17 Maret adalah hari lahirnya raksasa intelektual muslim Indonesia, Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Dalam rangka mengenang beliau, mengingat dan memungut kedalaman ilmu dan kebijaksanaannya, sembari membaca Alfatihah saya ingin menyuguhkan sekeping pemikiran beliau yang sampai saat ini terus dipelajari, dijadikan referensi, hingga diperdebatkan tiada henti.
Besarnya nama seorang tokoh pemikir akan terlihat ketika beliau sudah wafat. Ukurannya mudah saja: setiap hari lahir atau hari wafatnya, selain dikenang, pemikirannya terus langgeng dijadikan buah bibir dalam berbagai forum. Baik forum resmi dalam diskusi panel di auditorium hotel ataupun nongkrong santai tetapi kritis di warung-warung kopi. Meskipun fisiknya sudah tidak ada, buah pikir intelektualitasnya tetap masuk ke pori-pori kepala yang haus akan ilmu.
Pemikiran seorang tokoh besar akan selalu “diuji” dalam arena pemikiran masyarakat. Pemikiran tersebut pastilah mengundang pro dan kontra, karena menyentuh sisi paling esensial dalam kehidupan, mengingat tokoh besar hanya akan menghasilkan pemikiran yang besar, yang selalu hangat diperbincangkan.
Kita sebutlah beberapa nama besar dalam gelanggang ilmu sosial seperti Karl Marx, Sigmund Freud, Carl Jung, hingga Emile Durkheim. Mereka hidup di abad 19, dan sampai hari ini, abad 21, pemikiran mereka tetap dijadikan rujukan referensi utama dalam berbagai literatur ilmiah. Tidak hanya itu, produk penelitian ilmu-ilmu sosial masih sering menyebut mereka, menjadikan pemikiran mereka sebagai sumber inspirasi untuk penelitian. Contoh paling sederhana adalah kegenitan mahasiswa muda yang berapi-api menyebut dan membaca Marx, seketika merasa keren dan paling intelektual.
Masyarakat Indonesia patut bersyukur bahwa tanah air ini pernah melahirkan pemikir sekaliber Cak Nur. Ukuran-ukuran “pemikir-tokoh besar” yang sudah diurai sebelumnya tentu Cak Nur memilikinya. Bagaimana tidak, di hari lahir beliau yang ke-82, tepat setelah 16 tahun wafat, diskusi-diskusi tentang pemikiran Cak Nur masih diselenggarakan di mana-mana, diulas oleh para pemikir. Lebih dari itu, tulisan tentang Cak Nur pun menjamur di mana-mana, demi mengingatkan kembali bahwa pemikiran beliau masihlah segar dan harum untuk dikonsumsi.
Cak Nur dan Emile Durkheim
Beberapa waktu lalu saya meminta sekumpulan jurnal antropologi kepada seorang teman. Dengan senang hati, ia memberikan saya sejumlah jurnal yang sudah ia baca, dan katanya menarik untuk dibaca lebih jauh. Dalam jurnal yang berserakan di folder laptop itu, saya memilih satu jurnal untuk dibaca. Jurnal itu membahas tentang konsep sakral dan profan dalam kerangka pemikiran sosiologi agamanya Emile Durkheim. Saya berterima kasih kepada allahu yarham Pak Hujair Sanaky, dosen UII Yogyakarta yang telah menulis jurnal tersebut.
Saya mendengar nama Emile Durkheim sejak duduk di bangku SMA. Kala itu saya sedang keranjingan belajar sosiologi, tentu tidak heran apabila berkenalan dengan Emile Durkheim. Dalam ilmu Sosiologi, setelah Auguste Comte, tentu nama kedua yang patut dikenal adalah Emile Durkheim, yang dalam tulisan ini akan sedikit dikupas pemikirannya tentang sosiologi agama.
Durkheim memandang agama sebagai sesuatu yang sakral; sesuatu yang dianggap luhur, superior, yang langsung menyentuh dengan konsep ketuhanan yang dimiliki setiap agama. Maka dari itu, ketika ada yang sakral, ada pula yang profan. Dalam kegiatan beragama, konsentrasi utama perilaku keagamaan harus terfokus pada yang sakral, dan menganggap yang profan tetap profan, tidak sebaliknya ataupun dibalik-balik.
Sejatinya membaca dan memahami pemikiran tokoh besar tidak cukup hanya membaca satu jurnal. Perlu pendalaman dan kekayaan referensi, agar pemahaman yang dimiliki bisa lebih utuh dan menyeluruh. Membaca Durkheim, tentu tidak bisa terjadi satu malam melalui satu jurnal. Oleh karena itu, saya klaim bahwa apa yang tertulis di sini tak lebih dari interpretasi seorang pembelajar pada pemikiran tokoh besar.
Membaca konsep sakral-profan Durkheim saya langsung terpikir pada satu nama: Cak Nur. Cak Nur tentu terkenal dan dikenal karena pemikiran fenomenal dan monumentalnya tentang sekularisasi. Dalam konsep sekularisasi Cak Nur tersebut, beliau menganggap penting untuk memahami mana yang sakral dan mana yang profan dalam berislam. Beliau berkali-kali menjelaskan bahwa sekularisasi yang beliau maksud adalah proses penduniawian dalam upaya “pembersihan” hal-hal yang mengandung sakralitas atau bersifat ukhrawi dari yang profan atau keduniawian.
Konsep sekularisasi yang digulirkan Cak Nur tidak identik dengan sekularisme. Jamak dipahami, sekularisme itu paham keduniawian, dan menolak kehidupan yang sakral pascadunia, yaitu akhirat. Dengan demikian, paham sekularisme dengan ajaran Islam tentu bertolak belakang. Hal itu pula yang diamini oleh Cak Nur.
Durkheim dengan konsep sakral-profan tentu berbenang merah dengan sekularisasinya Cak Nur. Saya tidak menemukan secara pasti Cak Nur membaca Durkheim atau tidak, tetapi saya punya keyakinan bulat kalau Cak Nur membaca Durkheim. Kenapa demikian? Pertama, teori sekulerisme tentu lahir dari intelektualisme Barat, pemikir besarnya termasuk Durkheim di dalamnya. Kedua, Cak Nur melibas bacaan dari khazanah intelektual Barat. Setidaknya dari dua hal tersebut saya memiliki keyakinan akan pertautan di antara keduanya.
Kalau pemikiran keduanya dipertemukan dan diurai, maka sekularisasi yang dimaksud Cak Nur adalah pemisahan antara yang sakral dan profan dalam perilaku keagamaan. Sakral adalah yang transendental, segala sesuatu yang ilahiyah, bersifat ukhrawi. Sementara profan adalah yang temporal, segala sesuatu yang menjadi bagian keseharian kehidupan duniawi. Dengan begitu, harapannya adalah umat dapat fokus pada ibadah yang sifatnya vertikal atau secara langsung bersentuhan dengan yang sakral, tanpa melupakan atau mengabaikan sesuatu yang sifatnya horizontal atau profan.
Pembacaan, lebih jauh pendalaman terhadap pemikiran-pemikiran para tokoh besar, baik Indonesia ataupun Barat harus terus dilakukan, khususnya oleh para pembelajar muda yang nantinya akan melanjutkan tradisi intelektualisme mereka. Hari lahir Cak Nur bukan hanya momen, lebih dari itu terdapat nilai dan upaya penghayatan yang nyata pada ketelatenan dalam belajar. Semoga kita bisa meneladaninya.