Di dalam kitab Al-Lujain Ad-Dani fii Manaqiib Ar-robbaniy dikisahkan, Abul Hasan Ibn Al-Qonthotoh Al-Baghdadi bercerita saat hari wafatnya Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani: Dulu, ketika aku sedang sibuk dengan ilmu, memperbanyak bangun malam, dan mengawasi keperluan tuan Syaikh, suatu malam beliau keluar dari rumahnya, ketika itu bulan Safar tahun 553 H.
Aku pun membawakan teko untuk beliau, namun beliau tidak mengambilnya. Syaikh Abdul Qodir memberi semacam isyarat ke pintu madrasah dan pintu itu pun terbuka, kemudian beliau keluar, dan aku pun ikut keluar mengikuti dibelakangnya. Aku berkata dalam hati, sesungguhnya ia tidak menyadariku (mengikutinya). Pintu pun tertutup dengan sendirinya.
Pintu kota pun terbuka sendiri. Syaikh Abdul Qodir berjalan tidak jauh, dan sampai di suatu daerah yang tidak aku ketahui. Kemudian Syaikh memasuki ribath, suatu tempat pendidikan yang digunakan para sufi untuk mendalami ilmu, ternyata di dalamnya terdapat enam orang sedang duduk. Tatkala melihat Syaikh, mereka pun berdiri ta’dzim dan berebut untuk bersalaman dengan beliau.
Aku berlindung di balik tiang. Tiba-tiba terdengar suara rintihan, dan masuklah seseorang ke arah terdengarnya suara rintihan tadi, kemudian keluar lagi dengan membawa seseorang dari tempat tadi. Ketika itu juga, datang seorang laki-laki, tidak memakai tutup kepala dan berkumis panjang. Ia langsung duduk di hadapan Syaikh kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat.
Setelah mengucap kalimat syahadat, ia mencukur kumis dan rambutnya, kemudian Tuan Syaikh memakaikannya tutup kepala dan memberinya nama “Muhammad”. Syaikh berkata pada enam orang di tempat itu, “Aku telah memerintahkannya untuk menjadi badal (wali pengganti) dari mayit yang meninggal barusan, mereka pun menjawab, “sam’an wa tho’atan.”
Setelah selesai, Syaikh Abdul Qodir keluar, aku mengikutinya, dan ternyata (aku baru sadar bahwa) kami di Baghdad. Beliau pulang melalui jalan yang sama seperti ketika berangkat, kemudian masuk kembali ke rumahnya.
Esok hari aku datang untuk mengaji kepada beliau, sekaligus menanyakan peristiwa tadi malam. Tiba-tiba aku aku takut dengan sendirinya karena kewibawaannya, hingga aku tidak bisa membaca kitab.
Beliau berkata, “Wahai anakku, bacalah, dan tidak apa-apa.”
Aku mengatakan dan bersumpah agar kiranya beliau berkenan untuk menjelaskan kejadian tadi malam.
Beliau pun menjelaskannya, “Tempat yang aku kunjungi semalam adalah Nahawand dan enam orang itu adalah wali abdal dan An-Nujaba. Adapun orang yang merintih semalam adalah orang ketujuh diantara mereka, tatkala ajal menghampirinya, aku pun turut hadir. Kemudian yang membawa jasadnya keluar semalam, ia adalah nabi Khidir AS, dan yang mengucapkan syahadat adalah seorang nasrani dari Konstantinopel yang aku suruh untuk menjadi penggnti orang yang meninggal tadi.”
Abul Hasan berkata, Tuan Syaikh menyuruhku berjanji untuk tidak menceritakan perihal ini pada siapa pun selama beliau masih hidup.
Tak dapat disangka, seorang nasrani yang masuk Islam bisa langsung menjadi wali. Sementara kita, merasakan nikmat ibadah pun prosesnya lama dan sulit. Disanalah mengapa kita tidak boleh menghukumi seseorang semasa hidupnya meskipun dia kafir, karena kita tidak tahu, mungkin di akhir hayatnya Allah SWT memberinya hidayah dan memasukannya ke surgaNya, siapa tahu?
Wallahu a’lam