yang baik tidak boleh adigang, adigung, adiguna (sombong) karena ilmunya dan apa yang ia raih. Mereka senantiasa tidak pamer dan besar kepala saat melakukan pencapaian-pencapaian.
Dalam pesantren, kebesaran pesantren tidak pernah didengung-dengungkan oleh kyai. Kebesaran pesantren tersebut tidak serta merta merubah kehidupan kyai dan pesantrennya. Kebesaran pesantren hanya dianggap sebagai sebuah ujian agar pesantren menjadi lebih maju.
Pesantren juga menanamkan doktrin bahwa menuntut ilmu itu adalah kesadaran yang harus dilakukan sampai mati. Seorang pemimpin yang baik pun harus senantiasa belajar dan memperbaiki diri terus menerus. Pencapaian yang baik adalah pencapaian yang tidak pernah mengenal kata selesai.
Pesantren memang bukanlah institusi yang dihadirkan untuk urusan religiusitas semata. Bila kita tilik lebih dalam, ternyata pesantren turut serta mengembangkan ilmu-ilmu dan keterampilan hidup yang berorientasi kepada kemandirian dan sikap kemerdekaan.
Melalui sistem dan peranan kyai, pesantren turut serta menabur benih kepemimpinan yang ditanamkan kepada para santrinya. Nilai-nilai kepemimpinan yang diwariskan pesantren diantaranya ada empat hal ; keteladanan, tanggungjawab dan pengorbanan, mengayomi bawahan, rendah hati dan kesadaran untuk menuntut ilmu.
Melalui empat nilai kepemimpinan itulah, pesantren telah mendidik para kader bangsanya menjadi pemimpin yang terdidik, menjadi pemimpin yang bertanggungjawab dan berkontribusi bagi bangsa dan negara kita.
Daftar Pustaka
- Amstrong, Karen. 2000. Islam, Sejarah Singkat. Yogyakarta.
- Azra, Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.Jakarta.
- Clinton, Hillary. 1996. It Takes A Village.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
- Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren. Jakarta.
- Halim, Soebahar. 2013. Modernisasi Pesantren. Yogyakarta.
- Rahman Wahib, Abdur. 2001. Pergulatan Agama, Negara, dan Kebudayaan. Depok.