Lampung tampak hilang dan timbul disapu ombak, demikian digambarkan oleh Sekretaris Residen Belanda di Banten tahun 1820-an, Philipus Peter Roorda van Eysinga. Ia berdiri di Banten dan menatap Pulau Sumatera dari kejauhan. Lampung itu kaya tapi tidak dikenal orang, begitu katanya.
Lampung memang kaya, tidak hanya alam namun juga tradisinya. Kendati Lampung di masa kini dihuni oleh beragam etnis, tapi tradisi masa lalunya masih ada. Memang, banyak tradisi terancam punah, akan tetapi sebagian masyarakat pendukungnya masih berusaha melestarikannya.
Satu tradisi lisan yang nyaris punah itu adalah warahan, tradisi yang kental memuat nilai-nilai kerukunan yang diajarkan agama-agama. Saat ini pewarah (orang yang melakukan warahan) makin langka. Audiens yang terlibat dalam tradisi ini pun makin berkurang dan berkurang.
Sangat disayangkan, memang, karena warahan menjadi sangat penting pada zaman seperti sekarang ini. Tradisi lisan itu memuat pesan-pesan tertentu yang bergunma bagi masyarakat pendukungnya maupun masyarakat umum.
Imas Sobariah dalam bukunya Warahan Lampung (1999) mendeskripsikan tradisi ini dengan baik. Berbekal informasi itu, saya kemudian menemui para pewarah dan mantan pewarah, budayawan Lampung, serta melakukan observasi di daerah pesisir/peminggir yang beradat sai batin. Studi literatur digunakan untuk meneliti warahan di masyarakat Lampung di pedalaman yang beradat papadun.
Perbedaan mendasar dari dua kelompok adat tersebut adalah pada status dan gelar pemimpin. Dalam sai batin, setiap generasi hanya mengenal satu raja adat yang bergelar sultan/suttan. Adapun dalam papadun dikenal kepala-kepala adat yang disebut dengan punyimbang dengan gelar sultan/suttan, yang dapat memberikan gelarnya kepada siapa pun dengan syarat tertentu dalam pesta adat cakak pepadun (naik tahta/singgasana) yang berbiaya mahal. Itulah mengapa sering terdapat banyak orang bergelar sultan dalam adat papadun, seperti dikatakan budayawan Lampung Humaidi Abbas pada 22 Februari 2016. Yang pasti, dua kelompok adat ini melakukan warahan.
Tentang warahan
Orang Lampung biasa menggunakan kata warah untuk menunjuk pada arti menceritakan atau menyampaikan, misalnya dalam kalimat “tulung warahko ram haga niyuh” (tolong sampaikan bahwa kami mau hajatan). Ada juga yang mengatakan, asal kata warahan adalah arah yang berarti tujuan atau maksud. Warahan kemudian diartikan sebagai cerita atau dongeng.
Dalam bahasa Jawa, warah berarti petunjuk, petuah, nasihat. Bisa jadi warahan juga “meminjam” atau dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Masuk akal, karena dalam sejarahnya Lampung pernah dan masih berinteraksi dengan orang Jawa-Serang (Jaseng) dari Banten.
Bagaimana bentuk pertunjukan warahan? Warahan adalah tradisi lisan berupa pewarah yang bercerita atau mendongeng dan dilantunkan secara berirama. Warahan kadang-kadang diiringi dengan alat musik, dan di masa kini kerap diangkat ke dalam panggung teater. Isi dongengan adalah cerita-cerita kuno tentang asal-usul buwai (marga), legenda tokoh, fabel, atau bisa juga tentang suatu kejadian secara kronologis.
Tradisi warahan lekat terkait dengan penyebaran agama Islam, menurut satu versi asal-usulnya. Ceritanya memuat nilai-nilai keagamaan, eksplisit maupun implisit, termasuk nilai kerukunan dalam konteks sosial-budaya. Memang masyarakat Lampung mayoritas beragama Islam, meski masih terpengaruh kepercayaan dan agama sebelumnya, seperti animisme-dinamisme dan Hindu-Budha. Namun, bukankah kerukunan dan nilai baik diajarkan oleh semua agama itu?
Satu contoh adalah warahan Batin Labuh Handak, seperti dikatakan pewarah dari Kedondong Kabupaten Pesawaran, Humaidi Abbas. Ceritanya tentang penantian suami-istri untuk memiliki anak. Berbagai usaha dilakukan, hingga akhirnya lahirlah seorang putri cacat yang tidak memiliki kuping, hidung, dan mulut. Bentuknya lonjong putih seperti labu, sehingga ia dinamai Batin Labuh Handak.
Di desa lain, ada seorang pemuda bernama Masmotokh yang tidak kunjung menikah. Suatu malam ia bermimpi menikah dengan gadis cantik dari Kampung Gunung Malang. Ia pun ke sana dan bertemu orang tua Batin Labuh Handak, lalu melamar putrinya. Ia kecewa melihat wajah Batin, tapi ia sudah berjanji. Pada saat pernikahan, angin bertiup kencang dan petir menggelegar. Batin pun meletus, lalu berubah menjadi putru cantik.
Kepasrahan orang tua Batin, juga keihlasan Masmotokh dalam menyikapi cobaan dari Alloh telah mendapatkan ganjarannya. Takwa kepada Alloh diikuti dengan melakukan anjuran-anjuran kebaikan yaitu sabar, memegang teguh prinsip dan harga diri, dan bijaksana.
Nilai keislaman tampak jelas dalam warahan Radin Jambat, yang cukup populer di Lampung. Begini nukilan syair dalam episode 33: “Masuk dalam mulut naga, yang memang menunggu di situ. Adapun Radin Jambat sudah berdzikir-dzikiran. Kerjanya mengaji kitab serta al-Quran. Mengaji kitab sudah tamat. Al-Quran juga selesai. Yang datang malaikat. Memberi minyak rusapan”.
Dalam episode lain diceritakan:
“Lom alam pitu pangsat.
Susah nyepok banding ni.
Ya helau sangan helau.
Kupalang kudiwaan”
Artinya:
“Dalam alam tujuh tingkat.
Susah mencari bandingannya.
Dia saleh teramat saleh.
Khusyuk mencintai Tuhannya”.
Betapa kayanya Nusantara akan tradisi lisan yang memuat nilai-nilai keagamaan. Di dalamnya terdapat wejangan kebaikan dan kerukunan. Warahan hanya satu contoh. Mari kita telusuri tradisi yang lahir dan tumbuh di negeri ini.