Sedang Membaca
Melihat Perdebatan Tasawuf dan Pemikiran Para Akademisi
Ali Usman
Penulis Kolom

Menulis tema-tema agama dan politik. Pengurus Lakpesdam PWNU DIY.

Melihat Perdebatan Tasawuf dan Pemikiran Para Akademisi

Perkembangan terhadap laku dan kajian tasawuf bersifat paradoks; dikecam sekaligus dibela. Itulah yang terjadi dari sejak ia dikenal masyarakat luas, bahkan hingga saat sekarang. Bagi mereka yang pro, dunia tasawuf merupakan wilayah keagamaan yang menampilkan sisi spiritualistas berdimensi esoterisme. Sementara yang kontra, menganggap tasawuf sebagai biang keladi kemunduran Islam, apalagi di dalamnya, terdapat ajaran yang memicu kontroversi di antara kalangan muslim, seperti konsep wahdat al-wujud (penyatuan; bersatu dengan Tuhan).

Di Indonesia, kecaman itu muncul dari beberapa orang penulis, seperti HAS Al-Hamdani, melalui karyanya Sanggahan terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi, Abdul Qadir Djailani dalam bukunya Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf (1996), dan Hartono Ahmad Jaiz dalam karyanya Gus Dur Wali? Mendahulukan Tasawuf (1999).

Namun sebagai sebuah catatan, semua karya-karya yang ditulis ini bukanlah pengkajian utuh tentang tasawuf atau pemikiran-pemikiran tokoh sufi, tetapi hanya sebatas serpihan berupa kutipan-kutipan dari statemen yang dianggap provokatif, seperti Ibnu Arabi yang dikaitkan dengan tradisi sufisme yang menurut mereka telah “menyimpang” dari ajaran Islam.

Pembela tasawuf

Beruntung ada juga penulis-penulis Indonesia yang melakukan pembelaan terhadap pemikiran-pemikiran kaum sufi yang dianggap menyimpang oleh pengkritiknya itu.

Berikut ini beberapa di antara pembela tasawuf yang dilakukan oleh kalangan sarjana tersohor dari akademisi kampus (dalam rentang waktu tahun 1990 sampai awal 2000-an), yang kemudian berlanjut hingga saat sekarang dibincangkan oleh semua kalangan sebagai trend baru melakukan kajian terhadap ajaran tasawuf di semua jejaring media sosial.

Baca juga:  Ngaji Hikam: Usaha Penting, Tetapi Bukan Segala-galanya

Pertama, Kautsar Azhari Noer menulis sebuah karya yang sangat berarti bagi pembaca Indonesia berjudul Ibn al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (1995).

Sesuai dengan judulnya, hasil disertasi Kautsar tersebut membincangkan soal konsep wahdat al-wujud menurut Ibnu Arabi dengan menganalisanya melaui teori-teori filsafat Islam dan tinjauan teologi. Kajian tentang serpihan pemikiran Ibnu Arabi memang mendominasi dalam literatur Barat maupun di Indonesia, sebab tokoh sufi kontroversial asal Andalusia itu memiliki pengaruh besar dalam dunia spiritualitas Islam pada umumnya.

Kedua, tulisan Mulyadhi Kartanegara yang tersebar dalam beberapa buku-bukunya. Hanya saja, Mulyadhi tidak banyak menulis pemikiran (kaum) sufi dalam satu buku utuh, kecuali skripsinya yang kemudian dibukukan, Jalal Al-Din Rumi: Guru Sufi dan Penyair Agung (2004).

Tulisan-tulisan lainnya tentang tasawuf hanya menjadi subtopik, yang mengacu pada pengalaman mistik sufisme sebagai realitas objektif dan rasional, peran imajinasi, intuisi dan hati sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. Di antara buku-bukunya itu dapat disebutkan, seperti: Menembus Batas Waktu, Panorama Filsafat Islam (2002), Menyingkap Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam (2003), Menyelami Lubuk Tasawuf (2006), dan lain-lain.

Ketiga, tulisan Yunasril Ali yang juga tersebar dalam beberapa karyanya. Ia pernah menulis buku, hasil disertasinya, berjudul Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili (1997). Penting untuk dicatat, bahwa dalam menulis sebuah buku tasawuf, pengalaman Yunasril sangat menarik untuk diketengahkan di sini.

Baca juga:  Berguru Pada Ibrahim Bin Adham

Pengalaman Yunasril Ali

Pada mulanya Yunasril sangat anti terhadap pemikiran Ibnu Arabi atau tradisi tasawuf yang bercorak Falsafi pada umumnya. Mengapa?

Karena menurutnya, ajaran-ajaran sufi telah keluar jauh dari ajaran Islam (tauhid). Ia mengakui, konstruk pemikirannya itu ternyata dipengaruhi oleh mainstream pendapat ulama seperti Ibnu Taimiyah yang memang sejak awal menentang ajaran-ajaran Ibnu Arabi.

Atas ketidaksepakatannya itu, lantas Yunasril memberanikan diri menulis sebuah buku tudingan negatif terhadap tradisi sufisme, yaitu Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat (1984). Baru setelah menerbitkan buku itu, terbersit dalam hati Yunasril untuk memeriksa dan mengecek kebenaran “pendapat miring” tentang tradisi sufisme sebagaimana ia peroleh dari pendapat-pendapat ulama yang “benci” terhadap ajaran sufi.

Di sinilah kesan negatif Yunasril berubah seratus persen berganti positif. Setelah membuka dan membaca secara langsung pemikiran-pemikiran Ibnu Arabi, ia menangkap kesan berbeda dari apa yang ia anggap selama ini dan yang pernah ia tulis pada buku pertamanya itu. Apalagi, pengkajian tentang pemikiran Ibnu Arabi itu bersamaan dengan gelar doktor dalam bidang tasawuf yang ia raih di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga dalam buku-buku selanjutnya, ia justru menjadi pembela terhadap pendapat-pendapat para sufi.

Buku-buku lain setelah buku pertama Yunasril terbit adalah Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (1991), Pilar-Pilar Tasawuf (1994) dan yang terakhir, dalam beberapa subtopik di dalam buku yang sangat baik sekali sebagai pengantar ke gerbang pemikiran tasawuf, yakni Jalan Kearifan Sufi, Tasawuf sebagai Terapi Derita Manusia (2002).

Baca juga:  Ngaji Rumi: Syair Sufistik untuk Jalan Perdamaian 2019

Selain ketiga sarjana di atas, tentu masih banyak lagi, seperti Haidar Bagir, Jalaluddin Rahmat, Husein Muhammad, Said Aqil Siraj, Habib Lutfi, dan para pengkaji serta pelaku tasawuf di pesantren atau di kalangan tarekat.

Pilihan pada tiga sarjana itu, lebih pada persepsi publik sebagai sarjana-akademisi kampus yang secara intensif menekuni kajian tasawuf, terdapat cerita inspiratif di balik proses penulisan, dan tampak terang melakukan pembelaan terhadap kesan negatif kaum sufi, terutama yang bercorak wujudiyah-falsafi. Berbeda halnya, dengan sarjana lain yang cenderung sekadar menjelaskan perihal ajaran tasawuf level deskriptif semata, seperti pada sebagian karya Simuh.

Meski demikian, tampaklah kalau dunia tasawuf hingga saat ini diombang-ambing oleh para pengkajinya dalam kecamuk perang wacana. Terjadinya pro-kontra yang dahsyat tersebut bukannya meredupkan sinar dan kemilau tasawuf, namun sebaliknya, membuat banyak orang penasaran dengan mempelajari serta mendalami sendiri misteri di balik rahasia kaum sufi.

Demikianlah selintas perdebatan tasawuf belakangan ini. Sebetulnya di Indonesia telah lama perdebatan itu terjadi, sebut saja abad 19 di Minangkabau, perdebatan keras terjadi antara golongan yang disebut “Kaum Tuo” versus “Kaum Mudo”, dan tentus perdebatan yang sangat masyhur antara Syekh Siti Jenar dengan wali-wali lainnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top