Sedang Membaca
Mencari Historiografi Islam Indonesia yang Mandiri
Ahmad Nashih Luthfi
Penulis Kolom

Sejarawan. Dosen STPN Yogyakarta. & Editor Etnohistori.

Mencari Historiografi Islam Indonesia yang Mandiri

Bernard Lewis, seorang sejarawan kajian Timur Tengah di Princeton University, dalam bukunya yang berjudul What Went Wrong: Western Impact and Middle Eastern Response (2002) mengajak kita untuk merefleksikan sebab-sebab kemunduran Islam.

Dia mengatakan bahwa masyarakat Timur Tengah harus mulai berhenti mengasihani diri sendiri, meninggalkan keluh kesah dan perasaan sebagai korban, menyelesaikan permasalahan mereka yang ada; kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, dengan mendorong generasi mereka yang cerdas dan berpikiran terbuka penuh vitalitas, serta mengolah sumber daya alamnya secara lebih baik, untuk kepentingan rakyatnya.

Lewis cenderung mengajukan argumen yang mengarah ke sebab-sebab internal ketimbang yang sifatnya dari luar.

Dia yang dibesarkan dalam tradisi dan praktik kebebasan Barat, menunjukkan bahwa Timur Tengah (dan Islam) pasca Abad Tengah penuh dengan gambaran akan kurangnya kebebasan disebabkan indoktrinasi, kebebasan mengajukan pertanyaan sebagai ciri khas masyarakat literasi, salah kelola perekonomian dan penuh korupsi, tiadanya kebebasan terhadap kaum perempuan dari tekanan laki-laki, dan kebebasan warga negara dari tirani penguasa.

Sementara, sebab-sebab kemunduran Islam yang sering kita baca ketika mempelajari sejarah Islam adalah adanya berbagai tekanan eksternal. Kita mencatat dua hal penting, serangan Mongol ke Persia dan kolonialisme Barat. Jarang kita mengajukan pertanyan kritis:

Baca juga:  Andalusia Era Islam (3): Andalusia Sepeninggal Musa dan Thariq

Mengapa Persia yang menjadi pusat peradaban Islam yang gemilang itu berhasil dibumihanguskan pada abad ke-12 oleh Jengis Khan dan balatentaranya, Mongol yang mulai tumbuh sebagai “peradaban baru” dari kaum nomad berkuda? Mengapa pula kekhalifahan Islam bisa ditaklukkan oleh masyarakat Barat yang pernah menjadi “murid”-nya? Maka, pantaslah kalau kita meletakkan faktor eksternal itu sebagai akibat ketimbang sebab.

Mari kita gunakan cara pandang itu dalam membaca sejarah Islam Indonesia, tanpa berusaha mengabaikan pengalaman kolonialisme Barat terhadap Indonesia dan realitas (kekhalifahan) Islam di wilayah Timur Tengah yang mulai memudar.

Ide pokok tulisan saya ini adalah, bisakah kita membuat periodisasi sejarah Islam Indonesia yang mandiri? Gagasan ini tidak semata-mata untuk keluar dari sejarah yang non-kolonialsentris sebagaimana sejarah nasional Indonesia (Sejarah Indonesiasentris).

Akan tetapi, dengan melihat dinamika internalnya, akan mampu setidaknya, menjawab pertanyaan besar mengapa Islam (di Indonesia) mundur. Kedua, jika kita membayangkan bahwa sejarah Islam Indonesia tetap berjalan tanpa melibatkan realitas (makro) berupa “payung” kolonialisme, realitas macam apakah yang ada?

Dalam konteks kekinian, pertanyaan di atas penting untuk melihat maraknya tuntutan ditegakkannya khilafah Islamiyah di Indonesia, kasus-kasus peledakan bom (bunuh diri) dengan alasan agama, sikap yang harus ditunjukkan ketika berhadapan dengan kekuatan luar (modernitas dan transnasionalitas).

Baca juga:  Gus Dur, Kiai Maimoen, dan Sejarah Fakfak-Papua

Sebagian kelompok berargumen bahwa kemunduran Islam terjadi sebab kaum muslim mulai meninggalkan ajaran Islam-nya (dalam pengertian syari’at-nya), dan kasus-kasus di atas adalah jawaban bagaimana mengatasi kemunduran itu. Bagi kita, penjelasan historis apa yang dapat kita ajukan untuk menolaknya atau (bagi sebagian pihak) mengafirmasinya? Moralisasi sejarah pra-(pasca)rekonstruksi di sini menjadi penting. Inilah tantangannya.

Kita perlu mencoba mencari alternatif lain, misalnya berdasar dinamika sejarah pemikiran umat Islam Indonesia, produk kesenian dan budayanya, sosial dan ekonominya. Sehingga dalam membaca sejarah Islam Indonesia tidak lagi ditemukan ketidaksejajaran seperti yang selama ini ada (meloncat dari periodik menuju tematik):

“Sejarah Islam Indonesia Abad sekian hingga sekian” dengan keragaman realitasnya (lokal dan jaringan global), selanjutnya tiba-tiba masuk ke “Sejarah Islam Indonesia pada Masa Belanda dan Jepang” dengan realitas tunggalnya, kolonialisme.

Historografi Islam Indonesia selanjutnya menjadi Historiografi Islam (Indonesia di bawah kekuasaan Kolonial), atau Historiografi Islam yang “disubjugasikan” di bawah (historiografi) Indonesia kolonial. Agar dapat keluar dari pensubjugasian sekaligus mencari sejarah yang mandiri, melihat dinamika internalnya adalah salah satu alternatif yang bisa dilakukan.

Tentu saja, tulisan ini hanya bersifat tawaran.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top