Sedang Membaca
Ijtihad, Taklid, dan Paradoks dalam Beragama

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Ijtihad, Taklid, dan Paradoks dalam Beragama

Kehidupan selalu menampilkan wajahnya yang paradoksal. Di satu sisi, ada seorang yang berbahagia merasakan manisnya kesuksesan, di sisi lain, ada seseorang kecewa karena baru saja mencecap pahitnya kegagalan. Ada yang kaya bergelimang harta dan ada yang melarat menjadi seorang miskin-papa.

Begitupula dalam beragama. Idealnya setiap orang bisa mengakses langsung ketentuan dan aturan agama kepada sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. namun, fakta kadang tidak sesuai dengan harapan. Terlampau banyak, orang yang tak bisa menggunakan al-Qur’an dan al-Sunnah.

Fakta yang demikian tak perlu disesali karena memang umat islam hari ini secara jarak, sangat jauh dengan masa yang disebut dengan masa keemasan yang dalam bahasa nabi disebut dengan sebaik-baiknya masa (Khairu al-Qurun). (era ini mencakup era kenabian, sahabat dan tabi’in).

Beda dengan mereka yang pernah hidup dengan nabi, ketika ada pertanyaan, langsung dijawab oleh beliau. Atau karena bergumul dengan nabi dalam waktu yang lama membuat para sahabat memiliki kemampuan lebih (malakah) dalam memahami dan menyikapi kasus-kasus fikih yang bermuncukan. Ditambah, kedua sumber Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah menggunakan bahasa dan redaksi bahasa arab. Sehingga jangankan yang non-arab, yang arab saja masih memerlukan pedoman untuk memahami kedua sumber itu.

Al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi pedoman penting dalam kehidupan manusia. Dalam sebuah kesempatan, nabi bersabda:

تَرَكْت فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

“Aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang sekiranya kalian berpegang pada keduanya niscaya tak akan tersesat. Yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah”

Nah, dari kedua sumber itu, kemudian para sarjana Islam melakukan aktivitas akademik yang ketat sehingga melahirkan postulat-postulat hukum. Aktivitas Itulah yang disebut dengan ijtihad, sementara pelakunya disebut mujtahid. Tentu tidak semua orang bisa melakukan aktivitas ini.

Baca juga:  95 Tahun Nahdlatul Ulama: Bagaimana Menggerakkan Diaspora Santri?

Ulama memberi prasyarat yang amat ketat sebagai langkah awal. Walau narasi syarat yang diberikan berbeda-beda, secara sederhana menurut penulis, syarat ijithad ada dua. Pertama, memahami nusus al-Syariah (teks-teks agama) secara paripurna. Untuk masuk ke segmen ini, adalah sebuah keharusan seseorang menguasai ilmu-ilmu yang menjadi alat untuk memahami nusus al-Syariah itu, seperti; Nahwu, Sarraf, Mantiq, Balaghah, Tafsir, Hadis, Usul Fikih dan lain sebagainya.

Syarat yang kedua, memahami Maqasid al-Syariah, yakni tujuan akhir dari segenap aturan dalam beragama. Ini juga bukan perkara mudah, di samping memahami teori-teori bahasa, untuk memahami Maqasid al-Syariah juga butuh keahlian dan ketelitian dalam memahami ruh-spirit dalam aturan agama. Belum syarat wajib lain seperti kesalehan, rekam jejak yang baik dan budi pekerti baik yang lain.

Sekiranya syarat-syarat itu terpenuhi kemudian mereka melakukan ijtihad dan keliru, maka ia tetap akan mendapatkan satu pahala. Pahala yang dimaksud adalah pahala sebagai jerih payah usahanya. Sementara jika hasil ijtihadnya benar, maka ia akan mendapatkan dua pahala. Satu pahala proses-usahanya, satu pahala produk ijtihadnya.

Jadi, ijtihad antara proses dan produk. Sebagai produk ijtihad boleh salah sementara sebagai sebuah proses ia harus benar. Proses di sini adalah ia dilakukan secara serius, pelakunya memiliki kualifikasi, jujur, professional dan bersih dari nafsu-nafsu duniawi. Ini yang dimaksud sabda nabi Saw.

Baca juga:  Simbolisme Sastra dan Agama

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Apabila seorang hakim hendak memutuskan sesuatu dan melakukan ijtihad lalu ia benar, maka ia mendapat dua pahala. Sementara  jika salah ia akan mendapatkan satu pahala.” (HR. Imam Muslim)

Dari ketentuan rumit itu, hampir dipastikan tidak semua orang memenuhi kualifikasi ijtihad. Maka solusinya adalah mengikuti, meniru orang yang mampu berijtihad. Hal inilah yang kemudian disebut dengan taklid. Ulama usul fikih mendefinisikan taklid dengan:

اَلتَّقْلِيْدُ هُوَ اَخْذُ قَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةِ دَلِيْلِهِ

“Taklid adalah mengambil pendapat orang lain tanpa harus tahu dalilnya”

Dasar normatif prinsip taklid ini adalah firman Allah Swt:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (Qs. Al-Nahl [16]: 43)

Setiap orang yang tak memenuhi kualifikasi, diperintahkan untuk berkonsultasi dengan mereka yang ahli. Karena ijtihad itu lumrahnya dalam masalah-masalah yang masih bersifat debetable (al-Masa’il al-Zanniyah), maka hasil ijtihadnya berbeda-beda. Lalu muncullah haluan-haluan dalam berfikih. Itulah yang kemudian disebut dengan rmazhab.

Dalam sejarah penyasriatan hukum, tercatat banyak raksasa keilmuan yang telah berhasil melahirkan hukum-hukum Islam bagi mereka yang memerlukan. Produk-produk hukum itu kemudian terkodifikasi dalam jutan kitab dan buku. Sehingga, umat Islam yang tak memiliki kemampuan bisa merujuk kepada kumpulan produk itu. Inilah yang kemudian disebut dengan bermazhab secara tekstualis  (qauli).

Tidak berhenti di situ, kumpulan metode ijtihad yang kemudian melahirkan produk hukum fikih juga terkodifikasi dengan baik yang tercatat dengan sangat apik dalam kitab-kitab genre usul fikih, sehingga jika di kemudian hari ditemukan kasus-kasus krusial kontemporer yang belum pernah dibahas di kitab-kitab fikih terdahulu tinggal menggunakan metode para ulama dalam menjawab hukum. Inilah yang disebut dengan bermazhab secara metodologis (manhaji).

Baca juga:  Diplomasi Cinta dalam Cerita Panji

Syaikh Wahbah al-Zuhaili, seorang ulama kenamaan asal Syuriah, menyebut bahwa dalam bermazhab, tidak diharuskan konsisten dalam satu mazhab tertentu (adam al-Iltizam bi mazhabin muayyanin). Dalam artian, seseorang diperkenankan berpindah dari satu mazhab ke mazhab yang lain, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Alasannya:

Pertama, dalam al-Qur’an,  Allah Swt. Hanya memerintahkan untuk mengikuti orang alim (ahl al-Dzikr) tanpa menyebut orang tertentu. Itu maknanya, siapapun yang memiliki kapasitas, berhak diikuti.

Kedua, konsistensi dalam satu mazhab akan berimplikasi terhadap kepicikan dan kesulitan (al-Haraj wa al-Dhaiyq) dalam beragama. Padahal, dalam banyak keterangan, lahirnya mazhab dan perbedaan ulama justru sebagai bentuk kasih sayang dan nikmat Allah bagi umat manusia. Ditambah, seluruh mazhab dan aqwa al-Ulama, memiliki posisi yang sama; sama-sama punya potensi benar dan sama-sama punya potensi salah.

Lalu mazhab apa saja yang pernah ada dalam bentangan sejarah fikih Islam? Dan tahukah anda bahwa kecenderungan  dan halauan fikih sudah ada sejak zaman para sahabat? Simak tulisan yang akan datang!. []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top