Seseorang berkebangsaan Skandinavia dalam sebuah perjumpaan pada perkuliahan musim panas tahun 2010 di Universitas Utrecht – Belanda, dengan senyumnya yang ramah memperkenalkan diri dan bertanya, “Are you Javanese?” Dengan spontan saya menjawab, “Yes I am”.
Karena penasaran, saya lalu balik bertanya, dari mana pertama kali mengenal pulau Jawa. Lalu ia menjawab, dari arsip kuno di sebuah Universitas di Norwegia tempat ia mengambil gelar di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sebagai traveler dan pendaki gunung, ia bercerita sering menghabiskan liburan musim panas di negara-negara tropis termasuk Indonesia. Menurutnya Bali dan Jawa merupakan pulau yang sangat unik dan eksotik. Dua wilayah yang menjadi destinasi favoritnya.
Karena pecinta alam dan pendaki yang berwawasan geologi, teman saya orang Skandinavia ini memiliki banyak referensi tentang pegunungan—jauh melampaui pengetahuan saya tentang nama-nama gunung di Jawa.
Sore itu kami terhanyut dalam obrolan panjang yang menyeret saya pada hikayat kuno ,termasuk tentang peristiwa meletusnya gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883.
Para ilmuwan di bidang geologi mencatat letusan gunung berapi yang paling dahsyat dalam sepanjang sejarah dan mengakibatkan abu vulkanik berhamburan. Peristiwa itu terlihat jelas di langit Norwegia termasuk New York pada waktu itu. Kabarnya letusan Krakatau ini mencapai tiga puluh ribu kali bom atom Hiroshima yang diledakkan pada tanggal 6–9 Agustus tahun 1945.
Spontan saya berandai-andai hidup di zaman itu. Barangkali ini yang disebut Ronggowarsito dengan istilah “gonjang ganjing bumi, langit kelap-kelip”. Ini hanya soal penafsiran spontan, termasuk kaitannya dengan riwayat datangnya “Ratu Adil” yang dipercaya oleh sebagian orang Jawa.
Kebanyakan orang Kejawen sangat percaya bahwa suatu hari ketika situasi politik dan keamanan sedang tidak stabil dan kacau balau, ketika nyaris tak seorang pun mampu mengatasinya, maka saat situlah akan muncul pertolongan “Ratu Adil” untuk menyelematkan bumi Indonesia. Tidak jarang ketika dalam peristiwa lima tahunan (pilpres), para kandidat pemimpin atau presiden lantas akan dikaitkan dengan sosok “Ratu Adil”.
Kembali ke narasi Krakatau, beberapa ahli geologi mendefinisikan bahwa selain faktor perubahan lempengan bumi, peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang pertama (diperkirakan tahun 416 Masehi) juga menjadi salah satu teori terpisahnya pulau Sumatera dan Jawa. Konon, bermula dari teori ini kemudian pulau Jawa mulai tumbuh dan berkembang seiring dengan suburnya angka populasi penduduk hingga lahir dan bergeraklah peradaban Jawa.
Kejawen Yang Makin Tenggelam
Jawa, bukan hanya sebagai “diskursus” tentang peradaban masyarakat dan budayanya namun juga merupakan sebuah “teks” yang terus menerus bergerak. Tidak pernah berhenti untuk dikaji—mulai dari aspek sejarah, budaya, bahasa, konsep kosmologi, agama, sistem kepercayaan, maupun masyarakatnya yang beragam.
Ada berbagai macam perspektif dan pendekatan mengenai jejak literatur sejak zaman pra kolonial ketika orang-orang Jawa sudah terbiasa berinteraksi sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Interaksi perdagangan terjadi dengan para pendatang dari Persia, India, Cina, hingga Eropa.
Sejarah mengenai peradaban Jawa masih menjadi perdebatan yang cukup pelik. Bukti-bukti arkeologi lebih banyak disajikan dalam bentuk karya akademik dan berkisar pada pertengahan abad ke-14 hingga abad ke-18.
Datangnya Clifford Geertz ke tanah Jawa di sisi lain juga turut memberi sumbangsih penting dalam menabuh genderang dunia antropologi. Nama Pulau Jawa semakin melekat di telinga para peneliti-peneliti dunia yang menyebabkan mereka ikut melacak jejak Geertz dalam “The Religion of Java” (1960).
Kultur keagamaan masyarakat Jawa tak luput dari pengaruh Hindu Buddha terutama sejak abad ke-8 hingga abad ke-15, termasuk ajaran Wali Songo yang turut memberi warna dalam sintesis ritual keislaman dengan unsur kejawen. Hadirnya Wali Songo dalam mendakwahkan Islam mendapat sambutan dan membawa keberhasilan yang cukup gemilang.
Islam dengan dinamikanya hingga detik ini menjadi agama mayoritas di Pulau Jawa. Kondisi ini terjadi disertai gelombang besar arus transformasi keagamaan yang terjadi secara dramatis setelah peristiwa genosida 1965.
Pada mulanya , dulu, hampir mayoritas masyarakat Jawa menganut kepercayaan lokal seperti Kejawen. Kini, berbicara tentang Jawa, kita akan merujuk pada mayoritas orang-orang Islam yang “formal”—bukan lagi tentang orang-orang Kejawen yang pernah disapu oleh sejarah politik yang pahit.