Dalam pandangan tasawuf-falsafi, laku Tapa Ngeli sangat erat berkaitan dengan perjalanan spiritual dengan menapaki empat proses perjalanan ruhani yang dikenal dengan istilah al-asfar al-arba’ah.
Konsep al-asfar al-arba’ah merupakan hasil karya pemikiran seorang teosofi terkenal yang bernama Mulla Sadra. Sederhananya, melalui konsep ini, Mulla Sadra ingin menyatakan bahwa sebagai seorang salik (pengamal jalan spiritual) harus menyiapkan diri atau lebih tepatnya pengosongan diri agar siap menerima pengetahuan sejati (ma’rifat/hidayat jati) melalui ragam laku tasawuf sebagai gerak awal dalam menghadapi realitas kehidupan duniawi yang majemuk dan penuh dengan ragam tipu daya di dalamnya.
Keempat perjalanan ruhani (al-asfar al-arba’ah) tersebut adalah, pertama, perjalanan dari makhluk ke al-Haq (as-safar min al-khalq ila al-Haq). Perjalanan untuk meninggalkan alam materi (aku) menuju ke al-Haq. Maksud meninggalkan adalah olah batin agar hati senantiasa bersih dari selain-Nya.
Pada level ini, seseorang salik mungkin saja tetap menjalakan aktivitas sebagaimana biasanya, seperti makan dan minum namun hati tidak boleh tertambat padanya. Pada level ini pula ragam materi duniawi tidak boleh menyentuh, apalagi bersemayam, dalam hatinya. Karena hati harus dikosongkan dari selain-Nya serta siap menerima hidayat jati (pengetahuan hakiki) dariNya.
Saat memasuki perjalanan ini, salik akan mendapati bahwa dirinya sangat menikmati perjumpaan ruhaniah ini dan berusaha mengisi jiwa dengan ragam nama-namaNya yang mulia itu.
Kedua, perjalanan dari al-Haq menuju al-Haq bersama al-Haq (al-safar fi al-haq). Inilah kenikmatan yang menjadi tujuan kaum salikin dan merupakan perjalanan tanpa batas bersama-Nya. Keintiman hubungan yang meniscayakan hilangnya “aku (diri)” dan yang ada hanyalah “Dia”. Karena pengakuan akan eksistensi diri (aku) dalam perjalanan ini adalah dosa besar dan yang ada hanyalah perhatian tertuju pada al-Haq.
Inilah yang mungkin dikatakan dalam suatu hadis Qudsi bahwa Allah pernah menyatakan “denganKu dia mendengar, denganKu dia melihat, denganKu dia memukul, dan denganKu pula dia berjalan”.
Ketiga, perjalanan dari al-Haq menuju makhluk bersama al-Haq ( al-safar min al-Haq ila al-khalq bi al-Haq). Perjalanan kedua telah sampai pada hilangnya “aku” (fana) yang bermula dari pelepasan diri dari jerat kemajemukan (gemerlap materi duniawi), dengan berfokus pada Dia Yang Esa. Kemudian pada perjalanan ini, salik dituntut untuk kembali melihat kemajemukan (realitas duniawi) dengan tetap menjaga kehadiran Allah di dalam hatinya.
Maka pada level ini, salik dengan tubuh wadak serta jiwanya telah terpancari cahaya ilahi. Sehingga memandang realitas duniawi dengan “mata” al-Haq. Ibaratnya, nafasnya adalah nafas ketuhanan yang penuh dengan rahmat dan keberkahan.
Keempat, perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama al-Haq (al-safar fi al-khalq bi al-Haq). Dengan cahaya ilahiah yang tertanam dalam jiwanya, seseorang salik sudah siap untuk mengemban amanah sebagai khalifah Allah yang membawa kedamaian dan kesejukan dalam ragam kemajemukan yang ia hadapi di tengah-tengah masyarakat. Ia juga mampu menjadi pamong dan payung bagi masyarakat dan semesta karena telah diberi anugerah Allah dapat mengerti seluruh rahasia makhluk, titik mula dan akhirnya, titik awal dan tujuannya, apa yang baik dan buruk baginya.
Meski secara teoritis, konsep empat perjalanan ruhani (al-asfar al-arba’ah) tidak mudah untuk dijelaskan secara sederhana. Namun, dengan meminjam konsep ini, laku Tapa Ngeli dapat dipahami dengan mudah.
Dimensi Tapa (bersemedi) adalah wujud dari proses perjalanan seorang salik pada dua perjalanan pertama, yaitu: perjalanan dari makhluk ke al-Haq dan perjalanan dari al-Haq memuju al-Haq bersama al-Haq. Kedua perjalanan ini merupakan perjumpaan yang dicita-citakan oleh para salik. Inilah kesatuan rasa (manunggaling rasa) seorang hamba bersama Tuhannya. Biasanya pada level ini, para salik tidak lagi menginginkan lebih, mereka menikmati persaksian ini dan tidak mau lagi terjun ke bawah bertemu dengan hiruk pikuk duniawi.
Berbeda dengan sebagian salik yang dititahkan Allah untuk bersiap diri ngeli (menghanyutkan diri) dalam arus keduniaan guna membimbing dan memberi kesejukan dalam mengarungi samudra kehidupan yang penuh dengan tantangan dan ujian. Merekalah yang meneruskan dua perjalanan ruhani berikutnya. Merekalah yang berani menghanyutkan diri di dalam masyarakat dengan membawa rahmat dan keberkahan Allah, dan merekalah khalifatullah di bumi ini.
Apa yang mereka sampaikan selaras dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan bertujuan untuk memakmurkan bumi dan menyebarkan kedamaian bagi semesta. Dan, di antara mereka adalah para wali yang tersebar di Nusantara, terkhusus para Walisongo.
Akhir kata, Sunan Kalijaga dalam Serat Lokajaya dawuh “anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli (selaras dengan aliran air, menghanyutkan diri namun tidak hanyut)”.