Sedang Membaca
Seksualitas-Islam, Apa yang Dikatakannya tentang Tubuh?
Arfi Pandu Dinata
Penulis Kolom

Mahasiswa, Pegiat Toleransi dan Perdamaian di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung.

Seksualitas-Islam, Apa yang Dikatakannya tentang Tubuh?

Seksualitas-Islam, Apa yang Dikatakannya tentang Tubuh?

Melihat lagi relasi seksualitas dengan keberislaman, menjadi sesuatu yang sangat penting. Apalagi di tengah arus yang perlahan membuat maknanya jadi mendangkal: seksualitas itu seputar perkawinan dan zina; sebatas hubungan badan, bahkan hanya aurat dan genitalia. Geli mungkin cabul, respons pertama yang selalu terbayang-bayang ketika kita mau bicara tentang topik ini. Padahal seksualitas merupakan percakapan panjang tentang cara manusia sebagai hamba Allah merespons kodratnya sendiri sebagai makhluk seksual. Di dalamnya mencangkup pemahaman, penghayatan, pengalaman, dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, seksualitas sendiri menunjukkan cara menjadi seorang muslim.

Polemik tabu yang tumbuh dalam norma masyarakat, kian menjamur menjadi paranoid publik karena gencarnya wacana “pornografi/aksi” dalam kancah politik kita yang menjadikan isu ini dibungkam rapat-rapat. Dahsyatnya, hal ini mendesak teologi dan kajian keagamaan untuk turut berdiam diri bahkan melanggengkan diskursus seksualitas yang sempit dan cenderung opresif. Dengan demikian, menjadi sesuatu yang lumrah apabila muncul pandangan yang menyatakan bahwa Islam seolah-olah resisten pada isu seksualitas. Kebertubuhan dianggap sebagai fitnah; sumber amoral dan asusila. Padahal sama sekali tidak, Islam memberi reaksi dan menawarkan opsi yang menarik.

Islam mengetengahkan tubuh sebagai bagian dari ajarannya. Wahyu pertama saja sudah mengajak Muhammad Sang Nabi untuk memahami proses penciptaan manusia yang sepenuhnya karya Allah sekaligus berlangsung melalui mekanisme alam. Tidak berhenti sampai situ, Alquran mengulang-ulang narasi yang serupa dengan mengatakan bahwa manusia berasal dari air yang memancar (At-Tariq: 6-7); terjadi karena peristiwa pembuahan (Al-Insan: 2); tumbuh melalui wadah yang kokoh (Al-Mursalat: 20-23); berkembang dalam kandungan (Al-Mu’minun: 12-14); dan masih banyak lagi. Melalui proses itu, manusia sebagai hamba Allah lahir dengan keadaan fitrah yang suci, termasuk tubuhnya.

Dengan mengemban tugas kehambaan itu, Allah memberi amanat pada manusia untuk menjaga tubuhnya. Atas kehendak-Nya, Allah juga memberi kebebasan dan tanggung jawab atas diri manusia untuk memilih pilihan-pilihan terbaik bagi tubuhnya. Melalui tubuhlah, seorang muslim dapat rukuk dan bersujud dalam salat, mengosongkan perutnya untuk berpuasa, serta tawaf mengelilingi Kabah. Ada organ, gestur, dan gerak badan yang sungguh berbentuk fisik untuk memanifestasikan proses beribadah kepada Allah. Dengan mata yang celik dan mekanisme pita suara yang kompleks, seorang muslim dapat melantunkan Alquran dengan tartil melalui mushaf. Tanpa tubuh, mustahil seorang muslim dapat pergi berjihad, menegakkan keadilan, mengerjakan kebajikan, dan mencegah perbuatan munkar. Dalam tubuh jugalah, akhlak yang mulia menghiasi diri seorang muslim.

Baca juga:  Agar Gerakan Nahdlatul Ulama Lebih Berkualitas

Muslim yang taat bukan hanya bisa menjaga dirinya dari siksa api neraka, melalui ikhtiar ruhani saja. Namun ketaatan juga terwujud pada kemampuan menjaga tubuhnya, baik dari penyakit, kelaparan, dan bencana. Kesentosaan tubuh bukan hanya menunjang ibadah, tapi ibadah itu sendiri. Keberimanan seorang muslim atas adanya kesaksian dan pertanggungjawaban anggota-anggota tubuh di akhirat kelak akan tercermin pada cara memperlakukan tubuhnya di dunia kini. Kedua lengan tangan tidak hanya dibasuh air ketika wudu sehingga sah secara fikih. Tangan juga tidak sebatas menolong orang duafa dan mustadh’afin yang mulia secara akhlak. Tangan wajib dirawat; digunting kuku-kuku jarinya, dipakaikan sarung tangan ketika bersentuhan dengan zat berbahaya, dan dicuci sehabis memungut sampah. Muslim yang saleh akan mengerti betul cara memperlakukan kondisi tubuhnya. Di luar ibadah mahdhah, tubuh juga diberi haknya untuk aktivitas produktif, rehat, perawatan, dan rekreasi. Semua itu tidak pernah lepas dengan niat sebagai bagian dari amal-amalan ibadah ghairu mahdhah.

Merawat diri adalah ikhtiar muslim dalam menjaga amanat Allah, sekaligus sebuah langkah untuk menggapai salah satu dari tujuan-tujuan pokok syariah Islam (maqashid asy-syariah) yakni menjaga jiwa (hifdz an-nafs). Dengan demikian, keberislam yang mendalam bukan hanya berkutat pada soal keharaman tato atau berhenti pada diskusi makruh-haramnya rokok. Kita diajak pada cakrawala keberislaman yang lebih luas, untuk bersyukur dan menikmati hidup di dunia jasad (ragawi) yang Allah ciptakan. Islam tidak menyangkali kehidupan dunia kita sekarang, namun ia meresponnya agar kita lebih bersikap arif dan bertanggung jawab.

Baca juga:  Gus Nadir Hilang dari Medsos: Hendak ke Mana Toh, Gus?

Tubuh adalah “media” kita merasakan euforia erotis, ekstasi, sensasi, kebugaran, dan kesejahteraan yang tiada lain adalah wujud dari nikmat dan rahmat Allah yang tercurah melimpah-limpah. Tubuh tempat kita merasa kenyang dan cukup. Melalui tubuh, Musa kecil mendapati air susu ibunya sehingga dapat mengemban risalah Allah kepada Firaun. Melalui tubuh jugalah, Sarah mengandung Ishak pada usia tuanya, kemudian beranak cucuk sehingga menjadi Bani Israil. Sejalan dengan itu, maka tubuh juga berpotensi menjadi sumber kesengsaraan, kesakitan, dan penderitaan. Melalui tubuh, Yusuf terfitnah sebagai pemerkosa sehingga dipenjara. Melalui tubuh jugalah, Maryam terfitnah sebagai pezina sehingga dipermalukan.

Tubuh itu indah, ia mencerminkan Allah yang Maha Indah. Tubuh-tubuh yang telah dijadikan-Nya, telah dirancang dengan kadar yang tepat. Aneka rupa warna kulit, bentuk tubuh, gelombang rambut, dan jenis kelamin adalah bukti kekuasaan Allah. Lalu bagaimana mungkin tubuh yang dijadikan Allah sebagai media beribadah itu, disalahgunakan untuk menyekutukan-Nya? Barangkali kita harus memperbanyak intropeksi diri, jangan-jangan kita sudah menempatkan tubuh kita sebagai ilah yang lain. Ada rasa takabur yang memandang bahwa tubuh kita sendiri lebih elok ketimbang tubuh orang lain. Padahal tidak boleh ada satu bentuk pun dari semua keragaman kebertubuhan itu yang layak memalingkan penghambaan seorang muslim kepada Allah. Hanya ketakwaan yang bernilai di hadapan-Nya.

Bagi kita, tubuh yang sempurna ini tidak pernah diyakini betul bahwa kelak akan fana juga. Rasa ujub menutupi kerapuhan, pelapukan, dan kerusakan yang sedang berlangsung menggerogoti tubuh kita. Akhirnya, kekufuran menggelincirkan kita pada perasaan bangga akan tubuh yang dipandang ‘normal’. Kita menganggap hina kebertubuhan orang dengan disabilitas, orang dengan status penyakit dan kondisi badan tertentu. Kita menyangka itu masalah sepele, padahal dari rasa itu tauhid kita mulai terkoyak.

Baca juga:  Puasa Orang-orang Beriman

Dari rasa itu, kita mulai membangun jarak dengan orang-orang yang terpinggirkan. Hanya pengalaman tubuh kitalah yang selalu menjadi tolak ukur keberislaman. Masjid kita tidak ramah bagi anak-anak dan lansia, sebab cipratan air wudu membuat lantainya selalu licin. Kita meminggirkan orang dengan HIV sebagaimana terhadap perempuan haid yang seolah-olah tidak bisa mendekati Allah dengan segala cara. Khutbah jumat kita tidak pernah dipahami oleh jamaah tuli.  Khunsa dipaksa untuk menentukan gender di antara laki-laki atau perempuan.

Alangkah celakanya kita yang mengaku muslim ini, badan kita memang tidak pernah dibiarkan dalam keadaan berhadas tapi tidak pernah juga digunakan untuk mendekap anak yatim. Otak kita memang menghafal banyak ayat-ayat Alquran, tapi tidak dipakai untuk mengerti bahwa sebagian makmum rentan mengalami kesemutan dan kram kaki. Mata kita memang selalu ditundukkan (ghadhdh albasyar), tapi tidak dengan pandangannya yang menganggap perempuan korban pemerkosaan sebagai sumber fitnah.

Tidak ada satu tetes air mani yang najis, namun ketika air itu telah menjadi tubuh manusia, kenapa kita tidak memuliakannya? Tidak ada satu mayat (bangkai manusia) yang najis, namun ketika jasad itu masih hidup, kenapa kita tidak memuliakannya? Kita menolak percakapan tubuh dan seksualitas, tapi kita masih memandang fisik-ragawi sebagai nilai keberislaman. Padahal dalam kepatuhan kepada Allah, tubuh seorang muslim dibebaskan dari belenggu penghambaan kepada selain-Nya. Lebih dari itu, muslim didorong untuk membebaskan tubuh-tubuh yang lain untuk memperoleh kebebasannya. Namun nyatanya kita telah gagal menjadi hamba Allah. Astagfirullahaladzim.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top