Kenabian Muhammad dimulai dengan momentum turunnya firman Tuhan tentang perintah membaca. Peristiwa itu terjadi pada malam 17 Ramadan tahun 610 M, saat ia berkhalwat di Gua Hira, Malaikat Jibril datang membawa wahyu pertama: lima ayat dari Surah al-‘Alaq.
Di tengah gurun pasir, dalam kuasa tradisi Jahili, hegemoni kekuasaan kabilah dan trah, dan konteks kemanusiaan yang kehilangan daya, perintah itu turun dengan lugas dan tegas; memulai membuka pintu kenabian.
Dalam perintah itu, digunakan kata iqra’. Kata ini berakar dari qara’a – yaqra’u – qirā’atan – iqra’ yang memiliki makna dasar: menghimpun, membaca, menelaah, dan menyampaikan; bukan dengan kata tala, yang berakar dari tala – yatlu – tilawatan, yang memiliki makna dasar: mengikuti, menelusuri, membaca dengan penghayatan. Kata yang kedua ini digunakan Al-Qur’an misalnya dalam surah al-‘Ankabut: 45 dan surah al-Muzzammil: 20.
Para ahli bahasa, membedakan makna yang terkandung dalam dua kata ini--qirah dan tilawah. Objek bacaan dari kata qara’a sangat luas, meliputi teks, realitas, alam, sejarah dan diri. Demikian Ibnu Asyur menjelaskan dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Pandangan ini kemudian diacu oleh M. Quraish Shihab. Sedangkan, kata tala digunakan Al-Qur’an dengan mengacu pada objek yang terbatas, yaitu teks Al-Qur’an.
Perintah membaca yang diekspresikan dengan kata iqra’ dalam wahyu pertama kali itu memberikan pesan bahwa praktik membaca, dengan objek yang luas dan bahkan tak terbatas, merupakan strategi pembuka dalam membangun peradaban. Ia merupakan basis konseptual awal jalan kenabian. Dengan objek yang tak terbatas, praktik membaca merupakan jalan pembuka pemahaman terhadap realitas, tanda dan aneka gejala yang ada dalam kehidupan dan alam semesta.
Praktik membaca sebagai jalan kenabian bukan hanya menerima dan menyerap informasi yang berasal dari teks, laporan tertulis, ataupun transmisi informasi kelisanan, tetapi juga kesiapan dan kemampuan memahami beragam peristiwa, gejala alam, peristiwa sosial, politik, maupun psikologis, dan tak pernah ragu atas segala macam pertanyaan. Bahkan, dalam jalan kenabian, pertanyaan dijadikan penopang dalam menganalisis beragam persoalan. Dengan pertanyaan, pengetahuan dapat diperoleh; melalui pertanyaan, faktor penyebab dapat ditemukan; dan melalui pertanyaan, masalah dapat diurai dan dirumuskan jalan penyelesaikan.
Ekspresi Al-Quran mengenai jalan kenabian yang dimulai dengan kemampuan dan keberanian membaca objek yang tak terbatas tersebut, memberikan isyarat bahwa menganalisis masalah melalui perenungan, kerasaingintahuan, dan berbagai pertanyaan merupakan fondasi penting dalam membangun kehidupan etika manusia, tertib sosial, dan ilmu pengetahuan. Dimulai dari pertanyaan yang tajam, ketika melihat buah apel jatuh, Esaac Newton (1642-1727) berhasil merumuskan hukum gravitasi. “Mengapa apel jatuh lurus ke bawah, bukan ke samping atau ke atas?” Pertanyaan yang tampak sederhana ini memicu pemikiran mendalam mengenai gaya tarik bumi terhadap benda-benda.
Dengan kemampuan membaca realitas sosial politik dan ruang batin masyarakat Arab menuntun Nabi Muhammad terampil mengatasi berbagai masalah yang terjadi di tanah Arab dan Islam diperkenalkan melalui sikap dan tindakan. Ia menjadi teks Al-Qur’an yang hidup, bisa ditemui di berbagai momen, dan mampu memberikan jalan keluar atas berbagai keruwetan hidup.
Seruannya tentang kesetaraan manusia, sistem ekonomi yang adil, dan sistem kehidupan yang beradab, merupakan bagian dari revolusi kongkrit yang ia lakukan atas sistem ekonomi yang timpang, kehidupan yang rasialis, ketertindasan perempuan, dan alienasi orang-orang kulit hitam. Gagasan dan gerakan kesetaraan dan kemanusiaan tersebut tumbuh dengan kokoh karena proses perenungan dan sekaligus pembacaan yang mendalam atas realitas sosial yang menjadi bagian dari jalan kenabian.
Keberanian dalam membaca tanda-tanda dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan oleh Al-Qur’an dalam wahyu yang pertama kali turun ini dikerangkai dengan ungkapan: bismi rabbikallazī khalaq, sebagai metode, agar praktik membaca terarah, logis, dan terukur. Lalu, apa yang dimaksud dari frasa ini? Fakhruddin al-Razi dan Ibn Asyur menjelaskan, huruf ba’ dalam frasa tersebut mengandung makna pertolongan, sedangkan Imam al-Zamakhsyari memaknainya sebagai praktik membaca yang harus selalui terikat dengan nama Tuhan. Huruf ba’ di sini bukan sekadar partikel gramatikal, tapi merupakan pintu masuk menuju pemahaman bahwa praktik membaca haruslah dimulai dengan kesadaran ilmu dan spiritualitas.
Sebagai bagian dari jalan kenabian, ilmu pengetahuan bukan hanya soal jihad menggali data secara baik dan benar melalui rangkaian metode dan pertanyaan, tetapi juga berkaitan dengan aspek aksiologis: apa manfaatnya bagi kehidupan manusia dan alam semesta. Dari frasa ini, pertanyaan bukan hanya dimulai dari rasa ingin tahu melainkan juga untuk apa pertanyaan tersebut dikemukakan. Frasa ini, menurut Fazlur Rahman merupakan manisfestasi awal dari etos intelektualisme Islam dan sekaligus dorongan untuk membangun peradaban berbasis ilmu dan etika. Dengan logika yang demikian, wahyu yang pertama ini merupakan panggilan membangun masyarakat yang berpengetahuan, adil dan beretika; membaca sebagai tindakan revolusioner.
Melalui jalan kenabian, para ulama dan intelektual muslim, mestinya tak pernah risau atas segala pertanyaan, tetapi justru menggunakannya sebagai penopang untuk melahirkan ilmu pengetahuan dan mengurus tertib sosial dan politik. Ketika kita menyelami keunikan kehidupan alam dan kekayaan yang ada di dalamnya, kita diperintahkan bukan hanya mentadabburinya tetapi juga membangun kesadaran ekologi spiritual: alam bukan sebagai medan eksploitasi untuk melunasi hasrat yang tak kunjung padam, melainkan sebagai sarana membangun kemaslahatan. Ketika kita menelusuri aspek terdalam diri manusia, selaiknya menjadi jalan empati dan menumbuhkan psikologi kenabian: membangun hidup tanpa rasa takut, mengubur trauma dan menemukan kembali makna hidup. Membaca manusia dan semesta sebagai tanda, merupakan kesatuan kosmik.
Dengan semangat jalan kenabian, politik dibangun bukan dengan rasa takut atas pertanyaan yang seringkali di dalamnya dipenuhi intrik, tetapi sebagai mekanisme menumbuhkan kemaslahatan. Dalam sistem sosial di mana individu, penguasa dan agamawan risau akan pertanyaan, karena takut kehilangan kuasa dan pelayanan, jalan kenabian perlu dibangkitkan ulang. Hari-hari di mana sistem sosial, politik dan keagamaan yang kita huni mirip dengan situasi yang dihadapi Nabi Muhammad saat menerima wahyu pertama, jalan kenabian haruslah didulang. Iqra’ sebagai tanda adalah aktivitas intelektual dan spiritual yang melahirkan kesadaran, perubahan dan tanggung jawab sosial.