Sedang Membaca
Ego dan Keberkahan Ramadan

Penyair yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Al-Istiqamah Banjarmasin. Sekarang menjadi pengajar di TK Al-Quran Rahmatan Lil ‘Alamin Banjarmasin.

Ego dan Keberkahan Ramadan

Egoisme

Ada satu cerita pendek dari Ryunosuke Akutagawa, seorang pengarang Jepang yang saya suka. Cerita tersebut mengisahkan tentang seorang bekas perampok bernama Kandata yang sedang terpuruk di dasar neraka.

Digambarkan bahwa dasar neraka terhampar di bawah kolam teratai surga, waktu itu, Sang Budha yang sedang berdiri di tepi kolam melihat Kandata bersama dengan para pendosa lainnya, lalu Ia teringat dengan satu kebaikan Kandata. Kebaikan itu ialah ketika Kandata berjalan di tengah hutan belantara, ia melihat seekor laba-laba sedang merayap di tepi jalan, ketika hendak menginjaknya, tiba-tiba ia terpikir bukankah makhluk kecil itu juga mempunyai nyawa. Kandata pun mengurungkan niatnya dan membiarkan laba-laba itu tetap hidup. Atas perbuatan baiknya itu, oleh Sang Budha, ia diberi seutas jaring laba-laba yang diturunkan ke dasar neraka.

Saat Kandata melihat seutas jaring laba-laba dari atas surga itu, ia begitu girang, lalu diraihnya jaring itu dan ia mulai memanjatnya. Setelah lama memanjat, Kandata berhenti untuk istirahat.

Namun, ketika ia memandang ke bawah, ia lihat para pendosa lainnya ikut memanjat mengikuti jejaknya. Karena merasa khawatir akan putus dan jatuh. Maka, Kandata menghardik orang-orang yang ikut memanjat tersebut dengan suara lantang. “Hei, para pendosa! Jaring laba-laba ini milikku! Cepat turun! Turun!” Dan seusai menghardik, seutas jaring laba-laba itu putus tepat di titik Kandata tengah bergantung.

Baca juga:  Ramadan Pertama Zalima di Indonesia

Rasa ingin cari selamat sendiri dan kejatuhan kembali orang-orang yang mengikutinya telah menyedihkan hati Sang Budha dan membawa Kandata kembali ke neraka.

Kandata, si mantan perampok tersebut seolah telah dikepung oleh egonya sendiri. Ia merasa seakan dialah yang paling berhak untuk dapat terhindar dari panasnya neraka, dan menikmati keindahan serta kesejukkan surga. Ia terjebak dengan sikap yang hanya mementingkan diri sendiri. Ia begitu egois.

Kebalikan dari sikap egois atau mementingkan diri sendiri ialah mengutamakan orang lain, atau dalam bahasa agamanya disebut dengan itsar. Tentang sifat itsar tersebut, ada salah satu cerita menarik yang pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW.

Suatu ketika Nabi SAW. kedatangan seorang tamu. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, saya ini sedang kesusahan,” mendengar keluhan tersebut, maka  Nabi SAW. mengirim utusan kepada salah seorang istri beliau dan menanyakan apakah ada sesuatu yang bisa diberikan  kepada si tamu tersebut. Namun sang istri mengatakan bahwa ia hanya memiliki air. Nabi SAW mengirim utusan tersebut kepada istri yang lain. Namun kondisi mereka juga sama, dan begitu juga dengan istri-istri Nabi SAW. yang lain.

Maka akhirnya Nabi berkata kepada para sahabatnya, “Siapa yang mau menjamu orang ini, semoga dia dirahmati Allah.” Tiba-tiba bangkitlah salah seorang sahabat dan berkata, “Saya wahai Rasulullah.” Sahabat itu pun kemudian mengajak si tamu ke rumahnya. Sesampai di rumah, sahabat tersebut bertanya kepada istrinya, “Apakah kita punya makanan?” Si istri menjawab.”Tidak, yang ada hanya makanan untuk anak-anak kita.” Mendengar jawaban sang istri, sahabat tersebut pun mengatakan, “Kalau begitu sibukkanlah anak-anak kita dengan sesuatu, dan biarkan makanan tersebut kita berikan kepada si tamu.”

Baca juga:  Kisah Hamzah Fansuri yang Mengasingkan Diri karena Ajarannya Mengandung Kontroversi

Keesokan paginya, Nabi Muhammad saw. berkata kepada sahabat tersebut, “Allah takjub dengan apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu tadi malam.”

Robert Frager menuturkan, “Semakin kita tidak egois, semakin tak mementingkan diri sendiri, semakin mampu mencintai orang lain, maka akhirnya semakin dekat kepada Tuhan.”

Tuturan Robert Frager tersebut seakan memberikan pemahaman bahwa salah satu sebab yang mendekatkan Tuhan dengan hamba-Nya ialah ketika sang hamba dapat menindih egonya, dapat mengesampingkan kepentingan pribadinya demi kemaslahatan orang banyak, dan gemar menaburkan rasa cinta kepada sesama. Dan tentu sebaliknya, semakin kita egois, lebih mementingkan diri sendiri, dan enggan menebarkan rasa cinta kepada orang lain, maka kita akan semakin jauh dengan Tuhan. Jauh dengan kasih sayang-Nya.

***

Ego dalam bahasa Arabnya disebut dengan nafs, yang umumnya diartikan sebagai “diri” (Robert Frager, 2014: 98). Ego merupakan ciptaan ilahi dan kita tidak bisa membunuhnya, atau melenyapkannya. Yang dapat kita lakukan ialah dengan mengendalikan.

Ya,  kita bisa mengendalikannya dan membuatnya lelah. Dan salah satu berkah dari bulan Ramadan, menurut Robert Frager dalam Obrolan Sufi-nya, adalah kita dapat membuat ego kelelahan. Sebab, di bulan Ramadhan kesibukan kita tehadap hal-hal yang bersifat keduniawian menurun. Kita juga tidak punya banyak energi untuk melakukan aktivitas yang biasa kita lakukan di luar Ramadan. Kita juga sering merasa lebih letih dan mengantuk. Sehingga energi kita berkurang.

Baca juga:  Hidayah itu Terserah Allah

Nah, ketika energi kita melemah, maka, menurut Frager, kita bisa lebih awas terhadap diri sendiri, lebih fokus memperhatikan kondisi batin dan tidak terlalu memperhatikan aspek lahiriah. Jadi, ego yang sering terpusat pada diri sendiri menjadi semakin lemah di bulan Ramadan ini. Dan hal itu tentunya, dapat memudahkan kita untuk lebih belajar bagaimana mengamalkan sifat itsar, yaitu lebih mementingkan orang lain. Wa Allah A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top