Pola relasi NU dengan negara, dalam konteks penerimaan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa mengalami dinamika yang fluktuatif, terjal. Sebab, tidak seperti ormas lain, hubungan NU dengan negara tidaklah linier, justru seperti pasang surut air laut, bahkan ibarat perahu di tengah samudera, yang kadangkala terombang-ambing oleh kerasnya gelombang serta badai.
Di antara aktor kunci yang menjadi arsitek tentang pola relasi NU dan negara hubungannya dengan penerimaan Pancasila, secara berlapis setidaknya ada tiga tokoh: KH. Wahid Hasyim, KH. Achmad Siddiq, dan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur).
Peran KH. Wahid Hasyim dalam sejarah perumusan Pancasila sangat urgen sebagai anggota aktif yang secara maraton mengikuti sidang atau rapat-rapat BPUPKI dan PPKI. KH. Wahid Hasyim bersama tokoh-tokoh lain berkontribusi dalam melahirkan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang disepakati oleh semua anggota sidang BPUPKI dan segenap rakyat Indonesia, meski dalam prosesnya juga terjadi dinamika di dalamnya.
Ketika Panitia Sembilan melangsungkan rapat pada 22 Juni 1945 dan berhasil merumuskan sila I pada dokumen Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, KH. Wahid Hasyim terlibat dan menyetujui keputusan itu. Namun pada sidang PPKI, sehari setelah deklarasi kemerdekaan RI, tanggal 18 Agustus 1945, dengan mempertimbangkan kepentingan bersama dan prinsip kemaslahatan, KH. Wahid Hasyim (juga ada KH. Masykur) menerima perubahan sila I menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada fase-fase berikutnya, menurut Nur Khalik Ridwan (2010), NU menyebutkan bahwa gerakan NII adalah pemberontak dan pemimpin dari Republik Indonesia yang masih terus bergolak dengan dasar Pancasila adalah sah dan harus ditaati dengan diberi legitimasi waliyul amri adh-dharuri bi syaukah. Ini adalah fase ketika muncul pemberontakan di berbagai daerah, terutama diorganisir NII yang dideklarasikan oleh Kartosoewirjo tahun 1949, sampai benar-benar bisa ditumpas dan Kartosoewirjo dihukum mati tahun 1952.
Kemudian pada fase di mana NU menerima konsepsi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945 dalam demokrasi terpimpin, dengan catatan Piagam Jakarta harus menjiwai UUD RI lewat keputusan Partai NU tahun 1959. Ini adalah fase di mana imajinasi tentang Piagam Jakarta kembali dimunculkan oleh NU.
Proses itulah yang saya sebut sebagai bagian dari dinamika pasang surut relasi NU dengan negara, apalagi di kemudian hari, dinamika itu terus berlanjut berdasarkan situasi politik. Pada momen berikutnya, NU kembali dihadapkan dengan kebijakan rezim orde baru pada awal tahun 1980 yang mewajibkan asas tunggal kepada semua ormas dan orpol.
Peran KH. Achmad Siddiq
Oleh rezim orde baru, ormas-ormas Islam, termasuk NU, dikira akan melakukan penolakan sehingga bisa memicu konflik sosial, dan jika itu yang terjadi, akan menjadi alasan seolah legal bagi rezim untuk “menghajar” NU beserta warga nahdliyin. Namun di bawah kendali KH. Achmad Siddiq (Rais Am PBNU 1984-1989), NU mampu mengerem laju kontroversi di internal organisasi, dan dengan demikian lolos dari jebakan rezim, lewat ungkapannya yang begini, “Wong barang sudah sekian lama dimakan kok baru dibahas halal haramnya”.
Ungkapan KH. Achmad Shiddiq di atas menunjukkan argumen yang sangat sederhana, mudah dicerna, terdapat unsur lokalitasnya, namun cukup mematahkan argumen sebagian kalangan yang dari dulu sampai sekarang masih bercokol, menolak ideologi Pancasila dan mengajukan khilafah sebagai penggantinya.
Secara lebih lengkap, agar terbangun argumen utuh bagaimana kita bisa menyikapi dan menangkis tuduhan-tuduhan negatif oleh mereka yang menentang Pancasila, maka perlu diuraikan argumen KH. Achmad Siddiq, meski sekali lagi, dalam konteks NU, juga relevan untuk konteks lain di zaman sekarang. Yaitu tentang kesaksian KH. Muchit Muzadi, sekretaris KH. Achmad Siddiq yang sama-sama pernah menjadi murid KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng.
Dikisahkan, KH. Muchit Muzadi dahulu pernah bertanya masalah ini kepada KH. Achmad Siddiq. “Kiai, Mengapa kita harus menerima Pancasila sebagai asas NU ?” Jawab KH. Achmad Siddiq, “NU sendiri dalam Anggaran Dasarnya yang pertama diterangkan bahwa NU didirikan berdasarkan tujuan-tujuan, bukan asas.”
“Kita tidak usah mempertentangkan NU dengan asas negara. Karena NU tidak berbicara mengenai asas. Melainkan tujuan.” Lalu sekarang apa tujuan NU? Ialah melaksanakan semua yang akan menjadikan kemaslahatan Ummat Islam.
Kiai Achmad Siddiq tidak setuju kalau Islam itu dijadikan asas sebuah organisasi atau partai. Adalah keliru jika menjadikan Islam sebagai asas, karena justru akan merendahkan Islam sendiri. Islam adalah agama ciptaan Allah, sedangkan organisasi ciptaan manusia. Islam jauh di atas asas, karena Islam adalah din Allah.
Deklarasi Situbondo 1983
Secara lebih formal, hubungan Pancasila dengan agama Islam dan negara, bagi NU, sebenarnya telah tuntas dibahas dengan melahirkan deklarasi Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo. Pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia adalah prinsip fundamental namun bukan agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
Kedua, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. Ketiga, bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan kewajiban agamanya. Kelima, sebagai konsekuensi dari sikap tersebut di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Deklarasi Situbondo disepakati tanggal 21 Desember 1983 di Sukorejo, tempat di mana Munas Alim Ulama NU diselenggarakan, dan merupakan hasil dari komisi II (Komisi Pemulihan Khittah NU 1926), sub tentang “Hubungan Pancasila dan Islam” yang diketuai oleh Gus Dur. Keputusan ini kemudian dimantapkan kembali pada Muktamar ke-27 di Situbondo, tahun 1984.
Sampai di sini, tampak bahwa tidak hanya KH. Achmad Siddiq, tetapi juga ada peran Gus Dur yang turut mewarnai penerimaan Pancasila sebagai bagian integral menjadi ideologi bangsa. Itulah sebabnya, pemikiran Pancasila Gus Dur seiya-sekata dengan KH. Achmad Siddiq. Dan sejak Muktamar ke-27 itu, KH. Achmad Siddiq terpilih sebagai Rais Am Syuriyah PBNU, dan Gus Dur sendiri juga terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziyah.
Gus Dur, Orde Baru, dan Keteladanan
Sejak saat itu, Gus Dur yang tampil menjadi Ketua Umum Tanfidziyah hingga tahun 1999, terus mendominasi wacana tentang Pancasila di tengah tekanan politik dan klaim sepihak oleh rezim orde baru. Di antara strategi yang dilakukan Gus Dur, misalnya, 1 Maret 1992, mengadakan istighasah kubra pada puncak Harlah ke-66, yang sekaligus sebagai intrik politik kepada Soeharto, menunjukkan loyalitas NU pada Pancasila dan UUD 1945.
Ketika rezim Soeharto menyelewengkan makna demokrasi Pancasila untuk mendukung status quo, Gus Dur secara tegas menolaknya secara terbuka. “Dengan menolak mendukung Soeharto secara terbuka, berarti kami menolak mendukung sistem pemerintahan yang tidak adil ini. Dengan mendukung UUD 1945 dan Pancasila, kami bisa berkata bahwa NU mencoba melancarkan transisi dari sistem sekarang yang didasarkan pada kronisme, dan kehancuran negara ini dalam jangka panjang, dan dirampoknya sumber-sumber daya nasional untuk dimanfaatkan segelintir orang” (Ramage, 2002).
Suara Gus Dur semakin menggema dan membuat pejabat istana gusar. Seolah memunculkan jargon, “suara Gus Dur, suara NU”, meski ungkapan ini oleh Gus Dur pernah ditolak. “Kalau melihat NU dari saya, itu salah baca”, ungkapnya, pada buku berjudul Tabayyun Gus Dur ( 1998).
Namun demikian, memisahkan Gus Dur dan NU, juga sulit dan mustahil. Ungkapan itu terjadi pada tahun 1994 ketika ia ditanya wartawan majalah Forum, dan maksudnya adalah, untuk menunjukkan NU kembali ke khittah berdasarkan keputusan para kiai dan peserta Muktamar, bukan individu Gus Dur.
Kesetiaan Gus Dur terhadap Pancasila dengan sendirinya tidak secara buta menutup kemungkinan Pancasila dan embel-embel yang dikaitkan dengan Pancasila untuk dikhianati. Kesetiaan yang dilakukan Gus Dur bukan pada orang atau kekuasaan, tetapi lebih pada bentuk ideal pemerintahan yang didasarkan pada Pancasila. Gus Dur sendiri sejak tahun 1970-an sebenarnya sudah mulai memikirkan pentingnya integrasi nasional umat Islam dengan kebangsaan (mendahului keputusan NU tahun 1984), termasuk ketika membicarakan hukum Islam, yang notabene ada dalam negara Pancasila (Ridwan, 2010).
Bahkan jikalau dilacak lebih jauh sebelum deklarasi Situbondo 1983 atau 1945 saat perumusan Pancasila, sejak tahun 1936 dalam Muktamar di Banjarmasin, NU sudah menyebut daerah yang kelak disebut Indonesia itu sebagai daerah Islam tanpa perlu lagi memberi nama sebagai negara Islam. NU merujuk pada di antaranya dari kitab Bughyatul Murtasyidin dalam bab al-hudnah wa al-imamah.
Maka berdasarkan argumen kronologis itulah, NU sampai sekarang memiliki sikap yang kokoh mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa. Gus Dur, sebagaimana dikutip oleh Douglas E Ramage (2002), mengatakan, “Tanpa Pancasila negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia akan dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam, atau disalahgunakan keduanya”.
Pernyataan Gus Dur tersebut, sungguh membuat batin bergetar. Artinya, menjaga Pancasila bukan semata-mata sebagai bentuk “kepatuhan” pada konstitusi, tetapi juga menjalankan amanah profetik melalui apa yang telah dilakukan oleh para kiai dan ulama.
Bagi warga nahdliyin, syahadat konstitusi itu adalah Pancasila di dadaku!
ijiz berbagi saudaaraku, !
sudah dibagikan di FB MWC NU Tanjungjaya Tasikmalaya, Terima kasih Ilmunya semoga bermanfaat.