Di era Presiden Joko Widodo, pembangunan nasional terus-menerus digalakkan. Berbagai infrastruktur digenjot secara masif agar terlihat modern. Dalam salah satu pidatonya, Presiden mengatakan bahwa pembangunan Indonesia ini merupakan gengsi. Selain soal ekonomi, Indonesia tidak boleh ketinggalan dari negara terangga. Harus lebih modern.
Berbicara tentang modern, seorang sosiolog berkebangsaan Amerika Wilbert E. Moore menyatakan, modernisasi ialah suatu transformasi total pada kehidupan bersama yang tradisional atau juga pra modern dalam arti teknologi dan juga organisasi sosial ke arah suatu pola-pola ekonomis dan juga politis yang menjadi suatu ciri negara barat yang stabil.
Modernitas dijelaskan identik dengan kemajuan teknologi, ekonomi dan kebarat-baratan. Implikasinya akan membentuk sistem peradaban baru. Peradaban manusia yang eksklusif. Ini sangat berbahaya. Mengapa? Sebab makhluk dengan berbagai latar budaya, bahasa, suku dan etnis mau tak mau harus menjadi satu dunia. Satu warna yakni kebarat-baratan. Jika dulunya penuh keragaman perlahan mulai luntur. Digilas roda modernisasi. Efeknya, akan memicu pergolakan tiap-tiap bangsa. Butuh kesiapan manusia-manusianya baik individu maupun secra kolektif untuk menghadapi peradaban baru tersebut.
Hal ini diperparah modernitas tak pandang agama. Modernitas mengajarkan pemisahan antara agama dan negara. Peran agama mulai kabur. Orang tak lagi mengindahkan nilai-nilai agama. Menjadikan dunia sebagai tujuan hidup
Implikasinya pun memuja-muja harta dan tahta (kepentingan dunia) secara berlebihan. Menganggap harta dan kekuasaan adalah segalanya. Bahkan dengan kekuasaan dan kemewahan, kebebasan orang bisa dibeli. Hal ini memicu lahirnya apa yang dinamakan kaum borjuis dan proletar. Penggolongan kelas berdasarkan ekonomi. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Rumusnya, siapa yang kaya dia yang menang. Bukankah ini realitas di Indonesia? Baik dari golongan kelas menengah ke bawah sampai menengah ke atas.
Ajaran Modernitas dan Hedonisme
Dalam kehidupan sehari-hari kita tak terpisahkan oleh barang-barang produksi zaman modern. Gaya hidup kita selalu meniru Barat. Apa yang berbau Barat dianggap pasti modern. Konstruk sikap dan pola pikir pun menjadi kebarat-baratan, konsumtif dan hedonisme serta merasa eksklusif. Akhirnya, hedonisme pun menjadi agama. Agama yang berasal budaya baru era modern. Sebab manusia-manusia ini sudah mulai melupakan Tuhan. Meyakini bahwa hanya dunia yang dapat memberi manfaat. Lupa kalau dunia hanya sesaat, orang jawa bilang, urip mung mampir ngombe (hidup hanya mampir minum saja).
Mengingat era modern merupakan era persaingan global, ada pula dampak positif dari modernitas sepeti kemajuan teknologi dan perubahan pola pikir masyarakat dari irrasional (tradisional) menjadi rasional. Namun, ancaman negatifnya lebih kentara, seperti pola hidup konsumtif, kebarat-baratan, terjadinya kesenjangan sosial, sikap individualistik, hedonisme, merasa eksklusif hingga meningkatnya kriminalitas.
Misalkan saja kalau kita masih ingat kasus mahasiswa yang melakukan asusila dengan temannya di luar nikah. Video rekamannya tersebar bahkan viral akibat kecanggihan teknologi. Kalau kita lebih cermat, seorang terpelajar, beragama dan orang ketimuran. Bagaimana mungkin orang terpelajar dan beradab melakukan tindakan serendah itu? Lalu bagaimana soal agama dan budaya ketimuran yang melekat dalam dirinya? Alangkah riskan bukan?
Tentu hal ini bertentangan dengan budaya dan nilai-nilai agama kita. Jangankan melakukan pergaulan bebas. Pakaian pun yang diajarlan nenek moyang kita sangat sopan. Semisal memakai kebaya seperti di jawa. Berbeda-beda di berbagai daerah. Penulis tekankan di sini, pelaku tersebut sebagai salah satu korban peradaban saat ini.
Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) mutlak diprioritaskan. Karena di zaman yang serba modern, individu harus secara inklusif bisa survive. Pertarungan budaya timur dan barat kian nyata. Pertaruhan norma-norma dan nilai-nilai dan adat istiadat ketimuran Indonesia dengan budaya barat. Sudah saatnya kita kembali ke peradaban kita sendiri.
Gus Mus menyatakan bila revolusi mental adalah salah satu jalan. Kalau ingin revolusi mental berhasil maka kita harus mengubah pandangan kita terhadap dunia. Kita mestinya ingat bahwa pikiran kita akan bergeser ketika kedigdayaan kekuasaan mampu direngkuh. Sehingga dunia yang harusnya menjadi wasilah (perantara) berubah menjadi ghoyah (tujuan). Lalu beliau mengutip pepatah arab “Hubbun dunya ro’su kulli khotiah” bahwa cinta duniawi pangkal kerusakan.
Artinya masalah yang timbul di negeri ini sumbernya hanya satu. Soal pandangan hidup kita terhadap dunia. Dunia dikatakan sebagai sumber dari kejahatan. Orang rela sikut-menyikut dengan saudaranya sendiri hanya karena kepentingan dunia. Karena dunia di sini diposisikan sebagai tujuan utama dalam kehidupan, bukan wasilah.
Sudah sepantasnya kita hijrah dari kelalaian duniawi ini. Mencari dan mempergunakan harta dengan sewajarnya saja. Karena cepat atau lambat ajal akan menjemput.