Sedang Membaca
Dialog Imajiner Djaduk Ferianto dan Didi Kempot: Tak Ada Kaplingan di Surga
Abdul Gaffar Karim
Penulis Kolom

Dr. Abdul Gaffar Karim. Dosen FISIPOL UGM dengan minat riset utama tentang politik dan agama. Lahir di kota santri Sumenep, Madura, menyelesaikan pendidikan di Indonesia dan Australia.

Dialog Imajiner Djaduk Ferianto dan Didi Kempot: Tak Ada Kaplingan di Surga

Desain Tanpa Judul

Coba Anda khayalkan keadaan seperti ini:

Djaduk sedang leyeh-leyeh santai di alam sana. Setelah waktunya di dunia ini habis, dia harus melewati sejumlah urusan protokoler dengan banyak petugas Tuhan. Agak bertele-tele, tapi pada akhirnya para petugas itu menyimpulkan bahwa Djaduk adalah orang baik. Dia lalu disuruh geser ke area transit. Ini belum hari akhir. Dia harus menunggu.

Dia sendiri heran, kok bisa petugas Tuhan menyimpulkan dirinya sebagai orang baik. Perasaan dia biasa-biasa saja. Kadang malah mbeling-mbeling dikit. Urakan juga. Ingin dia bertanya pada mereka, apa yang dia lakukan sehingga dianggap orang baik ketika di dunia, dan mendapat fasilitas bagus di area transit ini.

Tapi di sini tak ada kesempatan bertanya lebih lanjut. Para petugas Tuhan itu sudah berlalu.

Djaduk lalu menunggu saja. Dia kadang berpapasan dengan banyak orang yang juga berada di area transit ini. Sebagian dia kenal ketika di dunia sebagai orang-orang baik yang sudah diduganya akan masuk surga di hari kemudian.

Tempat ini agak aneh sebenarnya. Dia bisa merasakan kesenangan yang tak butuh sarana. Dia bisa merasa kenyang tanpa harus makan dulu. Dia merasa segar tanpa harus minum dulu. Dia rasanya bisa orgasme tanpa harus ejakulasi. Dia bahagia tanpa harus bergembira. Sayangnya di sini dilarang merokok…

Baca juga:  Didi Kempot dan Kekuatan Sosial Sobat Ambyar

Suatu ketika, saat lagi thengak-thenguk, Djaduk tiba-tiba melihat sosok yang sangat dikenalnya. Orang itu nampak baru saja menyelesaikan urusan-urusan protokoler yang dia sendiri pernah lalui.

Sedikit ragu, dia amati baik-baik orang itu dari kejauhan. Langkah orang itu rada lambat, tidak bergegas. Setelah beberapa saat Djaduk mengamati, yakinlah dia bahwa orang itu memang betul seperti yang dia duga. “Hlaahhh… kok dia sudah nyampe di sini saja. Semprul tenan.” Dia membatin.

Setelah agak dekat, dipanggilnya orang itu: “Di! Didi! Sampeyan kah itu?”

Yang dipanggil menoleh. “Lho, Kang Djaduk! Weee… elok tenan. Kok bisa ketemu sampeyan di sini aku. Lagi ngapain ya Kang?”

“Kok ngapain. Ya nunggu lah. Ini kan area transit.”

“Oh iya. Aku ya baru saja dibriefing tadi oleh mereka. Disuruh nunggu.”

“Ha ya sama. Tapi aku duluan. Sampeyan kok sudah nyampe sini?”

“Kemarin itu aku didatangi petugas Tuhan. Aku ditanya, ‘mau pulang sekarang nggak, Mas Didi?’ Lalu aku jawab, ‘ya ayo.’ Trus aku diajak berangkat.”

“Wee lah, kok gampang banget.”

“Eh Kang, di sini enak kah?” Didi bertanya.

“Ya enak sih menurutku.” Jawab Djaduk.

“Bebas ini ya, milih mau nongkrong di mana?”

“Ya bebas saja kayaknya. Aku gak ada yang ngatur-ngatur mau ke mana.”

Baca juga:  Apa yang Dicari Manusia Modern

“Berarti aku bisa ngobrol-ngobrol sama sampeyan saja di sini ya Kang.”

“Ha ya boleh.” Djaduk menjawab sambil ngakak.

“Eh tapi Kang…”

“Apa toh?”

“Ini beneran boleh?” Didi bertanya lagi. Dia masih belum yakin.

“Sampeyan ini kok nampak ragu gitu.”

“Ya nggak. Ini kita di dunia kan gak seagama toh.”

“Lha terus ngapa?”

“Dulu toh Kang, katanya orang yang beragama lain gak masuk surga. Kita gak seagama ini kok area transitnya sama. Eh tapi jangan-jangan area transitnya saja yang sama. Nanti masuknya habis ini apa masih sama?” Didi penasaran.

“Hus, ya sama. Apa sampeyan tidak dengar penjelasan para petugas Tuhan tadi? Orang baik nunggunya di sini. Orang tidak baik kan disuruh belok ke kiri dari gerbang itu.” Djaduk menjelaskan.

“Iya sih.”

“Ya sudah. Berarti kita sejalur.”

“Meski tak seagama.”

“Iya. Meski tak seagama.”

“Lha Kang…”

“Apa lagiii…” Djaduk menyergah.

“Berarti gak ada kapling-kaplingan di sini dan di surga ya?”

“Kayaknya gak ada.”

“Kata orang di dunia dulu, surga itu ada kapling-kaplingya.”

“Ya ada juga mungkin, kapling orang baik dan kapling orang tidak baik.”

“Bukan kapling agama A dan agama B ya? Atau kapling ormas A dan ormas B, partai A dan partai B.”

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (1): Lima Riwayat Sunan Kalijaga di Pulau Lombok

“Halah, mana ada.” Djaduk ngakak.

Didi manggut-manggut mikir. “Kalau gitu sik ya Kang, aku tak kirim kabar ke orang-orang di dunia tentang hal ini. Aku…”

“Halah mana bisa.” Djaduk memotong. “Sampeyan kan lihat, pintu itu cuma satu arah. Sampeyan bisa masuk sini tapi gak bisa balik lagi.”

“Oh iya. Tapi gimana orang-orang di dunia itu. Mereka bakal terus percaya bahwa di sini ada kaplingan. Lalu mereka berantem. Orang lain dianggap tidak berhak atas kapling surga.”

“Ya memang.”

“Kok ya memang. Kasihan toh Kang. Hidup kok ribut soal kapling surga terus.”

“Ya biar saja toh. Buat gayeng-gayengan…”

Lalu mereka pun tertawa bersama di tempat yang menyenangkan ini.

Sayangnya di sini dilarang merokok…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top