Abdulloh Hamid
Penulis Kolom

Penulis Buku Pendidikan Karekter berbasis Pesantren, Devisi Media PP RMI-PBNU

Empat Karya Bung Karno yang Wajib Anda Baca

Generasi Milenial mengenal Presiden Soekarno dari sisi apanya? Dari mana mereka mengerti sang Proklamator itu? Dari buku pelajaran? Sudah bagus jika ada hal ihwal Soekarno di pelajaran sejarah. Parahnya, jika mereka hanya mengerti tokoh yang masa kecil bernama Koesno Sosrodihardjo hanya dari nama jalan, patung, foto-foto, dan benda mati lainnya.

Belum kenal Bung Karno secara utuh jika belum baca-baca karyanya. Dari buku-bukunya, kita bisa mengenalnya lebih dekat, sistematis, dan mendalam. Inilah empat buku karya Bung Karni yang ada di rak buku saya:

Pertama, Indonesia Menggugat (Imperialisme dan Kapitalisme, Imperialisme di Indonesia, Pergerakan di Indonesia, Partai Nasional Indonesia) adalah pidato pembelaan yang dibacakan oleh Bung Karno pada persidangan di Landraad, Bandung (1930).

Bung Karno bersama tiga rekannya, yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dituduh hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda.

Dari balik jeruji penjara, Bung Karno menyusun dan menulis sendiri pidato tersebut. Isinya adalah tentang keadaan politik internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajah. Pidato pembelaan ini kemudian menjadi suatu dokumen politik menentang kolonialisme dan imperialisme.

Baca juga:

Baca juga:  Muhammad Al-Fayyadl: Tokoh, Kota, Buku

Kedua, Dibawah Bendera Revolusi. Ini mungkin buku yang paling terkenal dan komplit. Buku ini disebut-sebut terdiri dari 4 jilid, namun yang sering kita dapatkan hanya 2 jilid. Isinya 20 pidato peringatan 17 Agustus Presiden Soekarno selama 20 tahun, tahun 1946 hingga 1964.

Presiden Soekarno bukan saja seorang orator ulung namun juga seorang pemikir jangka panjang yang brilian, bila disimak lebih dalam pidato pidato Presiden Sukarno sangat bernas. Isinya begitu menggugah semangat patriotisme. Ada semangat yang menyala nyala. Optimisme yang padu dengan pikiran genuin seorang pemimpin bangsa. Pusat pemerintahan 17 Agustus 1946 sampai 1949 di pindahkan di Yogyakarta karena Jakarta sudah tidak lagi aman.

Bukunya berisi tentang rasa syukur karena bangsa Indonesia mampu mempertahankan kemerdekaannya, ucapan terimakasih pada laskar Indonesia yang menunjukkan eksistensi pemerintah Indonesia masih ada, setelah “Konferensi Meja Mundar” disepakati pihak belanda secara de jure mengakui kemerdekaan Indonesia, maka berakhirlah perjuangan bangsa Indonesia secara fisik menghadapi tentara Belanda. Hanya Papua masih dikuasai Belanda, inilah yang kelak memicu Bung Karno mengumumkan Trikora untuk membebaskan Papua.

Pidato 17 Agustus Bung Karno selalu dilaksanakan di Istana Negara kecuali setelah Gelora Bung Karno (GBK) di bangun 1963 selalu ditunggu masyarakat Indonesia karena merupakan pokok pikiran dan evaluasi pemerintahan.

Ketiga, Mencapai Indonesia Merdeka. Buku ini ditulis sebagai respon atas tulisan Profesor Veth “Bahwa Indonesia tidak pernah merdeka, dari zaman purbakala sampai sekarang. Indonesia akan tetap menjadi negara jajahan, yang semula jajahan Hindia lalu dijajah Belanda”. Buku singkat namun padat ini membawa kita pada tahun 1920-1933.

Baca juga:  Macapat: Sekolah, Sejarah, Tokoh

Mencapai Indonesia Merdeka ditulis ketika Bung Karno beristirahat di suatu tempat pegunungan di selatan Bandung (Pengalengan) maret 1933. Bung Karno membantah ucapan Veth,

“Indonesia harus dan pasti merdeka, jembatan emas kemerdekaan harus segera dibangun oleh Indonesia, dirumuskan dalam 10 poin yaitu keadaan kongkrit Indonesia saat itu yang berada dalam penjajahan belanda namun mempunyai potensi ekonomi yang besar alangkah indahnya jika bisa merdeka dan mengelola potensi ekonomi secara mandiri, di dalamnya juga berisi tentang ideologi Marhean (Marheanisme) adalah salah satu ideologi Bung Karno yang menentang penindasan manusia dan bangsa dan dogma Marhean ini sebagai pemersatu bangsa untuk melawan penjajahan Belanda.”

Keempat, Sarinah. Buku ini tebalnya 329 halaman. berisi kumpulan materi kursus wanita dalam berjuang dan berpolitik (1963), wanita bukan berarti harus selalu berada di belakang. Kenapa buku tersebut diberi judul “Sarinah” siapakah beliau?

Dia adalah sosok wanita yang paling dihormati Bung Karno semasa hidupnya. Bukan ibunya, bukan satu dari sembilan istrinya, bukan pula para negarawan wanita yang kesohor. Soekarno sangat menghormati Sarinah. Wanita desa yang menjadi pengasuhnya saat kecil.

Sarinah menemani Soekarno kecil bermain, makan dan tidur, menceritakan dongeng sebelum tidur, Bung Karno mengaku dari Sarinah dirinya diajari mencintai rakyat kecil. Kata Bung Karno:

“Dari dia, saya mendapat banyak pelajaran mencintai orang kecil, dia sendiri pun orang kecil. Tetapi budinya selalu besar, moga-moga Tuhan membalas kebaikan Sarinah.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
8
Ingin Tahu
5
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
4
Terkejut
4
Scroll To Top