Adib Baroya
Penulis Kolom

penulis lepas, pengelola damarku.id. (Masih) tinggal di Kartasura, Sukoharjo. Bisa dikontak via Instagram @dib_baroya

Bu Prani dan Budi Pekerti

Budi Pekerti

/1/

Salah satu film yang menggondol banyak nominasi dalam gelaran tahunan Piala Citra Festival Film Indonesia 2023 adalah film Budi Pekerti. Sebuah film yang dibesut oleh Wregas Bhanuteja. Pada malam anugerah yang diselenggarakan 14 November 2023, film tersebut-sebut sukses mengantongi 17 nominasi.

Film garapan sutradara Penyalin Cahaya (Photocopier) ini akhirnya membawa pulang dua Piala Citra. Sha Ine Febriyanti, sebagai pemeran tokoh Bu Prani, menyabet kategori Pemeran Utama Perempuan Terbaik. Sedang Prilly Latuconsina, selaku pemeran tokoh Tita, memenangi kategori Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik.

Kehadiran film Budi Pekerti yang cukup menyedot antusiasme publik Indonesia, menarik untuk ditelisik lebih jauh. Film ini mengetengahkan bagaimana perangai teknologi yang secara mutlak menggerus soalan budi pekerti. Adegan demi adegan film ini, sebenarnya mengajak penonton untuk sama-sama, memikirkan (dan mempertanyakan) kembali budi pekerti pada zaman yang sudah secanggih kini.

Kehadiran teknologi yang benar-benar meradang-menerjang sendi kehidupan, telah membikin banyak perubahan-pergseran. Segalanya rentan mengalami distorsi, bahkan persoalan informasi sekalipun, hingga membuat objektivitas fakta dan data menjadi bias dan rawan kecolongan, hingga dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang hendak mencari untung semata-mata.

Saat teknologi sudah lebih menjadi alat penghubung yang mampu melipat jarak, sayangnya ada ongkos mahal yang perlu dibayar, dua di antaranya erosi sosial dan penghayatan personal. Pengikisan relasi sosial ini, entah sadar atau tidak, telah membuat perjumpaan antarindividu semakin minim dan tak lagi utuh, penuh-seluruh.

Sedang pengahayatan personal, membuat segala hal yang ada di depan mata, bahkan orang lain, yang sebenarnya punya rajutan peran nan penting, hanya penunjang bagi hidup di zaman citra. Sebab, citra di dunia maya sudah menjadi agung dan satu-satunya yang pantas dipertaruhkan hidup dan mati. Nah, perkara-perkara inilah yang coba dibabar lebar dalam film Budi Pekerti—tanpa maksud menggeneralisir dan membuatnya simpel.

/2/

Film ini mengisahkan tentang Bu Prani, sebagai guru yang lagi kampanye jadi wakil kepala sekolah, mendadak kena musibah yang membuat kedirian Bu Prani goyah. Serentetan musibah lantas membikin Bu Prani serba salah. Bu Prani bertahan sekuat tenaga menghadapi intervensi yang datang silih berganti.

Tokoh utama tersebut masih harus mengurus suaminya yang, menderita bipolar. Suami Bu Prani mengidap bipolar sejak pandemi. Salah siasat Bu Prani merawat dan menenangkan suaminya adalah membelikan kue putu favorit semasa mahasiswa dulu. Makanan inilah yang jadi pengantar dalam upaya komunikasi dengan sang suami. Kuliner diposisikan jalan untuk mereka berdua kembali terhubung.

Baca juga:  Amien Rais Berpikir, Gus Dur Tertawa (Bagian 2)

Bu Prani rela menanti kue putu pesanannya jadi, sebab antrean panjang terbentang. Ia mesti mengorbankan beberapa waktu yang mestinya ia sudah tiba di tempat latihan. Tempat di mana Bu Prani membaur dengan sesama ibu yang lain, bukan sebagai pengajar, melainkan sebagai ibu yang hendak ambil andil di lingkungan sosialnya. Seorang asing mendadak mau mendahuluinya, menyerobot tanpa permisi. Bu Prani merasa tak terima nomor antreannya diserobot orang.

Bagian scene ini menjadi semacam kritik keras bagi orang-orang yang selalu ingin didahulukan. Seorang yang hanya mau mendapat pelayanan cepat, pokoknya mesti segera. Toh, kalau bisa menyerobot antrean, kenapa tidak? Budaya mengantre yang rapi dan teratur, seolah hanya di negeri asing nun jauh di sana, bukan di negara Indonesia.

Saat tensi percekcokan Bu Prani dengan seorang laki-laki tadi meninggi, orang yang kebetulan ada di pasar, memvideo peristiwa tersebut. Hasrat membingkai suatu peristiwa dalam kamera ini sudah sangat akut dan lazim. Setiap fenomena apa pun, asal jadi konten menarik, tak jadi soal. Rekaman debat tiada putus antara Bu Prani dengan laki-laki tadi lalu viral.

Orang yang merekam perseteruan ini jelas memandang adegan tersebut dapat menjadi konten, yang secara sederhana dapat membuat akun “ramai”. Yang dilakukan oleh orang di pasar tadi, jelas bukan jurnalisme warga. Seolah yang menyebar di media sosial ini fakta sebenarnya, padahal sejatinya permukaan semata.

Bu Prani lekas termasyhur, bukan karena prestasi atau sedang kampanye jadi wakil kepala sekolah, melainkan karena sengketa di pasar, waktu mengantre kue putu. Di mana-mana, orang membicarakan tingkah Bu Prani. Polemik pun berbuntut panjang, tiada kalah panjang dengan antrean kue putu.

Banyak orang merasa Bu Prani tersangka, sebab memarahi orang dan akhirnya, melempar kata-kata—yang, dianggap netizen—kasar pada penjual kue putu. Pandangan semacam ini muncul gegara pemberitaan yang amat massif. Orang-orang lekas mengunyah ini informasi, tanpa mengecek validitas maupun kenyataan real.

Baca juga:  Tentang Sepatu Sandal, Gus Dur Lupa

Dalam budaya digital, cepatnya informasi terunggah dan tersampaikan adalah pokok, yang sering mengalpakan narasi yang seimbang—bahkan realitas fakta sekalipun. Yang menjadi korban bukan hanya publik tidak mendapat warta yang jernih (yang sebetulnya hak setiap individu/kelompok), melainkan juga objek atau peristiwa yang diberitakan.

Sekian tokoh baik lingkaran Bu Prani, dekat maupun jauh, merasa kalang kabut menghadapi tuduhan dan umpatan yang mendera bu Prani. Kisruh pun tak terhindarkan, baik bagi kedua anak Bu Prani, sekolah, lingkungan sosial, sampai penjual kue putu yang sudah tua renta. Semua orang kemudian merasa sibuk dan pantas untuk menghakimi Bu Prani sekeluarga.

Film ini menyuguhkan nuansa kompleks dan paradoks dari dunia digital. Bukan hanya banal, melainkan juga destruktif. Tingkat penghancuran ini mampu benar-benar merongrong sisi dalam dari jiwa manusia—sampai mau menihilkan nilai-nilai humanisme dan penghargaan pada yang-liyan.

Terang saja, film ini mengusung tema yang sebenarnya dekat dengan dunia keseharian kita, bagaimana media sosial sukses mempengaruhi kehidupan sosial-kultural kita. Mobilitas semiotik sudah amat tinggi, peredaran citra sudah tidak terkira. Orang-orang riuh memperkarakan suatu hal di dunia maya, yang tak (akan) pernah jelas juntrunganya. Debat kusir seakan paling gawat, seolah-olah kebenaran sedang di ujung tanduk. Satu luapan gugatan Muklas, anak laki-laki Bu Prani—yang sudah limbung ra ketulung—terhadap situasi ini adalah bilang lantang, “Salah po bener saiki sopo sing akih ngomong!

Media sosial, pun menjadi dunia kedua yang jauh lebih nyata dari dunia nyata. Kenyataan beserta citra yang dikandung badan konten tercerabut dari akar realitas, berkembang biak dalam dunia yang tak kenal batas. Konsep simulasi yang dimaksud filsuf kenamaan asal Prancis, Jean Baudrillard, naga-naganya terjadi betul di sini.

/3/

Sangat penting kiranya menilik ulang terkait diseminasi budi pekerti. Penelurusan ini membuat kita agak paham megenai gagasan budi pekerti yang berupaya disampaikan pada banyak orang, pada konteks zaman tertentu.

Lebih dari dua dekade sebelum film Budi Pekerti rilis, hadir buku Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah: Suatu Tinjauan Umum (Kanisius, 2002) susunan Paul Suparno, dkk. Buku ini membabar tentang Budi Pekerti yang, secara dasariah, sangat urgen dalam dunia pendidikan. Buku ini membentangkan secara filosofis pentingnya penananam Budi Pekerti.

Baca juga:  Drijowongso, Tokoh Muhammadiyah di Jalur Kiri

Setiap penyelenggaraan pendidikan, tujuan utamanya tak melulu soal kecerdasan kognitif, tetapi juga kepekaan batin dan sosial. Musababnya, olahrasa sama penting dengan olahraga dan olahotak. Kepekaan batin dan sosial ini pula yang menuntun seorang pembelajar melihat dan memahami realitas sosial bekerja.

Desain buku ini dirancang untuk lekas dapat diaplikasikan dalam model pengajaran, bukan teoretis belaka. Ini buku memang ditujukan bagi “pendidik, kepala sekolah, yayasan, dan pejalan-pecinta dunia pendidikan.” Buku yang tidak boleh dilewatkan guna menengok wacana budi pekerti disebar-luaskan.

“Setiap manusia, sebagai ciptaan Tuhan, siapa pun mereka, adalah bernilai. Inilah juga yang menjadi hak asasi manusia. Sikap ini harus dipunyai. Oleh karena sikap yang ingin ditanamkan seperti itu, tindakan meremehkan, menghina, merendahkan, apalagi mengganggu kebahagiaan sesama/orang lain dianggap tidak baik,” tulis Paul Suparno, dkk.

Terang bahwa sikap terhadap sesama manusia, merupa satu sikap fundamental yang mencerminkan nilai budi pekerti. Sikap penghargaan tersebut mewujud dalam laku sehari-hari, yang menganggap orang lain tidak ubahnya dengan diri pribadi. Orang lain adalah sama-sama manusia; punya pikiran dan perasaan. Saat penghargaan pada orang lain ini bisa dipraktikkan, tentu lamat-lamat derajat yang setara dan tindakan komunikatif bisa membumi.

Wajah yang-lain turut menegaskan tentang identitas dan kedirian seorang insan, yang tidak kalah bernilai. Nah, nilai yang sejatinya melekat sedari lahir—sebagaimana hak asasi—pada orang lain inilah yang berusaha ditekankan dalam ranah sosial budi pekerti. Penilaian orang lain, yang sesama manusia ini, dilakukan dalam rangka memberi hak padanya, demikian juga tanggung jawab pribadi sebagai individu selaku bagian kecil dari komunitas masyarakat.

Satu film dan buku di atas memberi gambaran bagaimana budi pekerti khususnya, dan pendidikan secara lebih luas, memiliki masalah tak kunjung tuntas—lebih-lebih di Indonesia. Selayaknya pendidikan mampu bening dari kepentingan di luar pencerahan budi. Selayaknya pula, dunia pendidikan mampu reseptif plus tanggap terhadap segala gejala yang menguar di sekitar, agar selaras zaman. Film dan buku memberi pengingat bahwa pendidikan semestinya tak luput dari pengembangan nurani—sebuah inti jiwa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top