Jujur, lugu dan bijaksana. Iwan Fals menggambarkan sosok Mohammad Hatta dalam tiga sifat itu. Hatta dididik dalam kalangan yang religius. Keluarga Hatta mewarisi tradisi Minangkabau dan Islam. Pamannya seorang ulama. Ayahnya meninggal di usia 8 tahun. Semula pamannya ingin ia menempuh pendidikan di sekolah agama. Pada akhirnya ia pun menyerah pada takdir Allah kalau kelak Hatta akan menempuh jurusan duniawi, sekolah di Barat.
Ia pun mengatakan “Jalan hidupmu sudah ditentukan Allah, tetapi keyakinanmu cukup kuat, Engkau tidak akan menyimpang dari ajaran Islam, dan Allah. Mungkin pula pengetahuanmu kelak tentang agama tidak begitu luas seperti yang dimiliki oleh seorang alim-ulama, tetapi perasaan Islam sudah tertanam dalam jiwamu dan itu tidak akan hilang”.
Petuah dan pesan dari pamannya itu menjadi penuntun Hatta untuk mengarungi perjalanan hidupnya di masa mendatang. Di masa Sekolah Dasar, Hatta sering mendengar dari kawan-kawannya tentang bujukan agar tidak melanjutkan ke sekolah Belanda. Sebab didikan Belanda di masa itu dianggap banyak melahirkan generasi yang jadi budak Belanda dan tak mau memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Saat Sarekat Islam masuk ke Sumatera, orang pun sudah tak lagi banyak membincangkan mengenai putus sekolah. Hatta pun menjadi termotivasi untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, hingga ke Belanda.
Islam dalam pandangan Hatta tak hanya menjadi laku dalam keseharian, ia menyatu dalam sikap dan praktik hidupnya. Islam bagi Hatta bukan sekadar sebuah pengakuan, tapi tercermin dalam sikap hidup. Deliar Noer punya pendapat menarik mengenai sikap Hatta terhadap Islam.
Ia seorang muslim yang taat, kehidupan dunia tidak menarik hatinya benar, atau kehidupan dunia menariknya sejauh yang ia kaitkan dengan tugasnya sebagai manusia, karena tiap tindakan dan langkahnya senantiasa berhubungan dengan kepentingan orang banyak, dan kepentingan ketenteraman terhadap dirinya sendiri sebagai tanggungjawabnya kepada Allah.”
Tulisan Deliar Noer kalau kita rujuk tak jauh beda dengan yang ditulis Hatta di bukunya Memoir : “Berbuat karena Allah yang menjadi dasar didikanku dari rumah, juga membentuk aku sebagaimana aku dalam pelajaran, pendidikan, dan perjuangan untuk Bangsa dan Negara selama hidupku. Carilah kebenaran, tuntutlah kebenaran dan laksanakan kebenaran itu dalam masyarakat, senantiasa menjadi peganganku dalam segala tindakan.”
Agama Adalah Tindakan
Bagi Hatta, agama adalah tindakan. Tindakan itu mewujud dalam apa yang ia praktikkan dan jalani dalam keseharian. Ia orang yang jujur, tak pernah memanfaatkan uang negara semasa ia menjabat. Ajaran ini pun membekas di hati anak-anaknya. Hatta menjalankan hidup dengan penuh kesederhanaan. Ia bukanlah orang yang mengejar kemewahan dan kepentingan pribadinya.
Semasa hidupnya, ia telah melakukan banyak hal untuk negara. Di pembuangan sekalipun, ia tak meninggalkan ibadah, mendidik dan mengader anak-anak di Digul dan Banda Neira. Hatta menginsyafi, jalan agama adalah jalan menebar kebajikan.
Sebagai seorang yang memperoleh pendidikan Barat maupun pendidikan agama di rumah, ia mempraktikkan nilai dan spirit agama, salah satunya mencari ilmu. Sebagai negarawan maupun kepala keluarga, ia memberikan teladan kepada kita, bahwa buku bisa menjadi jalan untuk mencari ilmu. Dari membaca itulah, kita menjadi tahu banyak hal, salah satunya soal agama.
Hatta memberi kontribusi kepada agama dengan jalan pengetahuan dan sikap yang ia tunjukkan. Ia menulis di banyak ruang seperti majalah, koran, hingga selebaran. Jalan religiositas Hatta, adalah jalan pengetahuan. Bagi Hatta, agama adalah suluh. Karena itulah, ia membaca dan menulis untuk menebar suluh itu. Kewajiban itu ditempuh sebagai seorang yang berpengetahuan dan berkesempatan mengenyam pendidikan barat.
Sebagai seorang ekonom andal, ia mensintesakan antara ekonomi Marxisme dengan Sosialisme. Ia tak sepakat sepenuhnya dengan gagasan Marx, ia condong pada sosialisme. Hingga ia menemukan ekonomi Pancasila di Indonesia. Pokok-pokok pikirannya bisa kita baca sampai sekarang di Pasal 33 UUD 45. Karena itulah ia merintis dan mempraktikkan ekonomi Pancasila tersebut dalam wujud koperasi.
Karena kontribusinya dalam hal ekonomi itulah, ia pun dijuluki Bapak Koperasi Indonesia. Koperasi bukan hanya dianggap sebagai sebuah badan yang peduli dan mau mengentaskan nasib ‘wong cilik’, tapi juga dianggap sebagai sebuah lembaga yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong memajukan kepentingan anggota koperasi. Dari sana kemudian muncul perasaan senasib sepenanggungan, sama rasa, sama rata.
Pada aspek keluarga, Hatta menjadi teladan yang baik bagi keluarganya maupun bagi bangsanya. Sikapnya yang rendah hati, tak memberi jarak, hingga kepeduliannya yang erat kepada siapa saja membuatnya dikagumi oleh siapapun. Keteladanan dan sikapnya yang mengayomi, melindungi dan mendidik anak-anaknya dengan baik itulah yang membawa Hatta dikagumi di dalam keluarganya maupun di mata bangsanya.
Religiusitas Hatta barangkali tak tampil di pakaian dan simbol-simbol lainnya, ia lebih menginsyafi agama sebagai sebuah jalan sekaligus tindakan. Kelak, sikap religiusitas seperti ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Gus Dur “Tidak penting apa pun Agama atau Sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Hatta menunjukkan sikap seperti itu. Islam Hatta adalah Islam tindakan yang menyatu dalam laku dan keseluruhan sikap hidupnya.
Islam dan sikap hidup Hatta bisa dijadikan oase di tengah krisis umat islam saat ini yang terkesan menjauh dari nilai-nilai Islam.
Mantab omm..sukses selalu